Kamis, 26 Desember 2019

Zakat Sebagai Instrumen Finansial dalam Islam - Makalah Ekonomi Islam


ZAKAT SEBAGAI INSTRUMEN FINANSIAL DALAM ISLAM

Dosen Pembimbing : Syahrizul, S. Sos, M.E.Sy

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Ekonomi Islam








OLEH KELOMPOK 8:

Muhammad Mauladi                      NIM : 11840114094

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2019/2020


KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Ekonomi Islam dengan judul “Zakat Sebagai Instrumen Finansial Dalam Islam” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.


Pekanbaru, 3 Desember 2019


Kelompok 8
 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A.    Latar Belakang.............................................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................................ 1
C.    Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A.     PENGERTIAN DAN PERANAN ZAKAT................................................................ 3
B.     SYARAT-SYARAT ZAKAT..................................................................................... 12
C.     HARTA YANG WAJIB DIZAKATKAN................................................................. 16
D.     MUSTAHIQ ZAKAT................................................................................................. 21
E.     MANAJEMEN ZAKAT............................................................................................. 24
F.     ZAKAT DALAM PEREKONOMIAN..................................................................... 29
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 33
A.    KESIMPULAN........................................................................................................... 33
B.     SARAN......................................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di Indonesia adalah negara yang jumlah umat muslimnya sangat banyak oleh karena itu salah satu rukun islam yang ketiga mewajibkan umat muslimnya untuk melakukan zakat. Zakat sendiri adalah salah satu sumber pendapatan yang cukup penting untuk pembangunan ekonomi dalam suatu Negara. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Zakat mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah.
Sebagai salah satu bentuk pendapatan dari sistem ekonomi Islam, zakat seharusnya dapat dioptimalkan sebagai salah satu ujung tombak pembangunan ekonomi di Indonesia. Indonesia yang secara demografis merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat yang sangat besar.

B.     Rumusan Masalah
1)      Apa yang dimaksud zakat dan bagaimana peranannya?
2)      Apa saja syarat-syarat zakat?
3)      Harta apa saja yang wajib dizakatkan?
4)      Bagaimana maksud dari mustahiq zakat?
5)      Bagaimana manajemen zakat?
6)      Bagaimana zakat dalam perekonomian?
C.     Tujuan
1)      Mengetahui pengertian zakat dari segi bahasa maupun istilah serta peranannya.
2)      Mengetahui syarat-syarat dari zakat.
3)      Mengetahui harta-harta saja yang wajib dizakatkan.
4)      Mengetahui Mustahiq zakat yaitu orang-orang yang dapat menerima zakat.
5)      Mengetahui manajemen dari zakat.
6)      Mengetahui peran zakat dalam perekonomian.




BAB I
A.    PEMBAHASAN PENGERTIAN DAN PERANAN ZAKAT

Secara bahasa, zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (Ziyadah). Jika diucapkan, zaka al-zar’, adalah tanaman tumbuh dan bertambah jika diberkati.[1] Kata ini juga sering dikemukakan untuk makna thaharah (suci) Allah SWT. berfirman:
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (Q. S. Asy Syams: 9).
Sedangkan arti zakat menurut istilah syari’at Islam ialah sebagian harta benda yang wajib diberikan orang-orang yang tertentu dengan beberapa syarat, atau kadar harta tertentu yang diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu pula.[2]
Adapun tentang zakat telah dijelaskan dalam al-Qur’an firman Allah Surah At-Taubah ayat 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ.....
 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka . . .” (Q. S. at-Taubah: 103).
Maksud dari ayat diatas adalah dengan zakat itu mereka menjadi bersih dari kekikiran dan dari berlebih-lebihan dalam mencintai harta benda atau zakat itu akan menyucikan orang yang mengeluarkannya dan akan menumbuhkan pahalanya.
Adapun dalan hadits diantaranya adalah:
إِنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَمَّا بَعَا ذَابْنَ جَبَلٍ رَضِىَ الله عَنْهُ إِلَى اليَمَنِ قَا لَ: إِنَّكَ تَأْ تِى قَوْمًااَهْلَ كِتَابٍ فَادْعُهُمْ أِلَى شَهَادَةِأَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَأَنِّى رَسُوْلُ اللهِ . فَإِنْ هُمْ اَطَاعُوْالِذَ لِكَ فَاعَلِمْهُمْ أَنَ اللهَ عَزَوَجَلَّ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ . فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْالِذَ لِكَ فَاعْلِمْهُمْ اَنَّ اللهَ اِفْتضرَ ضَ عَلَيْهِمْ صَدَ قَةً فِى أَمْوَالِهِمْ تَؤْ خَذُ مِنْ أَغْنِيَا ىِهِمْ وَتُرَدُّ إِلَى فُقَرَا ىِهِمْ , فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لِذَ لِكَ وَكَرَا ىِمَ أَمْوَالِهِمْ , وَاتَقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَا بٌ  (رواه الجاعه ابن عباس)
 “Rasulullah sewaktu mengutus Sahabat Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman (yang telah ditaklukkan oleh umat Islam) bersabda: Engkau datang kepada kaum ahli kitab ajaklah mereka kepada syahadat, bersaksi, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah taat untuk itu, beritahulah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka melakukan sholat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka telah taat untuk itu, beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan mereka menzakati kekayaan mereka. Yang zakat itu diambil dari yang kaya dan dibagi-bagikan kepada yang fakir-fakir. Jika mereka telah taat untuk itu, maka hati-hatilah (janganlah) yang mengambil yang baik-baik saja (bila kekayaan itu bernilai tinggi, sedang dan rendah, maka zakatnya harus meliputi nilai-nilai itu) hindari do’anya orang yang madhlum (teraniaya) karena diantara do’a itu dengan Allah tidak terdinding (pasti dikabulkan).”[3]
Dalam pengertian istilah syara’, zakat mempunyai banyak pemahaman, diantaranya:
1)      Menurut Yusuf al-Qardhawi, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak.
2)      Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa zakat adalah penyerahan pemilikan tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu pula.
3)      Muhammad al-Jarjani dalam bukunya al-Ta’rifat mendefinisikan zakat sebagai suatu kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah bagi orang-orang Islam untuk mengeluarkan sejumlah harta yag dimiliki.
4)      Wahbah Zuhaili dalam karyanya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu mendefinisikan dari sudut empat mazhab, yaitu:
·         Madzhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian yang tertentu dari harta yang tertentu pula yang sudah mencapai nishab (batas jumlah yang mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, manakala kepemilikan itu penuh dan sudah mencapai haul (setahun) selain barang tambang dan pertanian.
·         Madzhab Hanafi, zakat adalah menjadikan kadar tertentu dari harta tertentu pula sebagai hak milik, yang sudah ditentukan oleh pembuat syari’at senata-mata karena Allah SWT.
·         Madzhab Syafei, zakat adalah nama untuk kadar yang dikeluarkan dari harta atau benda dengan cara-cara tertentu.
·         Madzhab Hambali, memberikan definisi zakat sebagai hak (kadar tertentu) yang diwajibkan untuk dikeluarkan dari harta tertentu untuk golongan yang tertentu dalam waktu tertentu pula.
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat berarti menumbuhkan, memurnikan (mensucikan), memperbaiki, yang berarti pembersihan diri yang didapatkan setelah pelaksanaan kewajiban membayar zakat,[4] dan juga zakat dimaksudkan untuk membersihkan harta benda milik orang lain, yang dengan sengaja atau tidak sengaja, telah termasuk ke dalam harta benda kita. Secara istilah, zakat merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu dimana yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya. Secara umum, zakat bisa dirumuskan sebagai bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu adalah  nishab (jumlah minimum harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya), haul (jangka waktu yang ditentukan bila seorang wajib mengeluarkan zakat), dan kadarnya (ukuran besarnya zakat yang harus dikeluarkan).[5]
Dalam PSAK No. 109 dijelaskan bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh muzakki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Adapun dalam pasal 1 (2) UU No 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat disebutkan bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syarat Islam.[6]
Peranan Zakat Terhadap Ekonomi, adapun sebagai berikut:
1)      Zakat sebagai alternatif penanggulangan kemiskinan
Menurut para ulama, yang menjadi sasaran zakat adalah fakir miskin. Zakat diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka. Dengan istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan orang kaya kepada golongan yang tidak punya kekayaan, berarti pengalihan sumber-sumber tertentu yang bersifat ekonomis. Umpamanya saja seseorang yang menerima zakat bisa mempergunakan untuk memproduksi atau berkonsumsi. Walaupun zakat pada dasarnya ibadah kepada Allah, bisa juga bersifat ekonomi.
Dengan menggunakan pendekatan ekonomi, zakat dapat berkembang menjadi konsep muamalat atau kemasyarakatan, yakni konsep tata cara manusia dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bentuk ekonomi. Apabila kita telusuri turunnya kewajiban zakat, akan dijumpai alasan-alasan yang kuat untuk menghubungkannya dengan konsep kemasyarakatan, bahkan juga kenegaraan. Surah at-Taubah ayat 60 secara rinci membeberkan perihal zakat.
2)      Zakat sebagai alat untuk memerangi masalah riba.
Siapapun orang yang berkutat dengan riba maka cepat atau lambat, mereka akan mengetahui bahwa riba itu akan menggerogoti system perekonomian, mungkin di salah satu sisi menyebabkan riba tersebut menguntungkan namun disisi lain dan pada saat yang sama riba menyebabkan kehancuran dan penindasan, karena itulah Allah dan rasulNya melaknat ke atas pihak-pihak yang terlibat dalam proses perlaksanaan riba. Dengan penyediaan modal berarti tertutuplah pintu sistem pinjaman yang dikenakan riba. Modal daripada zakat itu boleh diberikan kepada fakir miskin yang berhajat untuk membuka sesuatu pekerjaan yang termampu olehnya, sama ada sebagai pemberian hangus atau sebagai pinjaman tanpa faedah.
3)      Zakat sebagai sistem nilai dalam Islam
Pengelolaan zakat dapat diorientasikan pada nilai-nilai Islam yang lebih luas. Konsep lain yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah mengenai 'Aqobah yang dapat diterjemahkan sebagai The great ascend untuk melihat istilah ekonomi Robert Heibroner atau pendakian yang tinggi. Maksudnya ialah upaya mengandung tantangan berat, seperti memerdekakan budak, memberi makanan di hari kelaparan, memelihara serta menolong anak yatim, menolong fakir miskin yang dalam kelaparan.

4)      Zakat Sebagai Tatanan Kehidupan Sosial
Islam adalah ajaran yang komprehensif yang mengakui hak individu dan hak kolektif masyarakat secara bersamaan. Sistem Ekonomi Syariah mengakui adanya perbedaan pendapatan penghasilan dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, insiatif, usaha, dan resiko. Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu dalam antara yang kaya dengan yang miskin sebab kesenjangan yang terlalu dalam tersebut tidak sesuai dengan syariah Islam yang menekankan sumber-sumber daya bukan saja karunia Allah, melainkan juga merupakan suatu amanah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan sumber-sumber daya di tangan segelintir orang.
Pada pokoknya Islam mengajarkan tolong-menolong, membebaskan manusia dari perbudakan menegakkan yang baik, dan menghalau segala yang buruk dalam kehidupan bermasyarakat. Zakat sejalan dengan ajaran-ajaran itu, maka dapat dikatakan secara pasti merupakan salah satu bentuk kongkret bagaimana mencapai nilai-nilai tersebut.
5)      Zakat Sebagai Landasan Sistem Perekonomian Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah di dalam pemilikan.
6)      Zakat merupakan suatu sistem yang cukup lengkap dan mampu Zakat sebagai asas sistem fiskal
merangkumi semua jenis kegiatan ekonomi dan harta. Ringkasnya ia merupakan asas kepada suatu sistem fiskal yang lengkap. Hanya jika jumlah zakat yang dikutip itu tidak mencukupi bagi keperluan negara, maka Islam mengharuskan mencari segala sumber-sumber lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
Kebijakan fiskal atau yang sering disebut sebagai “politik fiskal” (fiscal policy) bisa diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Anggaran belanja negara terdiri dari penerimaan dan pengeluaran. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya dalam merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi.
Adapun dalam Islam kebijakan fiskal dan anggaran ini bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Pengembangan potensi zakat diperlukan untuk mengoptimalkan peran zakat dalam perekonomian sebuah negara, terutama untuk mengatasi masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran.
Penghimpunan potensi zakat dan pendistribusian yang bersifat produktif akan menggairahkan kembali perekonomian negara. Bahkan untuk Indonesia, optimalisasi peran zakat akan bisa menggerakkan sektor riil terutama usaha kecil menengah dan pertanian. Pengembangan sektor inilah yang diharapkan mampu menguatkan daya tahan fundamental ekonomi Indonesia dari hantaman krisis, sehingga ketergantungan Indonesia terhadap IMF bisa diminimalisasi.[7]
Tujuan utama kegiatan zakat, dalam sudut pandang sistem ekonomi pasar, adalah menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Dengan zakat, terjadi perpindahan harta dari mereka yang berlebih kepada mereka yang kekurangan. Ini yang disebut dengan distribusi pendapatan yang lebih merata. Disamping menyangkut distribusi pendapatan yang lebih merata, peran zakat dalam kebijakan fiskal Islami dapat pula ditinjau dari pengaruhnya terhadap alokasi sumber daya ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi.
7)      Zakat dalam pengembangan potensi ekonomi umat.
Agar pelaksanaannya dapat efektif, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa urusan zakat sebaiknya jangan dikerjakan sendiri oleh Muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), melainkan dipungut oleh petugas zakat yang telah ditunjuk oleh negara (dalam konteks Indonesia adalah Badan atau Lembaga Amil Zakat).
Betapa penting peran dan manfaat zakat sehingga pada masa Rasulullah SAW dan pemimpin Islam setelahnya tidak menyerahkan urusan zakat kepada kerelaan orang-perorang semata, tetapi menjadi tanggungjawab pemerintah (lembaga yang ditunjuk oleh negara), baik dalam proses pemungutan maupun pendistribusian. Oleh karenanya, yang aktif menarik dan mendistribusikan zakat adalah pejabat yang telah ditunjuk oleh negara. Dalam melaksanakan tugasnya mereka diberi kewenangan untuk menggunakan “paksaan” seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar R.A. dengan memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Pada akhirnya apabila zakat benar-benar dapat berjalan efektif, diharapkan tercapai sosial safety nets (kepastian terpenuhinya hak minimal kaum papa) serta berputarnya roda perekonomian umat, mendorong pemanfatan dana ‘diam’ (idle), mendorong inovasi dan penggunaan IPTEK serta harmonisasi hubungan si kaya dan si miskin. Sehingga pada akhirnya kehidupan umat yang ideal dengan sendirinya akan terwujud.

B.     SYARAT-SYARAT ZAKAT
Zakat memiliki beberapa syarat wajib dan syarat sah. Para ulama menyepakati syarat wajib zakat adalah : merdeka, muslim, baligh, berakal, kepemilikan harta penuh dan mencapai nishab.[8]
Adapun syarat-syarat sah menurut kesepakatan ulama adalah niat yang menyertai pelaksanaan zakat. Diantaranya adalah:
1)      Merdeka
Yang diwajibkan untuk mengeluarkan zakat adalah orang yang telah merdeka,[9] hamba sahaya tidak wajib membayar zakat karena ia tidak memiliki hak milik. Begitu juga, mukatib (hamba sahaya yang dijanjikan akan di bebaskan oleh tuannya dengan menebus dirinya) atau yang semisal dengannya tidak wajib mengeluarkan zakat, karena kendatipun ia memiliki harta akan tetapi ia tidak memiliki secara penuh. Menurut kesepakatan jumhur ulama, yang wajib mengeluarkan zakat adalah tuan yang memiliki budak hal ini disebabkan oleh harta yang dimiliki hamba sahaya merupakan kepunyaan dari tuannya.
2)      Islam
Hanya orang Islam yang diwajibkan untuk mengeluarkan zakat, orang kafir tidak wajib mengeluarkan zakat walaupun ia mempunyaai harta yang telah mencapai nishab untuk dikeluarkan zakatnya.[10] Hal tersebut dikarenakan zakat merupakn salah satu ibadah mahd}hah yang sifatnya suci sedangkan orang kafir bukan termasuk orang yang suci.
3)      Baligh dan Berakal
Menurut Mazhab Hanafi, baligh dan berakal dipandang sebagai syarat wajib zakat. Dengan demikian, zakat tidak wajib diambil dari harta anak kecil dan orang gila sebab keduanya tidak termasuk kedalam ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah, seperti shalat dan puasa, sedangkan menurut jumhur keduannya bekan merupakan syarat. Oleh karena itu, zakat wajib dikeluarkan dari anak kecil dan orang gila. Zakat tersebut dikeluarkan olah walinya.
Selain itu, zakat yang dikeluarkan oleh anak kecil dan orang gila sebagai rasa solidaritas dan pahala untuk orang yang mengeluarkanny, karena anak kecil dan orang gila memiliki hak untuk membuktikan solidaritas mereka dan mengharap pahala. Menurut Wahbah Zuhaili pendapat tersebut merupakan suatu hal yang baik karena didalamnya terkandung upaya untuk mewujudkan kemaslahatan orang-orang fakir, memenuhi kebutuhan mereka, menjaga harta dari rongrongan orang-orang yang mengincarnya, menyucikan jiwa, dan melatih sifat suka menolong dan dermawan.
4)      Harta yang dikeluarkan merupakan harta yang wajib dizakati
Harta yang memiliki kriteria ini ada lima jenis, yaitu:
a)      Uang, emas, perak, baik berbentuk uang logam maupun uang kertas.
b)      Barang tambang dan barang temuan.
c)      Barang dagangan.
d)      Hasil tanaman dan buah-buahan.
e)      Menurut jumhur, binatang ternak yang merumput sendiri (sa’imah); atau menurut mazhab Maliki, binatang yang diberi makan oleh pemiliknya (ma’lufah).
Harta dizakati disyaratkan produktif, yakni berkembang sebab makna zakat adalah berkembang dan produktivitas tidak akan dihasilkan dari barang-barang yang produktif. Berkembang yang dimaksudkan disini bukan berkembang yang sebenarnya akan tetapi harta yang dizakati tersebut disiapkan untuk dikembangkan, baik melalui perdagangan maupun binatang yang diternakan.
5)      Harta yang dizakati telah mencapai nishab atau senialai dengannya
Nishab artinya harta itu telah mencapai batas minimal yang ditentukan bagi setiap jenisnya.[11] Maksudnya ialah nishab yang telah ditentukan oleh syara’ sebagai tanda kayanya seseorang dan kadar-kadar berikut yang mewajibkannya zakat.
6)      Harta yang dizakati adalah kepemilikan penuh
Harta yang tidak, belum menjadi milik penuh tidak wajib dizakati. Dalam hal ini harta yang dirampas atau dicuri tidak diwajibkan atas pengeluaran zakat sampai harta tersebut kembali. Harta milik penuh adalah harta yang dimiliki utuh dan berada pada di tangan sendiri dan benar-benar dimiliki.
7)      Kepemilikan harta telah mencapai setahun, menurut hitungan tahun qomariah
Menurut ijma’ tabi’in dan fuqaha tahun yang dihitung adalah qamariah, bukan taahun syamsiyah pendapat ini disepakati. Penentuan tahun qomariah ini berlaku untuk semua ibadah sepaerti puasa dan haji.
8)      Harta yang akan dizakati melebihi kebutuhan pokok
Mazhab Hanafi mensyaratkan agar harta yang wajib dizakati harus terbebas dari hutang dan kebutuhan pokok sebab orang yang sibuk mencari harta seperti kedua hal itu sama dengan orang yang tidak memiliki harta. Ibn Malik menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah harta yang secara pasti bisa mencegah seseorang dari kebinasaan, misalnya nafkah, tempat tinggal, perkakas perang, pakaian yang digunakan untuk melindungi diri dari panas dan dingin, serta pelunasan hutang. Orang yang memiliki hutang bisa membayar hutangnya dengan harta yang telah mencapai nishab tersebut. Hal ini dikarenakan dapat mencegah dorinya dari kebinasaan.

C.     HARTA YANG WAJIB DIZAKATKAN
1.      Harta Yang Tampak (Al-Amwal Adzahirah)
a)      Zakat Binatang Ternak
Zakat binatang ternak yaitu zakat yang harus dikeluarkan atas binatang ternak yang dimiliki. Para ulama sepakat dalam menentukan jenis dari binatang yang wajib dikeluarkan zakatnya, yaitu: unta, kerbau, sapi, kambing, domba.[12] Hewan lainnya seperti kuda dan keledai memunculkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai wajib atau tidaknya dikeluarkan zakat.[13] Menurut pendapat jumhur ulama memandang bahwa tak ada zakat pada kuda, karena kuda sebagai tunggangan, kuda perang, ataupun kuda angkutan itu hanya dipelihara untuk mencukupi kebutuhan pemiliknya,[14] yaitu dipelihara sebagai perhiasan atau digunakan tenaganya.[15] Sedangkan menurut Abu Hanifah bahwa kuda wajib dizakati, karena mengandung sifat subur, berkembang biak dengan jalan diternakkan.
b)      Zakat Tanaman (Buah-Buahan dan Biji-Bijian)
Hasil tanaman dari jenis buah-buahan dan biji-bijian wajib dikenakan zakat Zakat tanaman dan buah-buahan wajib dengan dalil al-Qur’an, firman Allah SWT
.....وَءَاتُوا۟ حَقَّهُۥ يَوْمَ حَصَادِهِۦ....
 “…dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya..” (Al-An’am: 141)
Bagaimanapun, terdapat perselisihan pendapat dalam menentukan jenis dan jenis tanaman serta tumbuhan yang bisa dikenakan zakat. Terjadinya ikhtilaf adanya bersumber baik hasil tanaman itu bisa mengenyangkan, bisa ditukar, ditimbang atau tahan lama disimpan.
Dalil As-Sunnah, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِاللهِ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِيَمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ اَوْكَانَ عَثْرِ يًّا اْلعُشُرُ وَمَا سُقِىَ بِالنَّضْعِ نِصْفُ الْعُشُرِ (رواه البخارى)
“Dari Abdullah r.a Nabi SAW bersabda: Tanaman-tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air atau yang tumbuh di rawa-rawa, zakatnya sepersepuluh, dan yang diairi dengan tenaga pengangkutan, zakatnya seperdua puluh”. (H.R. Bukhari).[16]
c)      Zakat Perdagangan
Zakat perdagangan atau barang dagangan atau ‘Urudu at-tijarah adalah zakat yang dikenakan kepada barang dagangan yang bukan emas dan perak, baik yang dicetak, seperti uang Pound dan Riyal, maupun yang tidak dicetak, seperti perhiasan wanita.[17]
2.      Harta yang tidak tampak (Al-Amwal Al-Bathiniah)
a)      Emas dan Perak
Ketahuilah  bahwa emas dan perak mencakup segala sesuatu yang terbuat dari keduanya, seperti uang logam, perhiasan, lempengan-lempengan dari keduanya, dan sejenisnya. Emas dan perak disebut juga dengan mata uang, karena kedua jenis logam inilah yang menjaadi standart  uang internasional terutama emas. Kewajiban zakat atas emas dan perak ini ditegaskan dalam Al-Quran, As-Sunnah dan ijma’.[18]
Para ulama sepakat tentang wajibnya zakat atas perhiasan emas dan perak bila itu adalah perhiasan yang haram untuk dipakai (untuk laki-laki), atau disiapkan untuk diperdagangkan atau sejenisnya.
Dalil kewajiban zakat emas dan perak adalah berdasarkan firman Allah SWT. Dalam Al-qur’an surat At-Taubah ayat 34-35:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ  يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُون
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari di panaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu di bakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah: 34-35).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمَ القِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرُدَتْ أُعِيْدَتْ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَان مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”
Dari Amr bin Syu’aib dari bapak dari kakeknya, ia berkata,
أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ
“Ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah bersama anak wanitanya yang di tangannya terdapat dua gelang besar yang terbuat dari emas. Maka Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah mengeluarkan zakat ini?” Dia menjawab, “Belum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Apakah engkau senang kalau nantinya Allah akan memakaikan kepadamu pada hari kiamat dengan dua gelang dari api neraka.” Wanita itu pun melepas keduanya dan memberikannya kepada Rasulullah seraya berkata, “Keduanya untuk Allah dan Rasul Nya.”
b)      Barang Tambang
Barang tambang dalam bahasa Arab disebut dengan ma’din kanz. Ibnu athir menyebut dalam an-Nihaya bahwa al-Ma’adin berarti tempat dimana kekayaan bumi seperti emas, perak, tembaga dan lain-lainnya keluar. Sedangkan kanz adalah tempat tertimbunnya harta benda karena perbuatan manusia.  
Ibnu Qudamah menyebutkan dalam al-mughni defenisi ma’din, yaitu sesuatu pemberian bumi yang terbentuk dari benda lain tapi berharga. Ungkapannya “sesuatu pemberian bumi” berarti “bukan suatu pemberian laut” dan “bukan pula simpanan manusia” terbentuk dari benda lain “bukan tanah dan lumpur” karena keduanya adalah bagian dari bumi, dan berharga berarti merupakan harta benda yang ada sangkut pautnyadengan kewajiban-kewajiban lain.
Kanz adalah tempat tertimbunnya harta benda karena perbuatan manusia. Rikaz mencakup keduanya (yakni ma’din dan kanz), karena kata ini berasal dari kakz yang berarti “simpanan”, tetapi yang dimaksud adalah maruz “yang disimpan”. Pengertiannya lebih luas dari pada yang menyimpan hanya tuhan atau makhluk saja.
Ibnu Qudamah mengemukakan contoh ma’adin itu seperti emas, perak, timah, besi, intan, batu permata, atik, dan batu bara. Demikian juga dengan barang tambang cair seperti minyak bumi, belerang dan lain-lain.

D.    MUSTAHIQ ZAKAT
Menurut Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 1, mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Allah SWT telah menentukan golongan-golongan tertentu yang berhak menerima zakat, dan bukan diserahkan kepada pemerintah untuk membagikannya sesuai kehendaknya.[19] Oleh karena itu, zakat harus dibagikan kepada golongan-golongan yang telah ditentukan yakni seperti dalam surat At-Taubah ayat 60 sebagai berikut:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِقلى فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التّوبه: . ٦ )
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, para mu’allaf yangdibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah: 60)
Berdasarkan ayat diatas, penjelasan 8 golongan penerima zakat itu sebagai berikut:
1)      Fakir
Imam Asy-Syafi’i mengakatakn bahwa fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta benda dan tidak punya mata pencaharian. Hal tersebut terjadi secara terus menerus atau dalam beberapa saat,baik ia meminta-minta maupun tidak.[20]
2)      Miskin
Miskin ialah orang yang mempunyai harta atau mata pencaharian,namun belum mencukupi keperluannya sehari-hari, baik ia meminta-minta maupun tidak.
3)      Amil Zakat
Amil zakat ialah orang yang ditunjuk oleh seorang pemimpin atau wakilnya dan dijadikan sebagai petugas untuk mengumpulkan zakat. Amil zakat disyaratkan merdeka, lelaki, muslim mukalaf karena memungut dan mengumpulkan zakat merupakan kekuasaan sementara kekuasaan mensyatarkan hal-hal tersebut. Amil boleh berasal dari orang miskin atau orang kaya.[21]
4)      Muallaf
Muallaf adalah orang laki-laki muslim yang keislaman nya masih lemah namun memiliki pengaruh terhadap kaumnya, jika masih kafir, ia tidak berhak menerima zakat meskipun ia ingin masuk islam.[22]
5)      Budak
Budak yaitu seorang muslim yang menjadi budak lalu dibeli dari harta zakat dan dibebaskan di jalan Allah atau seorang budak muslim yang ingin memerdekakan dirinya lalu diberi dari harta zakat agar menjadi orang-orang merdeka.
6)      Gharim (Orang yang berhutang)
Gharim adalah orang yang memiliki hutang yang terdesak mencari hutangan untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi ataupun karena kebutuhan-kebutuhan sosial maupun agama.
7)      Fi sabilillah
Fisabilillah adalah amalan yang dapat menyampaian pada keridhoan Allah dan Surga nya. Terkhusus dengan jihad untuk meninggkan agama Allah. maka orang yang ikut berperang dijalan Allah diberi zakat meskipun orang kaya.
8)      Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah muslim yang berpergian yang memerlukan uang untuk bekal perjalanan nya. Maka ia berhak mendapatkan bantuan zakat sesuai dengan kebutuhan biaya imigrasinya.

E.     MANAJEMEN ZAKAT
1.      Distribusi Konsumsi Dana Zakat
Biro Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dari ketidakmampuan orang/keluarga dalam mengkonsumsi kebutuhan dasar (tingkat konsumsi), konsepnya menjadikan konsumsi beras sebagai indikator utama, sedangkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melihatnya dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial psikologis (tingkat kesejahteraan) kemudian United Nation Development Program–Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP-PBB) mengukur berdasarkan ketidakmampuan orang dalam memperluas pilihan-pilihan hidupnya pada tataran transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia (model pembangunan manusia).
Ke semua model pengukuran di atas, jika dikaitkan dengan pengembangan pola distribusi dana zakat secara konsumtif berarti konsep dari pola pendistribusian diarahkan kepada:
a)      Upaya Pemenuhan Kebutuhan Konsumi Dasar dari Para Mustashiq
Ini sama halnya dengan pola distribusi bersifat “konsumtif tradisional”, yaitu zakat dibagikan kepada mustashiq untuk dimanfaatkan secara langsung, dengan begitu realisasinya tidak akan jauh dari pemenuhan sembako bagi kelompok delapan asnaf. Haya saja yang menjadi persoalan kemudian adalah seberapa besar volume zakat yang bisa diberikan kepada seorang mustahik.
Untuk itu dalam rangka optimalisasi, dana terkumpul dari instrumen zakat mal sebaiknya tidak diarahkan untuk penyaluran sembako. Biarlah instrumen pemerataan pendapatan Islami lainnya yang mengambil alih, seperti dana infak, sedekah, dan hasil zakat fitrah. Penyaluran instrumen ini tidak dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu, akan teapi berlaku aksidental, seperti pada saat umat muslim merayakan Idul Fitri.
b)      Upaya Pemenuhan Kebutuhan yang Berkaitan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial dan Psikologis
Pola konsumtif pada item ini dapat diarahkan kepada pendistribusian konsumtif nonmakanan (sembako), walaupun untuk keperluan konsumsi mustahik. Sedangkan untuk peningkatan kesejahteraan psikologis, lembaga amil dapat menyalurkan dalam bentuk bantuan pembiayaan untuk mustahik yang hendak melangsungkan pernikahan atau sunatan massal bagi anak-anak mustashiq. Hal ini menjadi sangat penting, terutama yang berkaitan dengan bantuan biaya pernikahan bagi mustahik, karena salah satu faktor penyebab penyimpangan psikologis adalah keterlambatan dalam melaksanakan pernikahan.
c)      Upaya pemenuhan kegiatan yang berkaitan  dengan sumber daya manusia agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi indonesia
Untuk poin ketiga, pola distribusi yang harus menjadi primadona adalah menyalurkan dana zakat dalam bentuk peningkatan kualitas pendidikan delapan asnaf atau mustashiq, untuk itu tidak mesti harus berupa beasiswa untuk sekolah umum, namun bisa juga diarahkan untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan untuk meningktakan ketrampilan nonformal (luar sekolah) yang dapat dimanfaatkan mustashiq untuk kelanjutan menjalani hidup dan menggapai kesejahteraannya, seperti jahit-menjahit, pelatihan bahasa asing, dan pelatihan kerja profesi lainnya. Untuk penyaluran bentuk item ketiga ini lembaga amil harus mampu melihat peluang dan tantangan yang ada pada kondisi lokal berkaitan dengan aktivitas perekonomian dan penerapan sistem demokrasi.
2.      Distribusi Produktif Dana Zakat    
Saat ini yang menjadi trend dari Islamization process yang dikembangkan oleh para pemikir kontemporer ekonomi Islam adalah, pertama: mengganti sistem ekonomi sistem bunga dengan ekonomi sistem bagi hasil, kedua: mengoptimalkan sistem zakat dalam perekonomian (fungsi retribusi income). Untuk trend ini sejumlah pemikiran inovatif mengenai intermediary system dikembangkan oleh para ahli ekonomi Islam. Hal ini tentunya diikuti oleh kesadaran bahwa masyarakat muslim saat ini masih dalam sekatan ekonomi terbelakang, artinya permasalahan pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial dimiliki oleh sejumlah besar negara yang justru berpenduduk mayoritas Islam.
Belakangan ini, intermedary sistem yang mengelola investasi dan zakat seperti perbankan Islam dan lembaga pengelola zakat lahir secara menjamur. Untuk fenomena Indonesia sendiri, dunia perbankan Islam dan dana pengumpul zakat menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Mereka berusaha untuk berkomitmen mempertemukan pihak surplusmuslim dan pihak deficitI muslim,dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplusdan deficit muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang deficite (mustashiq)menjadi surplus (muzakki). Lembaga perbankan bergerak dengan proyek investasi non riba, sedangkan lembaga zakat selain mendistribusikan zakat secara konsumtif, saat ini juga telah mengembangkan sistem distribusi dana zakat secara produktif.
3.      Investasi Dana Zakat
Dalam pembahasan yang berkaitan dengan menginvestasikan dana zakat, persoalan yang kemudian akan muncul adalah siapa yang akan menginvestasikannya? Salah satu konsep fundamental dari sistem zakat menyatakan bahwa tarif zakat yang dibayarkan seseorang muzakki adalah hak milik mustahiknya. Dalam kajian fikih klasik, pembahasan yang sudah akrab berkisar pada kemungkinan mustahiknya sendiri yang menginvestasikan dana tersebut atau si muzakinya yang menginvestasikannya. Untuk kedua alternatif ini, justifikasi para ahli fikih klasik menyebutkan bahwa:
a)      Bila Mustahik yang menginvestasikan dana zakat
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang mustashik dapat menginvestasikan dana zakatnya setelah mustashik menerima dana zakat tersebut. Karena ketika dana zakat tersebut mereka terimakan, otomatis menjadi hak milik sepenuhnya. Hanya saja, jika mengingat peta kelompok delapan asnaf- sebagaimana sudah dibahas- empat kategori pertama  (fakir, miskin, amil, dan mualaf) konsep nashmenyebutkan dengan huruf lam yang berarti kepemilikan, jika demikian, keempat kategori ini dibolehkan untuk menginvestasikan dana zakatnya. Kemudian untuk empat golongn sisanya (riqab, gharim fisabilillah,dan ibnu sabil), nash mengimbuhkan dengan fi dzarf yang berarti sesuai kondisi. Menurut penulis, berpikir untuk menginvestasikan dana zakat adalah sangat cerdas, kecuali bagi gharim (orang yang berhutang), karena kelompok ini punya kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu bayar utangnya itu sendiri.
b)      Bila Muzaki yang menginvestasikan dana zakatnya
Dalam bahasan fiqhiyah yang menjadi persoalan kemudian adalah kemungkinan seorang muzaki untuk menunda kewajiban zakakatnya, semisal pada seorang muzaki melihat bahwa kepemilikan aset wajib zakatnya sudah mencapai satu haul, kemudian dia menghitung tarif dari kewajiban tersebut, namun kemudian dana tersebut tidak langsung diberikan kepada mustashik, akan tetapi diinvestasikan terlebih dahulu. Dalam hal ini, para ahli fikih klasik memperdebatkannya secara pelik, walaupun jumhur ulama yang diwakili mazhab Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah mensinyalir bahwa kewajiban zakat adalah kewajiban yang harus disegerakan apabilia sudah waktunya (fauriyah) dan tidak diperkenankan untuk menunda penyaluran dana tersebut.[23]

F.      ZAKAT DALAM PEREKONOMIAN
Untuk bisa melahirkan satu format hukum Islam yang eksistensinya menjaga diri pada kemaslahatan universal menghargai rasa keadilan sosial dan hak asasi manusia, maka ijtihad menjadi ikhtiar pertama yang mutlak harus dilakukan. Pandangan umum mengenai ijtihad yang selama ini berjalan bisa dikatakan hanya menjangkau sasaran atau hal-hala yang bersifat zhanni (teks yang tidak pasti) dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini seagai qot’I (teks yang dianggap pasti). Menurut masdar, dengan meletakkan maslahat seagai asas ijtihad maka konsep lama tentang qot’i dan zhanni harus segera dicarikan rumusan barunya.[24]
Dalam pandangan masdar, apa yang disebut sebagai dalil qot’I adalah nilai kemaslahatan dan keadilan, yang merupakan jiwa dari hukum itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dalil zhonni adalah seluruh ketentuan teks, ketentuan normative yang bisa digunakan untuk menterjemahkan yang qot’I (nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu ijtihad tidak bisa terjadi pada wilayah qot’I, dan hanya bisa dilakukan pada wilayah zhonni.
Berangkat dari konsep qot’I dan zhonni yang ditawarkan masdar, ia lantas menawarkan konsep baru tentang zakat. Dalam amatannya, zakat merupakan ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan inti persoalan yang banyak dihadapi umat manusia yakni ketidakadilan. Ajaran zakat bukanlah ajaran untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk kemaslahatan dan keadilan semesta. Inti dari ajaran zakat yang mutlak, universal, dan tidak berubah adalah:
1)      Siapa pun yang memiliki kelebihan harta maka ia harus menginfakkan sebagian harta yang diterimanya itu.
2)      Harta yang diinfakkan oleh atau dipungut dari yang mampu itu harus disalurkan untuk kemaslahatan seluruh anggota masyarakat, dengan memprioritaskan mereka yang lemah. Disamping orang-orang islam sendiri tetap harus mendapat perhatian dalam pembagian zakat, agar bisa meringankan beban ekonomi mereka. Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan menyeluruh, lintas, agama, suku dan golongan.[25]
Umat islam khusunya para umaro’ dan ulama’, tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebakan oleh Negara. Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat islam telah benar-benar memisahkan Negara dari agama. Pemisahan ini menyebabkan umat islam menanggung beban yang sangat berat karena harus melaksanakan dua macam kewajiban, yaitu menunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan membayar pajak sebagai kewajiban warga Negara. Akibatnya kewajiban mengeluarkan zakat selalu terkalahkan oleh keharusan memayar pajak.
Gagasan yang menarik yang harus kita garis bawahi dari hal yang mendasar  adalah tentang obyek zakat yang harus diperluas cakupannya. Untuk zaman sekarang tidaklah adil jika kita hanya menggunakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, semetara itu kelapa sawit, apel, kopi, dan tembakau yang tidak kalah nilai ekonomisnya, kita bebaskan saja dari kewajiban membayar zakat. Tidak adil juga ketika kita kenakan beban sedekah wajib atas pendapatan pada sektor pertanian sedangkan dari sektor industri dan jasa kita bebaskan. Jika Nabi SAW tidak membicarakan suatu jenis kekayaan tertentu maka hal itu hanya karena jenis kekayaan tersebut belum ada pada masa Nabi. Sebab jika suatu jenis tersebut ada pada zaman nabi maka tentu ia juga dikenakan zakat, seperti jenis kekayaan yang lain yang telah ditentukan. Oleh karena itu tidak perlu lagi kita memahami jenis barang yang wajib dikeluarkan oleh zakatnya seperti yang disebut dalam nash, akan tetapi lebih penting adalah menangkap subtansi dari kewajiban zakat itu sehingga diperluas cakupannya.[26]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Zakat ialah memberikan sebagian harta yang dimilikki, memberi harta tidak akan membuat miskin tapi sebaliknya, selain itu dengan memberikan zakat kita bisa mensucikan jiwa dari kekikiran dan menghilangkan rasa berlebih – lebihan. Namun dalam memberikan zakat ada syarat syarat tertentu sesuai dengan ayat Al-Qur’an dalam surat At-Taubah ayat 60, dan memberikan kepada orang – orang tertentu juga.
Pendapat – pendapat dari berbagai mazhab seperti mazhab Hanafi, Syafe’i, dan Hambali, mereka sama-sama berpendapat bahwa dalam memberikan zakat ada takaran-takaran tertentu yang harus dipenuhi. Adapun peranan zakat dalam ekonomi yaitu, Zakat sebagai alternatif penanggulangan kemiskinan, sebagai alat untuk memerangi masalah riba, sebagai sistem nilai dalam Islam, Sebagai Tatanan Kehidupan Sosial.

B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang “Zakat Sebagai Instrumen Finansial Dalam Islam” yang telah Kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.





DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Mubarok dan Baihaqi Fanani. (2014). Penghimpun Dana Zakat
Nasional(Potensi, Realisasi dan Peran Penting Organisasi Pengelola
Zakat)”, PERMANA, Volume.V, No. 2.
Aflazur Rahman. (1995). Doktrin Ekonomi Islam Jilid III , Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf.
Agus Efendi & Bahruddin Fananny. (1997). Zakat : Kajian Berbagai
Mazhab. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Asmaji Muchtar. (2014).  Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi’i Masalah  Ibadah,
Jakarta: Amzah.
Dr. Wahbah Al-Zuhayly. (1997). Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Gus Arifin. (2011). Dalil-Dalil dan Keutamaan Zakat, Infak, Sedekah, Jakarta: PT
Gramedia.
Hasan Ayub. (2010).  Fiqih Ibadah Panduan Lengkap Beribadah Sesuai Sunnah
Rasullah SAW, Jakarta:Cakra Lintas Media.
Isnatun Ulfah. (2009). Fiqih Ibadah. Ponorogo: STAIN PoPRESS.
K.H.M. Syukri Ghozali, dkk. (1997). Pedoman Zakat 9 Seri, Jakarta: Proyeksi Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf.
Lahmudin Nasution. (1999).Fiqh Ibadah, Jakarta : PT. LOGOS Wacana Ilmu.
M Nur Rianto Al Arif. (2010). Efek Pengganda Zakat Serta Implikasinya Terhadap Program Pengentasan Kemiskinan. (Jurnal Ekbisi), Volume.5, No.1.
M. Arief Mufraini. (2006). Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta: Kencana.
Mahsun Fuad. (2005).  Hukum Islam Indonesia dari nalar partisipatoris hingga
emasipatoris Yogyakarta: LKIS.
Mamluatul Maghfiroh. (2007).  Zakat. Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani.
Moh. Rowi Latief & A. Shomad Robith. (1987). Tuntunan Zakat Praktis,
Surabaya: Indah.
Saleh al-Fauzan. (2005).  Al-Mulakhkhasul Fiqhi, Saudi Arabia: Daar Ibnu Jauzi.
Sugeng Priyono, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal (Jurnal Al
Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam)
Sulaiman Rasjid. (2014).  Fiqh Islam : Hukum Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru
Algesindo.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. (2016). Minhajul Muslim Pedoman Hidup
Ideal Seorang Muslim (Terj) cet IX, Solo: Insan Kamil.
Wahbah Az-Zuhaili. (2007). Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani.





[1] Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm.82.
[2] Moh. Rowi Latief & A. Shomad Robith, Tuntunan Zakat Praktis, (Surabaya: Indah, 1987), hlm.13.
[3] K.H.M. Syukri Ghozali, dkk, Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Proyeksi Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1997), hlm. 107-108.
[4] Aflazur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1995), 235.
[5] M Nur Rianto Al Arif, Efek Pengganda Zakat Serta Implikasinya Terhadap Program Pengentasan Kemiskinan. (Jurnal Ekbisi), Volume.5, No.1, Desember 2010, hlm. 4.
[6] Abdullah Mubarok dan Baihaqi Fanani, Penghimpun Dana Zakat Nasional(Potensi, Realisasi dan Peran Penting Organisasi Pengelola Zakat)”, PERMANA, Volume.V, No. 2, Februari 2014, hlm. 7.
[7] Sugeng Priyono, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal (Jurnal Al Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam), hlm. 128.
[8] Agus Efendi & Bahruddin Fananny. Zakat : Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 98.
[9] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam : Hukum Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2014), hlm. 194.
[10] Sulaiman Rasjid. Ibid, hlm. 193.
[11] Lahmudin Nasution, Fiqh Ibadah, (Jakarta : PT. LOGOS Wacana Ilmu, 1999), hlm. 149. 
[12] Mamluatul Maghfiroh, Zakat. (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 53.
[13] Isnatun Ulfah, Fiqih Ibadah. (Ponorogo: STAIN PoPRESS, 2009), hlm.112.
[14] Mamluatul Maghfiroh. Op. Cit., hlm. 61.
[15] M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.100-101.
[16] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani. 2007), hlm. 230.
[17] Gus Arifin, Dalil-Dalil dan Keutamaan Zakat, Infak, Sedekah, (Jakarta: PT Gramedia, 2011), hlm. 93.
[18] Saleh al-Fauzan, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, (Saudi Arabia: Daar Ibnu Jauzi, 2005), hlm. 264.
[19] Hasan Ayub, Fiqih Ibadah Panduan Lengkap Beribadah Sesuai Sunnah Rasullah SAW, (Jakarta:Cakra Lintas Media, 2010), hlm. 381.
[20] Asmaji Muchtar, Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi’i Masalah  Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 271.
[21] Asmaji Muchtar. Ibid., hlm. 383.
[22] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim (Terj) cet IX, (Solo: Insan Kamil 2016), hlm. 478.
[24] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari nalar partisipatoris hingga emasipatoris (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 100.
[25] Mahsun Fuad. Ibid., hlm 102
[26] Mahsun Fuad. Ibid., hlm 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar