JUAL BELI DALAM FIQIH MUAMALAH
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fiqih Muamalah
OLEH
KELOMPOK 4:
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PRODI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
2018/2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Fiqih Muamalah dengan judul
"Jual Beli Dalam Fiqih Muamalah" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah
semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga
dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan
makalah ini.
Namun tidak lepas dari
semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari
segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada
kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun
sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya
dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat
permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Pekanbaru, 31 Oktober 2019
Kelompok 4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................. 2
C. TUJUAN........................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A.
PENGERTIAN JUAL BELI........................................................................................ 3
B.
LANDASAN
ATAU DASAR HUKUM JUAL BELI................................................ 5
C.
RUKUN
DAN SYARAT JUAL BELI......................................................................... 6
D.
MACAM-MACAM
JUAL BELI............................................................................... 10
E.
PRINSIP-PRINSIP
JUAL BELI............................................................................... 13
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 16
A.
Kesimpulan.................................................................................................................. 16
B. Kritik dan Saran......................................................................................................... 16
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan
umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut
dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa
disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang
melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah.
Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan
antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa,
hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari,
setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual
beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan
barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan
bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak
terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya
penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
B. Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud
dengan jual beli?
2) Bagaimana landasan
atau dasar hukum jual beli?
3) Bagaimana rukun dan
syarat jual beli?
4) Apa saja macam-macam
jual beli?
5) Apa saja
prinsip-prinsip dalam jual beli?
C. Tujuan
1) Mengetahui definisi
dari jual beli baik secara bahasa maupun istilah.
2) Mengetahui dasar
hukum dari jual beli.
3) Mengetahui rukun dan
syarat jual beli.
4) Mengetahui macam-macam
jual beli.
5) Mengetahui prinsip-prinsip dari
jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN JUAL BELI
Jual
beli secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad
saling mengganti. Sedangkan menurut syaraʻ
jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima
benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang
telah dibenarkan syaraʻ dan disepakati.[1]
Menurut etimologi, jual beli
adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli
adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Menurut terminologi, para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
Ø Menurut
ulama Hanafiyah: [2])
Jual beli adalah ”pertukaran
harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
Ø Menurut
Imam Nawawi[3])
dalam Al-Majmu’ :
Jual beli adalah ”pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan.”
Jual beli adalah ”pertukaran
harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”
Pengertian lainnya Jual beli
ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang
menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli
barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan
mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak
(dirham).
Dari
beberapa definisi di atas
dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau
barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu
menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Inti dari beberapa
pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain[5]
: 2()
a)
Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b)
Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti
barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c)
Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah
untuk diperjualbelikan.
d)
Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak
memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli
dengan kepemilikan abadi.
B.
LANDASAN
ATAU DASAR HUKUM JUAL BELI
Landasan
atau dasar hukum mengenai jual beli ini di syariatkan berdasarkan Al-Qur’an,
Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1) Al
Qur’an,
yang mana Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah, 2: 198 :
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ
فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ
ٱلۡحَرَامِۖ وَٱذۡكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمۡ وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ
ٱلضَّآلِّينَ
“Tidak ada dosa bagimu untuk
mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah
bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;
dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”
2) Sunnah Nabi, yang mengatakan:
”Suatu
ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau
menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.”
(HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
Maksud
mabrur dalam hadist di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha
tipu-menipu dan merugikan orang lain.
3) Ijma’
Ulama
telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak
akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun
demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Mengacu
kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist,
hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum
jual beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.
Berikut
ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah,
wajib, haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah, misalnya dalam jual
beli barang yang hukum menggunakan barang yang diperjual-belikan itu sunnah
seperti minyak wangi.
Jual
beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang
menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun
melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk
menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga.
Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang
ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Jual
beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan
syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan.
Jual
beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan itu hukumnya
makruh seperti rokok.
C.
RUKUN
DAN SYARAT JUAL BELI
Jual
beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat
dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan
pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama
Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari
pembeli, dan qabul adalah ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka,
yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah
pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Akan tetapi, karena unsur kerelaan
itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan,
maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak.
Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi
jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui
cara saling memberikan barang dan harga barang.[6]
Akan
tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1)
Ada
orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2)
Ada
sighat (lafal ijab qabul).
3)
Ada
barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4)
Ada
nilai tukar pengganti barang.
Menurut
ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang
termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun
syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur
ulama diatas sebagai berikut :
a)
Syarat-syarat
orang yang berakad
Para
ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi
syarat, yaitu :
1)
Berakal
sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang
sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli
yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak
sah.
2)
Atas
dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
3)
Yang
melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat
bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.
b)
Syarat
yang terkait dalam ijab qabul
1)
Orang
yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2)
Qabul
sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli
tidak sah.
3)
Ijab dan
qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan
jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.[7]
c)
Syarat-syarat
barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat
yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut :
1)
Suci,
dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti
bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
2)
Barang
yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang
memilikinya.
3)
Barang
yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat
adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah
diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat
akibat perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah
diperjualbelikan.
4)
Barang
yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5)
Barang
yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6)
Boleh
diserahkan saat akad berlangsung.[8]
d)
Syarat-syarat
nilai tukar (harga barang)
Nilai
tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini para
ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r. Menurut mereka, al-tsaman
adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual,
sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang
sebelum dijual ke konsumen (pemakai). Dengan demikian, harga barang itu ada
dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga
dipasar).
Syarat-syarat
nilai tukar (harga barang) yaitu:
1)
Harga
yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2)
Boleh
diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek
dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka
pembayarannya harus jelas.
3)
Apabila
jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang
dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi,
dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.[9]
D.
MACAM-MACAM
JUAL BELI
Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi,
yaitu:
a)
Ditinjau
dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
1)
Jual
beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada
di hadapan penjual dan pembeli.
2)
Jual
beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus
disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad
berlangsung.
3)
Jual
beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam
agama Islam.
b)
Ditinjau
dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1)
Dengan
lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu
dapat diganti dengan isyarat.
2)
Dengan
perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan
oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan
menurut syara’.
3)
Jual
beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul.
Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya.
Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah
rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam
Nawawi membolehkannya.
c)
Dinjau
dari segi hukumnya
Jual
beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun
jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama
membaginya menjadi dua, yaitu:
1)
Shahih,
yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2)
Ghairu
Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan
fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1)
Shahih,
yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2)
Bathil,
adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan
oleh syara’. Misalnya:
·
Jual
beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di
dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
·
Jual
beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
·
Jual
beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan
syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
·
Jual
beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau
buku-buku bacaan porno.
·
Segala
bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti
menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.[10]
3)
Fasid
yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun
terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
·
Jual
beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya
akad.
·
Jual
beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang
sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
·
Membeli
barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik
karena kelangkaan barang tersebut.
·
Jual
beli barang rampasan atau curian.
·
Menawar
barang yang sedang ditawar orang lain.[11]
E.
PRINSIP-PRINSIP
JUAL BELI
a)
Prinsip
Jual-Beli
1)
Jual-beli Murȃbahah
Jual
beli murȃbahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah.[12]
Dalam murȃbahah, penjual menyebutkan
harga pembelian barang
kepada pembeli, kemudian ia
mensyaratkan atas laba
dalam jumlah tertentu.
Pada perjanjian murȃbahah,
bank membiayai pembelian barang
yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok, dan
kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang ditambah dengan
keuntungan, atau di mark-up.
Pembayaran
murȃbahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam murȃbahah
juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran
yang berbeda. Murȃbahah muʻajjal
dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan
pembayaran kemudian, baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum
(sekaligus).
2)
Jual-beli Salam
Definisi
salam adalah akad pesanan barang yang disebutkan sifat-sifatnya, yang dalam
majelis itu pemesan barang menyerahkan uang seharga barang pesanan yang barang
pesanan tersebut menjadi tanggungan penerima pesanan.[13]
3)
Jual-beli Istishna
Menurut
jumhur ulama’ fiqh, jual-beli istishna merupakan suatu jenis khusus dari
jual-beli salam. Biasanya jenis ini
dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan istishna
mengikuti ketentuan dan aturan akad salam. Produk istishna menyerupai produk salam,
namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam
beberapa kali pembayaran.
b) Prinsip Sewa (Ijȃrah)
Ijȃrah adalah akad
pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam konteks
perbankan syariah, ijarah adalah lease contract dimana suatu bank
atau lembaga keuangan menyewakan peralatan kepada salah satu nasabahnya
berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada
nasabah. Karena itu dalam perbankan syari’ah dikenal Ijȃrah Muntahiah Bi
Al-Tamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
c) Prinsip bagi hasil
Produk pembiayaan bank syariah yang didasarkan
atas prinsip bagi hasil terdiri dari musyȃrakah
dan mudlȃrabah.
1)
Musyȃrakah
Istilah lain dari musyȃrakah adalah syirkah atau syarikah.
Musyȃrakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2)
Mudlȃrabah
Secara teknis mudlȃrabah adalah akad kerjasama usaha
antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudlȃrabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian
tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan
dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi
kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka. Namun demikian, tidak
semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak
memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli
adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya
mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di
atas. Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan
rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda
hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.
B.
Kritik
dan Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat
memberikan manfaat bagi Kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Alaudin
Al-Kasyani, Badai’ Ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syarai’. Juz V.
Al-Zuhaily
Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz
4.
Drs.
Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup,
2008)
Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2006)
Ibnu
Qudamah, Al-Mugni. Juz III.
MS.
Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008)
Muhammad
Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj. Juz II.
Nasrun
Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007).
Thauam
Marufah, Jual Beli dan Khiyar, di kutip pada situs: http://bolo-
kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html.
Diakses
di Pekanbaru Pukul 11:12 WIB pada tanggal 31 Oktober 2019.
[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 68.
[2] Alaudin Al-Kasyani, Badai’ Ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syarai’.
Juz V, Hlm. 133.
[3] Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj. Juz II, hlm. 2.
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mugni. Juz III, hlm. 559.
[10] Thauam Marufah, Jual Beli dan Khiyar, di
kutip pada situs:
http://bolo-kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html.
Diakses di Pekanbaru Pukul 11:12 WIB pada tanggal 31 Oktober 2019.
[12] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 62.
[13] Hendi Suhendi, Ibid., hlm.
63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar