Rabu, 31 Maret 2021

HUBUNGAN ANTAR MANUSIA (Da'i dengan Mad'u) - Makalah Psikologi Dakwah

 

HUBUNGAN ANTAR MANUSIA (Da’i dengan Mad’u)

 

Dosen Pembimbing : Drs. Silawati, M. Pd.

 

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Psikologi Dakwah

 

  

OLEH KELOMPOK 7:

 

                Muhammad Mauladi                      NIM : 11840114094

 

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2020/2021


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Psikologi Dakwah dengan judul “Hubungan Antar Manusia (Da’i dengan Mad’u)” tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

 

 

Pekanbaru, 15 Maret 2020

 

 

Kelompok 7

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1

A.    Latar Belakang.............................................................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah........................................................................................................ 2

C.    Tujuan............................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3

A.     FAKTOR YANG MENDEKATKAN HUBUNGAN DA’I DAN MAD’U............... 3

B.     PIJAKAN PSIKOLOGIS HUBUNGAN ANTARA DA’I DAN MAD’U................ 6

C.     MODEL-MODEL HUBUNGAN DA’I DAN MAD’U.............................................. 9

BAB III PENUTUP................................................................................................................. 13

A.    KESIMPULAN........................................................................................................... 13

B.     KRITIK DAN SARAN............................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dakwah merupakan salah satu kewajiban umat Islam, sebagaimana Rasulullah yang menjadi panutan semua umat telah memperjuangkan hidupnya dalam berdakwah hanya karena Allah, metode dakwah Rasulullah sangat beraneka ragam, baik yang bersifat di atas mimbar maupun dalam berdiskusi atau majlis ta’lim. Dalam berdakwah yang perlu diperhatikan ialah bagaimana seorang da’i dapat berkomunikasi dengan masyarakat, sebab dengan adanya hubungan dekat dengan masyarakat, maka materi dalam berdakwah akan mudah diterima oleh masyarkat, bahkan lebih dari itu, seorang da’i pun wajib menjadi pigur bagi masyarakat, baik dalam berkeluarga maupun dalam bersosial.

Pada dasarnya, semua pribadi Muslim berperan secara otomatis sebagai juru dakwah, artinya orang yang harus menyampaikan atau dikenal sebagai komunikator dakwah. Siapa saja yang dapat dikenal sebagai da’i atau komunikator dakwah itu dapat dikelompokan menjadi dua bagian

·         Secara umum : setiap muslim atau muslimah yang mukallaf (dewasa)-di mana kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat tidak terpisah dari misinya sebagai penganut Islam

·         Secara khusus : mereka yang mengambil keahlian khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam, yang dikenal dengan panggilan ulama[1]

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Faktor Yang Mendekatkan Hubungan Da’i dan Mad’u?

2.      Bagaimana Pijakan Psikologis Hubungan antara Da’i dan Mad’u?

3.      Bagaimana Model-Model Hubungan Da’i dan Mad’u?

 

C.     Tujuan

1.      Memahami Faktor Yang Mendekatkan Hubungan Da’i dan Mad’u.

2.      Memahami Pijakan Psikologis Hubungan antara Da’i dan Mad’u.

3.      Memahami Model-Model Hubungan Da’i dan Mad’u.


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    FAKTOR YANG MENDEKATKAN HUBUNGAN DA’I DAN MAD’U

Dalam berdakwah seorang da’i harus mampu menghipnotis mad’unya, dapat dilkkan dengan kemampuan atau karakteristik seorang da’i, agar terdapat keunikan dan kenyamanan dalam mendengarkan dakwah.  Dengan demikian hal tersebut, akan terwujudnya hubungan komunikasi atau kedekatan antara da’i dan mad’u. sehingga apabila kedekatan dan kenyamanan sudah dapat diaplikasikan dan forum berdakwah, maka materi yang disampaikan akan mudah diterima oleh masyarakat  

Keterkaitan dan sikap positif masyarakat terhadap da’i dapat diurai faktor-faktornya sebagai berikut:

1.      Ketertarikan masyarakat kepada da’i boleh jadi disebabkan karena daya pesona da’i, misalnya orangnya gagah, sikapnya lemah lembut dan halus budi, memiliki kemampuan membantu masyarakat dalam memecahkan problem sosial mereka, dan mampu memberikan harapan masa depan (optimisme) kepada masyarakat luas. Ketertarikan ini seperti orang yang jatuh cinta karena melihat gadis yang memang cantik.

Seorang Da’i ketika mau menyampaikan ucapannya di depan Mad’u harus mempunyai kesiapan yang matang agar kegiatan dakwah berjalan lancar. Kesiapan tersebut akan nampak pada seorang da’i ketika menyampaikan materinya apakah menyakinkan atau tidak. Dan pembicaraan topiknya akan sistematis dalam artian tidak akan berbicara kemana-mana walaupun nantinya di tengah-tengah di selingi dengan permainan (humor) atau yang lainnya, di karenakan Da’i sudah mempersiapkan arah pembicaraan dari awal hingga akhir.[2]

2.      Ketertarikan itu boleh jadi karena kehadiran da’i tepat waktu yakni pada saat masyarakat membutuhkan kehadiran figur seorang tokoh panutan, yakni dikala suasana psikologis sedang menunggu kehadiran seseorang yang didambakan, tiba-tiba hadir sang da’imengisi kekosongan. Seorang da’i juga harus membawakan kesan kepada  mad’unya, bahwa ia berhati tulus dalam niat dan perbuatannya. Da’i harus hati-hati untuk menghindari kata-kata yang mengarah pada kecurigaan terhadap ketidaktulusan.[3] Faktor yang menghubungkan kedua belah pihak seperti ini sama seperti hubungan cinta seorang pemuda yang sedang kesepian, kemudian ketemu dengan seorang gadis, meski tidak ideal tetapi mampu mengisi kekosongan jiwanya.

3.      Hubungan batin itu terbentuk boleh jadi karena masyarakat sedang merindukan hadirnya keajaiban karena sedang menghadapi masalah-masalah yang tidak logis. Sosok yang dipandang mampu mengatasi hal seperti itu biasanya adalah seorang pemimpin spritual. Tiba-tiba datang seorang da’i membawa apa yang diidamkan, yang do’anya dianggap mujarab dan bahkan lebih. Kedekatan antara hubungan batin antara da’i dan mad’u dalam model ketiga ini dapat dibandingkan hubungan kaum Ansor dan Muhajirin pada zaman awal Islam. Ketika itu orang yastrib yang sudah lama berkutat pada konflik sosial dengan lawan-lawan kabilahnya sampai pada suatu titik merindukan hadirnya tokoh pemersatu, apalagi dalam menghadapi kesombongan teologis orang yang Yahudi. Dalam kondisi psikologis demikian mereka mendengar ada tokoh bernama Muhammad yang dilecehkan oleh orang Mekkah, maka setelah mereka berjumpa dan melihat keunggulan komparatif yang dimilki oleh pribadi Muhammad orang Yastrib ketika itu meminta Nabi untuk hijrah ke Madinah. Dan beliau memberiakan banyak kontribusi di Madinah.

Sikap positif dan kesukaan atau ketertarikan orang kepada da’i dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:[4]

1.      Kesamaan karakteristik personal

Yakni kesamaan agama, keyakinan aliran ideologi, tingkat sosial ekonomi, nilai-nilai yang dianut, sikap terhadapseuatu dan sebagainya. Masyarakat Buntet Cirebon di Jakarta akan lebih senang mengundang kyai Fuad Hasyim yang asl Buntet, jama’ah NU lebih tertarik kepada Camat yang sama-sama NU, orang-orang LSM lebih tertarik kepada Gus Dur.

2.      Kesamaan tekanan psikologis

Orang yang sedang tertekan perasaannya cenderung tertarik kepada orang lain yang juga sedang tertekan. Pejabat-pejabat tinggi yang merasa dikecewakan oleh pemerintah Orde baru saling tertarik dan bersikap poitif diantara mereka,  

3.      Rendah diri

Keramahan Da’i dalam berkomunikasi akan menimbulkan rasa simpati mad’u kepadanya. Keramahan tidak berarti kelemahan, tetapi pengekpresian sikap etis. Lebih-lebih jika komunikator muncul dalam forum yang mengandung dan membutuhkan argumentatif. Adakalanya dalam satu forum timbul tanggapan dari seorang mad’u sebuah kritik pedas, maka dalam situasi seperti ini, sikap hormat komunikator dalam memberikan jawaban dengan tidak menggunakan nada yang tinggi dan meledak-ledak dikarenakan emosinya, dengan seperti inilah akan meluluhkan sikap emosional mad’u, dan akan menimbulkan rasa simpati pada komunikator.[5]

                Oleh karena itu, hubungan kedekatan antara da’i dan mad’u dimulai dari seorang da’i terlebih dahulu, jika seorang da’i memiliki figur yang baik, maka dengan tidak sadar respon masyarakat terhadap seorang da’i akan muncul dengan sendirinya.    

 

B.     PIJAKAN PSIKOLOGIS HUBUNGAN ANTARA DA’I DAN MAD’U

Dari psikologi sendiri yaitu suatu ilmu yang membahas tentang kejiwaan manusia atau tingkah laku manusia yang merupakan cerminan hidup kejiwaannya, serta dalam berdakwah itu sendiri dapat di sebut sebagai Da’i dan Mad’u karena terjalinnya komunikasi untuk menyampaikan dan mengajarkan ajran-ajaran Islam. Dalam hal ini Da’i dan Mad’u mempunyai hubungan yang sangat erat seperti yang sudah dipaparkan di atas. Dalam kaitannya dengan psikologi yaitu mendapati kejiwaan atau penyakit-penyakit masyarakat yang bersifat psikis dalam rohani pikiran Da’i dan Mad’u agar dapat menjadi lebih baik lagi dengan mengajak, memotivasi, merangsang serta membimbing individu atau kelompok melalui ajaran agama Islam yang sesuai dengan syariat Islam yang ada.[6]

Hubungan baik antar da’i dan mad’u, sebagaimana hubungan baik antarsiapa pun tidak otomatis terjadi, tetapi membutuhkan adanya pijakan-pijakan psikologis. Hubungan baik itu dimungkinkan jika di antara kedua pihak terdapat hal-hal sebagai berikut:[7]

1.      Faktor Percaya

Jika masyarakat percaya kepada da’i dan memandangnya penuh hormat, di pihak lain da’i pun percaya bahwa masyarakat berpikir konstruktif, maka faktor ini memungkinkan terjadinya hubungan baik antar a da’i dan masyarakat. Jika di antara kedua belah pihak tidak saling percaya maka yang terjadi adalah kesalahpahaman.

Seorang Da’i dalam berdakwah harus memancarkan sebuah kepastian. Ini harus selalu muncul dengan penguasaan diri dan situasi secara sempurna. Dia harus selamanya siap menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang ada. Namun, walaupun ia harus menunjukkan kepercayaan dirinya, jangan sekali-kali dengan sikapnya lalu muncul takabbur.[8]

2.      Sikap Saling Membantu

Jika masyarakat merasa dibantu oleh kehadiran da’i, dan da’i pun merasa dibantu oleh masyarakat dalam berekspresi diri dan beramal saleh mengembangkan karir, maka hubungan baik mudah terjadi. Sebaliknya jika kehadiran da’i dirasakan oleh masyarakat sebagai gangguan, atau beban, atau da’i merasa diperbudak oleh masyarakat, maka hubungan itu tidak akan terjadi

3.      Sikap Terbuka  

Seorang da’i, jika ia memiliki sikap terbuka, yakni tahu betul apa yang telah diketahui oleh masyarakat tentang dirinya sehingga ia tidak perlu menutupi dirinyadengan topeng kepalsuan (basa-basi), serta tahu betul hal-hal dirinya yang tidak perlu diketahui oleh masyarakat sehingga ia tidak merasa perlu untuk memberitahukannya, kemudian bertemu dengan jamaah yang juga terbuka, tidak basa-basi, tidak berpura-pura, maka hubungan kedua belah pihak akan baik. Akan tetapi, jika kedua belah pihak saling menyimpan rahasia yang sebenarnya bukan rahasia, maka hubungan baik sulit terujud.

Kesederhanaan tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga dalam penggunaan bahasa sebagai alat untuk  menyampaikan dan menyalurkan pikiran dan perasaan dan dalam gaya komunikasinya. Bahasa dan kata-kata yang di sampaikan oleh da’i harus menyesuaikan dengan keadaan mad’u, yang mana bahasa dan kata-kata itu mudah untuk dipahami, jangan lantas seorang da’i yang notabenya juga seorang akademis lalu menyampaikan dalam bahasa dan kata-kata akademis kepada mad’u yang mayoritas pengetahuannya kurang, tentu apa yang disampaikan da’i tersebuat sulit untuk dipahami mad’u.[9]

Apabila dalam berdakwah saling percaya antara da’i dan mad’u. Dimana seorang da’i percaya akan suksesnya menyampaikan materi dengan baik, dan masyarakat pun percaya kepada da’i tentang penyampaian isi kandungan yang disampaikan oleh seorang da’i, maka hubungan komunikasi dari keduanya akan mudah terwujud.  

 

C.     MODEL-MODEL HUBUNGAN DA’I DAN MAD’U

Hubungan antara da’i dan mad’u, atau hubungan antara da’i dan masyarakat dapat diuraikan dengan menggunakan teori hubungan interpersonal. Dalam tinjauan ini, sekurang-kurangnya ada tiga model hubungan interpersonal yang dapat digunakan untuk mengetahui intersitas hubungan antara da’i dan masyarakat, yaitu: (1) Model pertukaran sosial, (2) Model peranan, (3) Model permainan.[10]

1.      Model pertukaran social

Teori ini memandang bahwa hubungan antara da’i dan mad’u tak ubahnya seperti orang yang sedang melakukan transaksi dagang. Artinya, da’i menjual kebahagiaan, ketenteraman dan keabsahan, sedang masyarakat membayarnya dengan mengeluarkan biaya berupa, uang untuk honor, uang biaya untuk transpor menghadiri pengajian misalnya, serta tenaga dan waktu yang diperlukan untuk mendengarkan pesan dakwah.

Dalam perspektif ini maka kontinuitas dan kualitas hubungan antara da’i dan mad’u bergantung kepada seberapa besar kedua belah pihak memperoleh kepuasan dari transaksi itu. Jika kebahagiaan yang dijual oleh da’i itu tinggi nilainya di mata msyarakat, maka mereka bersedia membayar mahal dengan harta, tenaga, dan waktu. Demikian juga jika da’i meraa dagangannya laku dan bahkan dibayar tinggi (berupa uang, penghargaan sosial, dukungan) oleh masyarakat, maka da’i akan beremangat dalam “menjual” pesan-pesan dakwah

2.      Model peranan

Seorang da’i seharusnya hidup harmonis dalam rumah tangganya. Tetapi sering kedengaran cekcok dengan istrinya maka ia dinilai tidak pandai melakukan peran. Jika ia dihapadan umum memukuli istrinya. Maka da’i itu menyimpang dari peran semestinya. Jika da’i kurang pintar memainkan peran, apalagi salah peran, maka hubungan intterpersonalnya dengan masyarakat tidak baik

Menurut A’la al-Maududi yang dikutif oleh Moh Ali Aziz dalam bukunya yang berjudul Ilmu Dakwah beliau menjelaskan bahwa sifat-sifat model peranan seorang da’i dapat disimpulakan sebagai berikut:

a)      Sanggup memerangi musuh dalam dirinya sendiri yaitu nafsu untuk taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya sebelum memerangi hawa nafsunya.

b)      Sanggup berhijrah dari hal-hal yang maksiat yang dapat merendahkan dirinya dihadapan Allah SWT dan dihadapan masyarakat

c)      Mampu menjadi uswatun hasanah budi dan akhlaknya yang menjadi mad’unya

d)      Memiliki persiapan mental:

1)      Sabar, yang meliputi sifat-sifat teliti tekad yang kuat, tidak bersifat pesimis

2)      Senang memberi pertolongan kepada orang yang bersedia berkorban, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan harta serta kepentingan yang lain

3)      Cita dan memiliki semangat yang tinggi dalam mencapai tujuan

4)      Menyediakan diri untuk berkorban dan berkerja terus menerus secara teratur dan berkesinambungan.[11]

3.      Model permainan

Menurut teori ini, hubungan interpersonal manusia itu didasari oleh permainan peranan yang berpokok pada tiga kepribadian; yaitu kepribadian orang tua, orang dewasa dan kepribadian anak-anak.

Jika seorang da’i dalam dalam hubungannya dengan masyarakat mad’u menunjukan kepribadian pemaaf, penyayang dan penganyom masyarakat, maka ia diperlakukan orang sebagai orang tua (sesepuh) yang disegani. Jika ia menunjukan kepribadian sebagai orang terampil, aktif dan bertanggung jawab dalam menghadapi masalah-masalah pentin, maka ia diperlakukan orang sebagai orang dewasa, tepapi jika seorang da’i manja, tidak sabaran dan lebih menyukai kesenangan, maka ia diperlakukan orang sebagai anak-anak


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Seorang da’i dalam kegiatan dakwahnya tentunya mempunyai berbagai cara agar penyampaiannya mudah di pahami dan di terima oleh mad’u dengan mengetahui kondisi dan situasi di masyarakat.  Akan tetapi para Da’i harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat mendekatkan da’i dengan mad’u agar dalam interaksinya terjadi kepercayaan di antara keduanya, sehingga da’i menyampaikan dakwahnya sedangkan mad’u mudah untuk memahami dan menerima apa yang di sampaikan da’i tersebut.

Psikologi hubungan da’i dan mad’u dalam forum dakwah, memiliki keterkaitan sangat erat, seperti da’i bukan hanya menyampaikan materi yang ia sampaikan, namun apabila dimungkinkan seorang da’i untuk dapat menerima masukan atau tanggapan dari masyarakat, seperti mad’u pun berhak menanyakan atau membantu tambahan materi yang lebih luas, dengan adanya seperti demikian, da’i berdakwah tidak merasa dirinya paling benar, namun dengan adanya sikap keterbuakaan antara da’i dan mad’u akan menambah wawasan yang lebih luas   

 

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah tentang “Hubungan Antar Manusia (Da’i dengan Mad’u)” yang telah Kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.


 


DAFTAR PUSTAKA

Ali Aziz, Moh, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2004

Ilahi, MA, Wahyu, Komunikasi Dakwah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010

Mubarok, Achmad, Psikologi Dakwah, Malang: Madani, 2014

Faizah dan Lalu Muchsin Effendi. 2006. Psikologi Dakwah. Jakarta: Prenadamedia Grup.

 

 

 



 

 



[1] Wahyu Ilahi, MA, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 77

[2] Wahyu Ilahi. Ibid, hlm. 79.

[3] Wahyu Ilahi. Ibid, hlm. 79.

[4] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang: Madani, 2014), hlm 151

[5] Wahyu Ilahi. Loc. Cit, hlm. 79.

[6] Faizah dan Lalu Muchsin Effendi. Psikologi Dakwah. (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2006), hlm. 4-7

[7] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang: Madani, 2014), hlm 152

[8] Wahyu Ilahi. Ibid, hlm. 80

[9] Wahyu Ilahi. Ibid, hlm. 80

[10] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang: Madani, 2014), hlm 153-154

[11] Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar