HUBUNGAN ANTAR MANUSIA (Da’i dengan Mad’u)
Dosen Pembimbing : Drs. Silawati, M. Pd.
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Psikologi
Dakwah
OLEH KELOMPOK 7:
Muhammad Mauladi NIM : 11840114094
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2020/2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan
penyusunan makalah Psikologi Dakwah dengan judul “Hubungan Antar Manusia (Da’i
dengan Mad’u)” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang
ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini
dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.
Pekanbaru, 15 Maret 2020
Kelompok 7
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................................ 2
C. Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A.
FAKTOR YANG MENDEKATKAN HUBUNGAN DA’I DAN MAD’U............... 3
B.
PIJAKAN PSIKOLOGIS
HUBUNGAN ANTARA DA’I DAN MAD’U................ 6
C.
MODEL-MODEL HUBUNGAN DA’I DAN MAD’U.............................................. 9
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 13
A.
KESIMPULAN........................................................................................................... 13
B.
KRITIK DAN SARAN............................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dakwah merupakan salah satu kewajiban umat Islam, sebagaimana Rasulullah
yang menjadi panutan semua umat telah memperjuangkan hidupnya dalam berdakwah
hanya karena Allah, metode dakwah Rasulullah sangat beraneka ragam, baik yang
bersifat di atas mimbar maupun dalam berdiskusi atau majlis ta’lim. Dalam
berdakwah yang perlu diperhatikan ialah bagaimana seorang da’i dapat
berkomunikasi dengan masyarakat, sebab dengan adanya hubungan dekat dengan
masyarakat, maka materi dalam berdakwah akan mudah diterima oleh masyarkat,
bahkan lebih dari itu, seorang da’i pun wajib menjadi pigur bagi masyarakat,
baik dalam berkeluarga maupun dalam bersosial.
Pada dasarnya, semua pribadi Muslim
berperan secara otomatis sebagai juru dakwah, artinya orang yang harus
menyampaikan atau dikenal sebagai komunikator dakwah. Siapa saja yang dapat
dikenal sebagai da’i atau komunikator dakwah itu dapat dikelompokan menjadi dua
bagian
·
Secara
umum : setiap muslim atau muslimah yang mukallaf (dewasa)-di mana kewajiban
dakwah merupakan suatu yang melekat tidak terpisah dari misinya sebagai
penganut Islam
·
Secara
khusus : mereka yang mengambil keahlian khusus (mutakhasis) dalam bidang agama
Islam, yang dikenal dengan panggilan ulama[1]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Faktor Yang Mendekatkan Hubungan Da’i dan Mad’u?
2.
Bagaimana
Pijakan Psikologis Hubungan
antara Da’i dan Mad’u?
3.
Bagaimana
Model-Model Hubungan Da’i dan Mad’u?
C. Tujuan
1. Memahami Faktor Yang Mendekatkan Hubungan Da’i dan Mad’u.
2. Memahami
Pijakan Psikologis Hubungan antara Da’i dan Mad’u.
3. Memahami Model-Model Hubungan Da’i dan Mad’u.
BAB II
PEMBAHASAN
A. FAKTOR YANG MENDEKATKAN HUBUNGAN DA’I DAN MAD’U
Dalam berdakwah seorang da’i harus mampu
menghipnotis mad’unya, dapat dilkkan dengan kemampuan atau karakteristik
seorang da’i, agar terdapat keunikan dan kenyamanan dalam mendengarkan dakwah.
Dengan demikian hal tersebut, akan terwujudnya hubungan komunikasi atau
kedekatan antara da’i dan mad’u. sehingga apabila kedekatan dan kenyamanan
sudah dapat diaplikasikan dan forum berdakwah, maka materi yang disampaikan
akan mudah diterima oleh masyarakat
Keterkaitan
dan sikap positif masyarakat terhadap da’i dapat diurai faktor-faktornya
sebagai berikut:
1.
Ketertarikan
masyarakat kepada da’i boleh jadi disebabkan karena daya pesona da’i, misalnya
orangnya gagah, sikapnya lemah lembut dan halus budi, memiliki kemampuan
membantu masyarakat dalam memecahkan problem sosial mereka, dan mampu
memberikan harapan masa depan (optimisme) kepada masyarakat luas. Ketertarikan
ini seperti orang yang jatuh cinta karena melihat gadis yang memang cantik.
Seorang Da’i ketika mau menyampaikan ucapannya di depan Mad’u harus
mempunyai kesiapan yang matang agar kegiatan dakwah berjalan lancar. Kesiapan
tersebut akan nampak pada seorang da’i ketika menyampaikan materinya apakah
menyakinkan atau tidak. Dan pembicaraan topiknya akan sistematis dalam artian
tidak akan berbicara kemana-mana walaupun nantinya di tengah-tengah di selingi
dengan permainan (humor) atau yang lainnya, di karenakan Da’i sudah
mempersiapkan arah pembicaraan dari awal hingga akhir.[2]
2.
Ketertarikan
itu boleh jadi karena kehadiran da’i tepat waktu yakni pada saat masyarakat
membutuhkan kehadiran figur seorang tokoh panutan, yakni dikala suasana
psikologis sedang menunggu kehadiran seseorang yang didambakan, tiba-tiba hadir
sang da’imengisi kekosongan. Seorang da’i juga harus membawakan kesan
kepada mad’unya, bahwa ia berhati tulus dalam niat dan perbuatannya. Da’i
harus hati-hati untuk menghindari kata-kata yang mengarah pada kecurigaan
terhadap ketidaktulusan.[3] Faktor
yang menghubungkan kedua belah pihak seperti ini sama seperti hubungan cinta
seorang pemuda yang sedang kesepian, kemudian ketemu dengan seorang gadis,
meski tidak ideal tetapi mampu mengisi kekosongan jiwanya.
3.
Hubungan
batin itu terbentuk boleh jadi karena masyarakat sedang merindukan hadirnya
keajaiban karena sedang menghadapi masalah-masalah yang tidak logis. Sosok yang
dipandang mampu mengatasi hal seperti itu biasanya adalah seorang pemimpin
spritual. Tiba-tiba datang seorang da’i membawa apa yang diidamkan, yang
do’anya dianggap mujarab dan bahkan lebih. Kedekatan antara hubungan batin
antara da’i dan mad’u dalam model ketiga ini dapat dibandingkan hubungan kaum
Ansor dan Muhajirin pada zaman awal Islam. Ketika itu orang yastrib yang sudah
lama berkutat pada konflik sosial dengan lawan-lawan kabilahnya sampai pada
suatu titik merindukan hadirnya tokoh pemersatu, apalagi dalam menghadapi
kesombongan teologis orang yang Yahudi. Dalam kondisi psikologis demikian
mereka mendengar ada tokoh bernama Muhammad yang dilecehkan oleh orang Mekkah,
maka setelah mereka berjumpa dan melihat keunggulan komparatif yang dimilki
oleh pribadi Muhammad orang Yastrib ketika itu meminta Nabi untuk hijrah ke
Madinah. Dan beliau memberiakan banyak kontribusi di Madinah.
Sikap
positif dan kesukaan atau ketertarikan orang kepada da’i dipengaruhi oleh
hal-hal sebagai berikut:[4]
1.
Kesamaan
karakteristik personal
Yakni kesamaan agama, keyakinan aliran ideologi, tingkat sosial
ekonomi, nilai-nilai yang dianut, sikap terhadapseuatu dan sebagainya.
Masyarakat Buntet Cirebon di Jakarta akan lebih senang mengundang kyai Fuad
Hasyim yang asl Buntet, jama’ah NU lebih tertarik kepada Camat yang sama-sama
NU, orang-orang LSM lebih tertarik kepada Gus Dur.
2.
Kesamaan
tekanan psikologis
Orang yang sedang tertekan perasaannya cenderung tertarik kepada
orang lain yang juga sedang tertekan. Pejabat-pejabat tinggi yang merasa
dikecewakan oleh pemerintah Orde baru saling tertarik dan bersikap poitif
diantara mereka,
3.
Rendah
diri
Keramahan Da’i dalam berkomunikasi akan menimbulkan rasa simpati
mad’u kepadanya. Keramahan tidak berarti kelemahan, tetapi pengekpresian sikap
etis. Lebih-lebih jika komunikator muncul dalam forum yang mengandung dan
membutuhkan argumentatif. Adakalanya dalam satu forum timbul tanggapan dari
seorang mad’u sebuah kritik pedas, maka dalam situasi seperti ini, sikap hormat
komunikator dalam memberikan jawaban dengan tidak menggunakan nada yang tinggi
dan meledak-ledak dikarenakan emosinya, dengan seperti inilah akan meluluhkan
sikap emosional mad’u, dan akan menimbulkan rasa simpati pada komunikator.[5]
Oleh karena itu, hubungan kedekatan antara da’i dan mad’u dimulai dari seorang
da’i terlebih dahulu, jika seorang da’i memiliki figur yang baik, maka dengan
tidak sadar respon masyarakat terhadap seorang da’i akan muncul dengan
sendirinya.
B.
PIJAKAN PSIKOLOGIS HUBUNGAN
ANTARA DA’I DAN MAD’U
Dari
psikologi sendiri yaitu suatu ilmu yang membahas tentang kejiwaan manusia atau
tingkah laku manusia yang merupakan cerminan hidup kejiwaannya, serta dalam
berdakwah itu sendiri dapat di sebut
sebagai Da’i dan Mad’u karena terjalinnya komunikasi untuk
menyampaikan dan mengajarkan ajran-ajaran Islam. Dalam hal
ini Da’i dan Mad’u mempunyai hubungan yang sangat erat
seperti yang sudah dipaparkan di atas. Dalam kaitannya dengan psikologi yaitu
mendapati kejiwaan atau penyakit-penyakit masyarakat yang bersifat psikis dalam
rohani pikiran Da’i dan Mad’u agar dapat menjadi lebih baik
lagi dengan mengajak, memotivasi, merangsang serta membimbing individu atau
kelompok melalui ajaran agama Islam yang sesuai dengan syariat Islam yang ada.[6]
Hubungan
baik antar da’i dan mad’u, sebagaimana hubungan baik antarsiapa pun tidak
otomatis terjadi, tetapi membutuhkan adanya pijakan-pijakan psikologis.
Hubungan baik itu dimungkinkan jika di antara kedua pihak terdapat hal-hal
sebagai berikut:[7]
1.
Faktor
Percaya
Jika masyarakat percaya kepada da’i dan memandangnya penuh hormat,
di pihak lain da’i pun percaya bahwa masyarakat berpikir konstruktif, maka
faktor ini memungkinkan terjadinya hubungan baik antar a da’i dan masyarakat.
Jika di antara kedua belah pihak tidak saling percaya maka yang terjadi adalah
kesalahpahaman.
Seorang Da’i dalam berdakwah harus memancarkan sebuah kepastian.
Ini harus selalu muncul dengan penguasaan diri dan situasi secara sempurna. Dia
harus selamanya siap menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang ada. Namun,
walaupun ia harus menunjukkan kepercayaan dirinya, jangan sekali-kali dengan
sikapnya lalu muncul takabbur.[8]
2.
Sikap
Saling Membantu
Jika masyarakat merasa dibantu oleh kehadiran da’i, dan da’i pun
merasa dibantu oleh masyarakat dalam berekspresi diri dan beramal saleh mengembangkan
karir, maka hubungan baik mudah terjadi. Sebaliknya jika kehadiran da’i
dirasakan oleh masyarakat sebagai gangguan, atau beban, atau da’i merasa
diperbudak oleh masyarakat, maka hubungan itu tidak akan terjadi
3.
Sikap
Terbuka
Seorang da’i, jika ia memiliki sikap terbuka, yakni tahu betul apa
yang telah diketahui oleh masyarakat tentang dirinya sehingga ia tidak perlu
menutupi dirinyadengan topeng kepalsuan (basa-basi), serta tahu betul hal-hal
dirinya yang tidak perlu diketahui oleh masyarakat sehingga ia tidak merasa
perlu untuk memberitahukannya, kemudian bertemu dengan jamaah yang juga
terbuka, tidak basa-basi, tidak berpura-pura, maka hubungan kedua belah pihak
akan baik. Akan tetapi, jika kedua belah pihak saling menyimpan rahasia yang sebenarnya
bukan rahasia, maka hubungan baik sulit terujud.
Kesederhanaan tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat fisik,
tetapi juga dalam penggunaan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan
menyalurkan pikiran dan perasaan dan dalam gaya komunikasinya. Bahasa dan
kata-kata yang di sampaikan oleh da’i harus menyesuaikan dengan keadaan mad’u,
yang mana bahasa dan kata-kata itu mudah untuk dipahami, jangan lantas seorang
da’i yang notabenya juga seorang akademis lalu menyampaikan dalam bahasa dan
kata-kata akademis kepada mad’u yang mayoritas pengetahuannya kurang, tentu apa
yang disampaikan da’i tersebuat sulit untuk dipahami mad’u.[9]
Apabila dalam berdakwah saling percaya antara da’i dan mad’u.
Dimana seorang da’i percaya akan suksesnya menyampaikan materi dengan baik, dan
masyarakat pun percaya kepada da’i tentang penyampaian isi kandungan yang
disampaikan oleh seorang da’i, maka hubungan komunikasi dari keduanya akan
mudah terwujud.
C.
MODEL-MODEL
HUBUNGAN DA’I DAN MAD’U
Hubungan
antara da’i dan mad’u, atau hubungan antara da’i dan masyarakat dapat diuraikan
dengan menggunakan teori hubungan interpersonal. Dalam tinjauan ini,
sekurang-kurangnya ada tiga model hubungan interpersonal yang dapat digunakan
untuk mengetahui intersitas hubungan antara da’i dan masyarakat, yaitu: (1)
Model pertukaran sosial, (2) Model peranan, (3) Model permainan.[10]
1.
Model
pertukaran social
Teori ini memandang bahwa hubungan antara da’i dan mad’u tak
ubahnya seperti orang yang sedang melakukan transaksi dagang. Artinya, da’i menjual
kebahagiaan, ketenteraman dan keabsahan, sedang masyarakat membayarnya dengan
mengeluarkan biaya berupa, uang untuk honor, uang biaya untuk transpor
menghadiri pengajian misalnya, serta tenaga dan waktu yang diperlukan untuk
mendengarkan pesan dakwah.
Dalam perspektif ini maka kontinuitas dan kualitas hubungan antara
da’i dan mad’u bergantung kepada seberapa besar kedua belah pihak memperoleh
kepuasan dari transaksi itu. Jika kebahagiaan yang dijual oleh da’i itu tinggi
nilainya di mata msyarakat, maka mereka bersedia membayar mahal dengan harta,
tenaga, dan waktu. Demikian juga jika da’i meraa dagangannya laku dan bahkan
dibayar tinggi (berupa uang, penghargaan sosial, dukungan) oleh masyarakat,
maka da’i akan beremangat dalam “menjual” pesan-pesan dakwah
2.
Model
peranan
Seorang da’i seharusnya hidup harmonis dalam rumah tangganya.
Tetapi sering kedengaran cekcok dengan istrinya maka ia dinilai tidak pandai
melakukan peran. Jika ia dihapadan umum memukuli istrinya. Maka da’i itu
menyimpang dari peran semestinya. Jika da’i kurang pintar memainkan peran,
apalagi salah peran, maka hubungan intterpersonalnya dengan masyarakat tidak
baik
Menurut A’la al-Maududi yang dikutif oleh Moh Ali Aziz dalam
bukunya yang berjudul Ilmu Dakwah beliau menjelaskan bahwa sifat-sifat
model peranan seorang da’i dapat disimpulakan sebagai berikut:
a)
Sanggup
memerangi musuh dalam dirinya sendiri yaitu nafsu untuk taat kepada Allah SWT
dan rasul-Nya sebelum memerangi hawa nafsunya.
b)
Sanggup
berhijrah dari hal-hal yang maksiat yang dapat merendahkan dirinya dihadapan
Allah SWT dan dihadapan masyarakat
c)
Mampu
menjadi uswatun hasanah budi dan akhlaknya yang menjadi mad’unya
d)
Memiliki
persiapan mental:
1)
Sabar,
yang meliputi sifat-sifat teliti tekad yang kuat, tidak bersifat pesimis
2)
Senang
memberi pertolongan kepada orang yang bersedia berkorban, mengorbankan waktu,
tenaga, pikiran dan harta serta kepentingan yang lain
3)
Cita
dan memiliki semangat yang tinggi dalam mencapai tujuan
4)
Menyediakan
diri untuk berkorban dan berkerja terus menerus secara teratur dan
berkesinambungan.[11]
3.
Model
permainan
Menurut teori ini, hubungan interpersonal manusia itu didasari oleh
permainan peranan yang berpokok pada tiga kepribadian; yaitu kepribadian orang
tua, orang dewasa dan kepribadian anak-anak.
Jika seorang da’i dalam dalam hubungannya dengan masyarakat mad’u
menunjukan kepribadian pemaaf, penyayang dan penganyom masyarakat, maka ia
diperlakukan orang sebagai orang tua (sesepuh) yang disegani. Jika ia
menunjukan kepribadian sebagai orang terampil, aktif dan bertanggung jawab
dalam menghadapi masalah-masalah pentin, maka ia diperlakukan orang sebagai
orang dewasa, tepapi jika seorang da’i manja, tidak sabaran dan lebih menyukai
kesenangan, maka ia diperlakukan orang sebagai anak-anak
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seorang da’i dalam kegiatan dakwahnya tentunya
mempunyai berbagai cara agar penyampaiannya mudah di pahami dan di terima oleh
mad’u dengan mengetahui kondisi dan situasi di masyarakat. Akan tetapi
para Da’i harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat mendekatkan da’i dengan
mad’u agar dalam interaksinya terjadi kepercayaan di antara keduanya, sehingga
da’i menyampaikan dakwahnya sedangkan mad’u mudah untuk memahami dan menerima
apa yang di sampaikan da’i tersebut.
Psikologi hubungan da’i dan mad’u dalam forum
dakwah, memiliki keterkaitan sangat erat, seperti da’i bukan hanya menyampaikan
materi yang ia sampaikan, namun apabila dimungkinkan seorang da’i untuk dapat
menerima masukan atau tanggapan dari masyarakat, seperti mad’u pun berhak
menanyakan atau membantu tambahan materi yang lebih luas, dengan adanya seperti
demikian, da’i berdakwah tidak merasa dirinya paling benar, namun dengan adanya
sikap keterbuakaan antara da’i dan mad’u akan menambah wawasan yang lebih luas
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang “Hubungan Antar Manusia (Da’i dengan Mad’u)” yang telah
Kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu
kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan.
Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat
bagi kita semua.
Ali Aziz, Moh, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2004
Ilahi, MA, Wahyu, Komunikasi
Dakwah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010
Mubarok, Achmad, Psikologi
Dakwah, Malang: Madani, 2014
Faizah dan Lalu Muchsin Effendi. 2006.
Psikologi Dakwah. Jakarta: Prenadamedia Grup.
[1] Wahyu Ilahi,
MA, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),
hlm. 77
[2] Wahyu Ilahi. Ibid, hlm. 79.
[3] Wahyu Ilahi. Ibid, hlm. 79.
[4] Achmad
Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang: Madani, 2014), hlm 151
[5] Wahyu Ilahi. Loc. Cit, hlm. 79.
[6]
Faizah dan Lalu
Muchsin Effendi. Psikologi Dakwah. (Jakarta:
Prenadamedia Grup, 2006), hlm. 4-7
[7] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang: Madani, 2014),
hlm 152
[8] Wahyu Ilahi. Ibid, hlm. 80
[9] Wahyu Ilahi. Ibid, hlm. 80
[10] Achmad
Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang: Madani, 2014), hlm 153-154
[11] Moh Ali
Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm 82

Tidak ada komentar:
Posting Komentar