ZAKAT SEBAGAI INSTRUMEN FINANSIAL DALAM ISLAM
Dosen Pembimbing : Syahrizul, S. Sos, M.E.Sy
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Ekonomi
Islam
OLEH KELOMPOK 8:
Muhammad Mauladi NIM : 11840114094
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan
penyusunan makalah Ekonomi Islam dengan judul “Zakat Sebagai Instrumen
Finansial Dalam Islam” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang
ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini
dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.
Pekanbaru, 3 Desember 2019
Kelompok 8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................................ 1
C. Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A.
PENGERTIAN DAN PERANAN ZAKAT................................................................ 3
B.
SYARAT-SYARAT ZAKAT..................................................................................... 12
C.
HARTA YANG WAJIB DIZAKATKAN................................................................. 16
D.
MUSTAHIQ ZAKAT................................................................................................. 21
E.
MANAJEMEN ZAKAT............................................................................................. 24
F.
ZAKAT DALAM PEREKONOMIAN..................................................................... 29
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 33
A.
KESIMPULAN........................................................................................................... 33
B.
SARAN......................................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di Indonesia adalah negara yang jumlah umat muslimnya sangat banyak
oleh karena itu salah satu rukun islam yang ketiga mewajibkan umat muslimnya
untuk melakukan zakat. Zakat sendiri adalah salah satu sumber pendapatan yang
cukup penting untuk pembangunan ekonomi dalam suatu Negara. Zakat adalah harta
yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Zakat mengandung
beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah.
Sebagai salah satu bentuk pendapatan dari sistem ekonomi Islam,
zakat seharusnya dapat dioptimalkan sebagai salah satu ujung tombak pembangunan
ekonomi di Indonesia. Indonesia yang secara demografis merupakan negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat yang sangat besar.
B.
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud zakat dan bagaimana peranannya?
2)
Apa saja syarat-syarat zakat?
3)
Harta apa saja yang wajib dizakatkan?
4)
Bagaimana maksud dari mustahiq zakat?
5)
Bagaimana manajemen zakat?
6)
Bagaimana zakat dalam perekonomian?
C.
Tujuan
1)
Mengetahui pengertian zakat dari segi bahasa maupun istilah serta
peranannya.
2)
Mengetahui syarat-syarat dari zakat.
3)
Mengetahui harta-harta saja yang wajib dizakatkan.
4)
Mengetahui Mustahiq zakat yaitu orang-orang yang dapat menerima
zakat.
5)
Mengetahui manajemen dari zakat.
6)
Mengetahui peran zakat dalam perekonomian.
BAB I
A.
PEMBAHASAN PENGERTIAN DAN PERANAN ZAKAT
Secara bahasa, zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah
(Ziyadah). Jika diucapkan, zaka al-zar’, adalah tanaman tumbuh dan
bertambah jika diberkati.[1] Kata ini juga sering
dikemukakan untuk makna thaharah (suci) Allah SWT. berfirman:
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (Q. S. Asy Syams: 9).
Sedangkan arti zakat menurut istilah syari’at Islam ialah sebagian
harta benda yang wajib diberikan orang-orang yang tertentu dengan beberapa
syarat, atau kadar harta tertentu yang diberikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya dengan syarat-syarat tertentu pula.[2]
Adapun tentang zakat telah dijelaskan dalam al-Qur’an firman Allah
Surah At-Taubah ayat 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ.....
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka . . .” (Q. S. at-Taubah:
103).
Maksud dari ayat diatas adalah dengan zakat itu mereka menjadi
bersih dari kekikiran dan dari berlebih-lebihan dalam mencintai harta benda
atau zakat itu akan menyucikan orang yang mengeluarkannya dan akan menumbuhkan
pahalanya.
Adapun dalan hadits diantaranya adalah:
إِنَّ
النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَمَّا بَعَا ذَابْنَ جَبَلٍ رَضِىَ
الله عَنْهُ إِلَى اليَمَنِ قَا لَ: إِنَّكَ تَأْ تِى قَوْمًااَهْلَ كِتَابٍ فَادْعُهُمْ
أِلَى شَهَادَةِأَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَأَنِّى رَسُوْلُ اللهِ . فَإِنْ هُمْ
اَطَاعُوْالِذَ لِكَ فَاعَلِمْهُمْ أَنَ اللهَ عَزَوَجَلَّ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ
خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ . فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْالِذَ لِكَ
فَاعْلِمْهُمْ اَنَّ اللهَ اِفْتضرَ ضَ عَلَيْهِمْ صَدَ قَةً فِى أَمْوَالِهِمْ
تَؤْ خَذُ مِنْ أَغْنِيَا ىِهِمْ وَتُرَدُّ إِلَى فُقَرَا ىِهِمْ , فَإِنْ هُمْ
أَطَاعُوْا لِذَ لِكَ وَكَرَا ىِمَ أَمْوَالِهِمْ , وَاتَقِ دَعْوَةَ
الْمَظْلُوْمِ فَإِنَهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَا
بٌ (رواه الجاعه ابن عباس)
“Rasulullah sewaktu mengutus Sahabat Mu’adz
bin Jabal ke negeri Yaman (yang telah ditaklukkan oleh umat Islam) bersabda:
Engkau datang kepada kaum ahli kitab ajaklah mereka kepada syahadat, bersaksi,
bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad
adalah utusan Allah. Jika mereka telah taat untuk itu, beritahulah kepada
mereka bahwa Allah mewajibkan mereka melakukan sholat lima waktu dalam sehari
semalam. Jika mereka telah taat untuk itu, beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah
mewajibkan mereka menzakati kekayaan mereka. Yang zakat itu diambil dari yang
kaya dan dibagi-bagikan kepada yang fakir-fakir. Jika mereka telah taat untuk
itu, maka hati-hatilah (janganlah) yang mengambil yang baik-baik saja (bila
kekayaan itu bernilai tinggi, sedang dan rendah, maka zakatnya harus meliputi
nilai-nilai itu) hindari do’anya orang yang madhlum (teraniaya) karena diantara
do’a itu dengan Allah tidak terdinding (pasti dikabulkan).”[3]
Dalam pengertian istilah syara’, zakat mempunyai banyak pemahaman,
diantaranya:
1)
Menurut Yusuf al-Qardhawi, zakat adalah sejumlah harta tertentu
yang diwajibkan oleh Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak.
2)
Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa zakat adalah penyerahan
pemilikan tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat
tertentu pula.
3)
Muhammad al-Jarjani dalam
bukunya al-Ta’rifat mendefinisikan zakat sebagai suatu kewajiban yang
telah ditentukan oleh Allah bagi orang-orang Islam untuk mengeluarkan sejumlah
harta yag dimiliki.
4)
Wahbah Zuhaili dalam karyanya al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu mendefinisikan dari sudut empat mazhab, yaitu:
·
Madzhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian yang tertentu
dari harta yang tertentu pula yang sudah mencapai nishab (batas jumlah yang
mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, manakala kepemilikan
itu penuh dan sudah mencapai haul (setahun) selain barang tambang dan
pertanian.
·
Madzhab Hanafi, zakat adalah menjadikan kadar tertentu dari harta
tertentu pula sebagai hak milik, yang sudah ditentukan oleh pembuat syari’at
senata-mata karena Allah SWT.
·
Madzhab Syafei, zakat adalah nama untuk kadar yang dikeluarkan dari
harta atau benda dengan cara-cara tertentu.
·
Madzhab Hambali, memberikan definisi zakat sebagai hak (kadar
tertentu) yang diwajibkan untuk dikeluarkan dari harta tertentu untuk golongan
yang tertentu dalam waktu tertentu pula.
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat berarti menumbuhkan,
memurnikan (mensucikan), memperbaiki, yang berarti pembersihan diri yang
didapatkan setelah pelaksanaan kewajiban membayar zakat,[4] dan juga zakat dimaksudkan
untuk membersihkan harta benda milik orang lain, yang dengan sengaja atau tidak
sengaja, telah termasuk ke dalam harta benda kita. Secara istilah, zakat
merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu dimana yang diwajibkan
oleh Allah SWT kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak
menerimanya. Secara umum, zakat bisa dirumuskan sebagai bagian dari harta yang
wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat itu adalah nishab (jumlah
minimum harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya), haul (jangka waktu
yang ditentukan bila seorang wajib mengeluarkan zakat), dan kadarnya (ukuran
besarnya zakat yang harus dikeluarkan).[5]
Dalam PSAK No. 109 dijelaskan bahwa zakat adalah harta yang wajib
dikeluarkan oleh muzakki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya (mustahiq). Adapun dalam pasal 1 (2) UU No 23 tahun
2011 tentang pengelolaan zakat disebutkan bahwa zakat adalah harta yang wajib
dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya sesuai dengan syarat Islam.[6]
Peranan Zakat Terhadap Ekonomi, adapun sebagai berikut:
1)
Zakat sebagai alternatif penanggulangan kemiskinan
Menurut para ulama, yang menjadi sasaran zakat adalah fakir miskin.
Zakat diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara
mereka. Dengan istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan
dari golongan orang kaya kepada golongan yang tidak punya kekayaan, berarti
pengalihan sumber-sumber tertentu yang bersifat ekonomis. Umpamanya saja
seseorang yang menerima zakat bisa mempergunakan untuk memproduksi atau
berkonsumsi. Walaupun zakat pada dasarnya ibadah kepada Allah, bisa juga
bersifat ekonomi.
Dengan menggunakan pendekatan ekonomi, zakat dapat berkembang
menjadi konsep muamalat atau kemasyarakatan, yakni konsep tata cara manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bentuk ekonomi. Apabila kita
telusuri turunnya kewajiban zakat, akan dijumpai alasan-alasan yang kuat untuk
menghubungkannya dengan konsep kemasyarakatan, bahkan juga kenegaraan. Surah
at-Taubah ayat 60 secara rinci membeberkan perihal zakat.
2)
Zakat sebagai alat untuk memerangi masalah riba.
Siapapun orang yang berkutat dengan riba maka cepat atau lambat,
mereka akan mengetahui bahwa riba itu akan menggerogoti system perekonomian,
mungkin di salah satu sisi menyebabkan riba tersebut menguntungkan namun disisi
lain dan pada saat yang sama riba menyebabkan kehancuran dan penindasan, karena
itulah Allah dan rasulNya melaknat ke atas pihak-pihak yang terlibat dalam
proses perlaksanaan riba. Dengan penyediaan modal berarti tertutuplah pintu
sistem pinjaman yang dikenakan riba. Modal daripada zakat itu boleh diberikan
kepada fakir miskin yang berhajat untuk membuka sesuatu pekerjaan yang termampu
olehnya, sama ada sebagai pemberian hangus atau sebagai pinjaman tanpa faedah.
3)
Zakat sebagai sistem nilai dalam Islam
Pengelolaan zakat dapat diorientasikan pada nilai-nilai Islam yang
lebih luas. Konsep lain yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah mengenai 'Aqobah yang
dapat diterjemahkan sebagai The great ascend untuk melihat istilah ekonomi
Robert Heibroner atau pendakian yang tinggi. Maksudnya ialah upaya mengandung
tantangan berat, seperti memerdekakan budak, memberi makanan di hari kelaparan,
memelihara serta menolong anak yatim, menolong fakir miskin yang dalam
kelaparan.
4)
Zakat Sebagai Tatanan Kehidupan Sosial
Islam adalah ajaran yang komprehensif yang mengakui hak individu
dan hak kolektif masyarakat secara bersamaan. Sistem Ekonomi Syariah mengakui
adanya perbedaan pendapatan penghasilan dan kekayaan pada setiap orang dengan
syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai
perbedaan keterampilan, insiatif, usaha, dan resiko. Namun perbedaan itu tidak
boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu dalam antara yang kaya dengan yang
miskin sebab kesenjangan yang terlalu dalam tersebut tidak sesuai dengan
syariah Islam yang menekankan sumber-sumber daya bukan saja karunia Allah,
melainkan juga merupakan suatu amanah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk
mengkonsentrasikan sumber-sumber daya di tangan segelintir orang.
Pada pokoknya Islam mengajarkan tolong-menolong, membebaskan
manusia dari perbudakan menegakkan yang baik, dan menghalau segala yang buruk
dalam kehidupan bermasyarakat. Zakat sejalan dengan ajaran-ajaran itu, maka
dapat dikatakan secara pasti merupakan salah satu bentuk kongkret bagaimana
mencapai nilai-nilai tersebut.
5)
Zakat Sebagai Landasan Sistem Perekonomian Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang
punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah
adalah pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan,
hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan
dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan
Allah di dalam pemilikan.
6)
Zakat merupakan suatu sistem yang cukup lengkap dan mampu Zakat
sebagai asas sistem fiskal
merangkumi semua jenis kegiatan ekonomi dan harta. Ringkasnya ia
merupakan asas kepada suatu sistem fiskal yang lengkap. Hanya jika jumlah zakat
yang dikutip itu tidak mencukupi bagi keperluan negara, maka Islam mengharuskan
mencari segala sumber-sumber lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
Kebijakan fiskal atau yang sering disebut sebagai “politik fiskal”
(fiscal policy) bisa diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah
dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya
perekonomian. Anggaran belanja negara terdiri dari penerimaan dan pengeluaran.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan
pendapatannya dalam merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi.
Adapun dalam Islam kebijakan fiskal dan anggaran ini bertujuan
untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan
berimbang dengan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama.
Pengembangan potensi zakat diperlukan untuk mengoptimalkan peran zakat dalam
perekonomian sebuah negara, terutama untuk mengatasi masalah kemiskinan,
ketimpangan pendapatan, dan pengangguran.
Penghimpunan potensi zakat dan pendistribusian yang bersifat
produktif akan menggairahkan kembali perekonomian negara. Bahkan untuk
Indonesia, optimalisasi peran zakat akan bisa menggerakkan sektor riil terutama
usaha kecil menengah dan pertanian. Pengembangan sektor inilah yang diharapkan
mampu menguatkan daya tahan fundamental ekonomi Indonesia dari hantaman krisis,
sehingga ketergantungan Indonesia terhadap IMF bisa diminimalisasi.[7]
Tujuan utama kegiatan zakat, dalam sudut pandang sistem ekonomi
pasar, adalah menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Dengan
zakat, terjadi perpindahan harta dari mereka yang berlebih kepada mereka yang
kekurangan. Ini yang disebut dengan distribusi pendapatan yang lebih merata.
Disamping menyangkut distribusi pendapatan yang lebih merata, peran zakat dalam
kebijakan fiskal Islami dapat pula ditinjau dari pengaruhnya terhadap alokasi
sumber daya ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi.
7)
Zakat dalam pengembangan potensi ekonomi umat.
Agar pelaksanaannya dapat efektif, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa
urusan zakat sebaiknya jangan dikerjakan sendiri oleh Muzakki (orang yang
mengeluarkan zakat), melainkan dipungut oleh petugas zakat yang telah ditunjuk
oleh negara (dalam konteks Indonesia adalah Badan atau Lembaga Amil Zakat).
Betapa penting peran dan manfaat zakat sehingga pada masa
Rasulullah SAW dan pemimpin Islam setelahnya tidak menyerahkan urusan zakat
kepada kerelaan orang-perorang semata, tetapi menjadi tanggungjawab pemerintah
(lembaga yang ditunjuk oleh negara), baik dalam proses pemungutan maupun
pendistribusian. Oleh karenanya, yang aktif menarik dan mendistribusikan zakat
adalah pejabat yang telah ditunjuk oleh negara. Dalam melaksanakan tugasnya
mereka diberi kewenangan untuk menggunakan “paksaan” seperti yang pernah
dilakukan oleh Abu Bakar R.A. dengan memerangi orang-orang yang enggan
mengeluarkan zakat. Pada akhirnya apabila zakat benar-benar dapat berjalan
efektif, diharapkan tercapai sosial safety nets (kepastian terpenuhinya hak
minimal kaum papa) serta berputarnya roda perekonomian umat, mendorong
pemanfatan dana ‘diam’ (idle), mendorong inovasi dan penggunaan IPTEK serta
harmonisasi hubungan si kaya dan si miskin. Sehingga pada akhirnya kehidupan
umat yang ideal dengan sendirinya akan terwujud.
B.
SYARAT-SYARAT ZAKAT
Zakat memiliki beberapa syarat wajib dan syarat sah. Para ulama
menyepakati syarat wajib zakat adalah : merdeka, muslim, baligh, berakal,
kepemilikan harta penuh dan mencapai nishab.[8]
Adapun syarat-syarat sah menurut kesepakatan ulama adalah niat yang
menyertai pelaksanaan zakat. Diantaranya adalah:
1)
Merdeka
Yang diwajibkan untuk mengeluarkan zakat adalah orang yang telah
merdeka,[9] hamba sahaya tidak
wajib membayar zakat karena ia tidak memiliki hak milik. Begitu
juga, mukatib (hamba sahaya yang dijanjikan akan di bebaskan oleh
tuannya dengan menebus dirinya) atau yang semisal dengannya tidak wajib
mengeluarkan zakat, karena kendatipun ia memiliki harta akan tetapi ia tidak
memiliki secara penuh. Menurut kesepakatan jumhur ulama, yang wajib
mengeluarkan zakat adalah tuan yang memiliki budak hal ini disebabkan oleh
harta yang dimiliki hamba sahaya merupakan kepunyaan dari tuannya.
2)
Islam
Hanya orang Islam yang diwajibkan untuk mengeluarkan zakat, orang
kafir tidak wajib mengeluarkan zakat walaupun ia mempunyaai harta yang telah
mencapai nishab untuk dikeluarkan zakatnya.[10] Hal tersebut dikarenakan
zakat merupakn salah satu ibadah mahd}hah yang sifatnya suci
sedangkan orang kafir bukan termasuk orang yang suci.
3)
Baligh dan Berakal
Menurut Mazhab Hanafi, baligh dan berakal dipandang sebagai syarat
wajib zakat. Dengan demikian, zakat tidak wajib diambil dari harta anak kecil
dan orang gila sebab keduanya tidak termasuk kedalam ketentuan orang yang wajib
mengerjakan ibadah, seperti shalat dan puasa, sedangkan menurut jumhur
keduannya bekan merupakan syarat. Oleh karena itu, zakat wajib dikeluarkan dari
anak kecil dan orang gila. Zakat tersebut dikeluarkan olah walinya.
Selain itu, zakat yang dikeluarkan oleh anak kecil dan orang gila
sebagai rasa solidaritas dan pahala untuk orang yang mengeluarkanny, karena
anak kecil dan orang gila memiliki hak untuk membuktikan solidaritas mereka dan
mengharap pahala. Menurut Wahbah Zuhaili pendapat tersebut merupakan suatu hal
yang baik karena didalamnya terkandung upaya untuk mewujudkan kemaslahatan
orang-orang fakir, memenuhi kebutuhan mereka, menjaga harta dari rongrongan
orang-orang yang mengincarnya, menyucikan jiwa, dan melatih sifat suka menolong
dan dermawan.
4)
Harta yang dikeluarkan merupakan harta yang wajib dizakati
Harta yang memiliki kriteria ini ada lima jenis, yaitu:
a)
Uang, emas, perak, baik berbentuk uang logam maupun uang kertas.
b)
Barang tambang dan barang temuan.
c)
Barang dagangan.
d)
Hasil tanaman dan buah-buahan.
e)
Menurut jumhur, binatang ternak yang merumput
sendiri (sa’imah); atau menurut mazhab Maliki, binatang yang diberi
makan oleh pemiliknya (ma’lufah).
Harta dizakati disyaratkan produktif, yakni berkembang sebab makna
zakat adalah berkembang dan produktivitas tidak akan dihasilkan dari
barang-barang yang produktif. Berkembang yang dimaksudkan disini bukan
berkembang yang sebenarnya akan tetapi harta yang dizakati tersebut disiapkan
untuk dikembangkan, baik melalui perdagangan maupun binatang yang diternakan.
5)
Harta yang dizakati telah mencapai nishab atau senialai dengannya
Nishab artinya harta itu telah mencapai batas minimal yang
ditentukan bagi setiap jenisnya.[11] Maksudnya ialah
nishab yang telah ditentukan oleh syara’ sebagai tanda kayanya seseorang dan
kadar-kadar berikut yang mewajibkannya zakat.
6)
Harta yang dizakati adalah kepemilikan penuh
Harta yang tidak, belum menjadi milik penuh tidak wajib dizakati.
Dalam hal ini harta yang dirampas atau dicuri tidak diwajibkan atas pengeluaran
zakat sampai harta tersebut kembali. Harta milik penuh adalah harta yang
dimiliki utuh dan berada pada di tangan sendiri dan benar-benar dimiliki.
7)
Kepemilikan harta telah mencapai setahun, menurut hitungan tahun
qomariah
Menurut ijma’ tabi’in dan fuqaha tahun yang dihitung adalah
qamariah, bukan taahun syamsiyah pendapat ini disepakati. Penentuan tahun
qomariah ini berlaku untuk semua ibadah sepaerti puasa dan haji.
8)
Harta yang akan dizakati melebihi kebutuhan pokok
Mazhab Hanafi mensyaratkan agar harta yang wajib dizakati harus
terbebas dari hutang dan kebutuhan pokok sebab orang yang sibuk mencari harta
seperti kedua hal itu sama dengan orang yang tidak memiliki harta. Ibn Malik
menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah harta yang secara
pasti bisa mencegah seseorang dari kebinasaan, misalnya nafkah, tempat tinggal,
perkakas perang, pakaian yang digunakan untuk melindungi diri dari panas dan dingin,
serta pelunasan hutang. Orang yang memiliki hutang bisa membayar hutangnya
dengan harta yang telah mencapai nishab tersebut. Hal ini dikarenakan dapat
mencegah dorinya dari kebinasaan.
C.
HARTA YANG WAJIB DIZAKATKAN
1.
Harta Yang Tampak (Al-Amwal Adzahirah)
a)
Zakat Binatang Ternak
Zakat binatang
ternak yaitu zakat yang harus dikeluarkan atas binatang ternak yang dimiliki.
Para ulama sepakat dalam menentukan jenis dari binatang yang wajib
dikeluarkan zakatnya, yaitu: unta, kerbau, sapi, kambing, domba.[12] Hewan lainnya
seperti kuda dan keledai memunculkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama
mengenai wajib atau tidaknya dikeluarkan zakat.[13] Menurut pendapat
jumhur ulama memandang bahwa tak ada zakat pada kuda, karena kuda sebagai
tunggangan, kuda perang, ataupun kuda angkutan itu hanya dipelihara untuk
mencukupi kebutuhan pemiliknya,[14] yaitu dipelihara
sebagai perhiasan atau digunakan tenaganya.[15] Sedangkan menurut
Abu Hanifah bahwa kuda wajib dizakati, karena mengandung sifat subur,
berkembang biak dengan jalan diternakkan.
b)
Zakat Tanaman (Buah-Buahan dan Biji-Bijian)
Hasil tanaman
dari jenis buah-buahan dan biji-bijian wajib dikenakan zakat Zakat tanaman dan
buah-buahan wajib dengan dalil al-Qur’an, firman Allah SWT
.....وَءَاتُوا۟
حَقَّهُۥ يَوْمَ حَصَادِهِۦ....
“…dan berikanlah haknya (zakatnya) pada
waktu memetik hasilnya..” (Al-An’am: 141)
Bagaimanapun, terdapat perselisihan pendapat dalam menentukan jenis
dan jenis tanaman serta tumbuhan yang bisa dikenakan zakat. Terjadinya ikhtilaf
adanya bersumber baik hasil tanaman itu bisa mengenyangkan, bisa ditukar,
ditimbang atau tahan lama disimpan.
Dalil As-Sunnah,
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِاللهِ عَنِ النَّبِىِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِيَمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ
اَوْكَانَ عَثْرِ يًّا اْلعُشُرُ وَمَا سُقِىَ بِالنَّضْعِ نِصْفُ الْعُشُرِ (رواه
البخارى)
“Dari Abdullah
r.a Nabi SAW bersabda: Tanaman-tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air
atau yang tumbuh di rawa-rawa, zakatnya sepersepuluh, dan yang diairi dengan
tenaga pengangkutan, zakatnya seperdua puluh”. (H.R. Bukhari).[16]
c)
Zakat Perdagangan
Zakat
perdagangan atau barang dagangan atau ‘Urudu at-tijarah adalah zakat yang
dikenakan kepada barang dagangan yang bukan emas dan perak, baik yang dicetak,
seperti uang Pound dan Riyal, maupun yang tidak dicetak, seperti perhiasan
wanita.[17]
2.
Harta yang tidak tampak (Al-Amwal Al-Bathiniah)
a)
Emas dan Perak
Ketahuilah bahwa
emas dan perak mencakup segala sesuatu yang terbuat dari keduanya, seperti uang
logam, perhiasan, lempengan-lempengan dari keduanya, dan sejenisnya. Emas dan
perak disebut juga dengan mata uang, karena kedua jenis logam inilah yang
menjaadi standart uang internasional terutama emas. Kewajiban zakat
atas emas dan perak ini ditegaskan dalam Al-Quran, As-Sunnah dan ijma’.[18]
Para ulama sepakat tentang wajibnya zakat atas perhiasan emas dan
perak bila itu adalah perhiasan yang haram untuk dipakai (untuk laki-laki),
atau disiapkan untuk diperdagangkan atau sejenisnya.
Dalil kewajiban
zakat emas dan perak adalah berdasarkan firman Allah SWT. Dalam Al-qur’an surat
At-Taubah ayat 34-35:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَى
عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ
وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ
تَكْنِزُون
“Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih. Pada hari di panaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu di
bakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS.
At-Taubah: 34-35).
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا
إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمَ القِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ،
فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ
وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرُدَتْ أُعِيْدَتْ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَان مِقْدَارُهُ
خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِمَّا
إِلَى النَّارِ
“Siapa saja
yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada
hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu
dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan
punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan
disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh
ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke
neraka.”
Dari Amr bin
Syu’aib dari bapak dari kakeknya, ia berkata,
أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ
غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ
أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ
مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ
“Ada seorang
wanita yang datang kepada Rasulullah bersama anak wanitanya yang di tangannya
terdapat dua gelang besar yang terbuat dari emas. Maka Rasulullah bertanya
kepadanya, “Apakah engkau sudah mengeluarkan zakat ini?” Dia menjawab, “Belum.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Apakah
engkau senang kalau nantinya Allah akan memakaikan kepadamu pada hari kiamat
dengan dua gelang dari api neraka.” Wanita itu pun melepas keduanya dan
memberikannya kepada Rasulullah seraya berkata, “Keduanya untuk Allah dan Rasul
Nya.”
b)
Barang Tambang
Barang tambang
dalam bahasa Arab disebut dengan ma’din kanz. Ibnu athir menyebut dalam
an-Nihaya bahwa al-Ma’adin berarti tempat dimana kekayaan bumi seperti emas,
perak, tembaga dan lain-lainnya keluar. Sedangkan kanz adalah tempat tertimbunnya
harta benda karena perbuatan manusia.
Ibnu Qudamah menyebutkan dalam al-mughni defenisi ma’din, yaitu
sesuatu pemberian bumi yang terbentuk dari benda lain tapi berharga.
Ungkapannya “sesuatu pemberian bumi” berarti “bukan suatu pemberian
laut” dan “bukan pula simpanan manusia” terbentuk dari benda
lain “bukan tanah dan lumpur” karena keduanya adalah bagian dari
bumi, dan berharga berarti merupakan harta benda yang ada sangkut pautnyadengan
kewajiban-kewajiban lain.
Kanz adalah tempat tertimbunnya harta benda karena perbuatan
manusia. Rikaz mencakup keduanya (yakni ma’din dan kanz), karena kata ini
berasal dari kakz yang berarti “simpanan”, tetapi yang dimaksud adalah
maruz “yang disimpan”. Pengertiannya lebih luas dari pada yang menyimpan
hanya tuhan atau makhluk saja.
Ibnu Qudamah mengemukakan contoh ma’adin itu seperti emas, perak,
timah, besi, intan, batu permata, atik, dan batu bara. Demikian juga dengan
barang tambang cair seperti minyak bumi, belerang dan lain-lain.
D.
MUSTAHIQ ZAKAT
Menurut
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 1, mustahiq
adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Allah SWT telah menentukan
golongan-golongan tertentu yang berhak menerima zakat, dan bukan diserahkan
kepada pemerintah untuk membagikannya sesuai kehendaknya.[19] Oleh karena itu,
zakat harus dibagikan kepada golongan-golongan yang telah ditentukan yakni
seperti dalam surat At-Taubah ayat 60 sebagai berikut:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِقلى فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التّوبه: . ٦ )
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para
pengurus zakat, para mu’allaf yangdibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.
At-Taubah: 60)
Berdasarkan
ayat diatas, penjelasan 8 golongan penerima zakat itu sebagai berikut:
1)
Fakir
Imam Asy-Syafi’i mengakatakn bahwa fakir ialah orang yang tidak
mempunyai harta benda dan tidak punya mata pencaharian. Hal tersebut terjadi
secara terus menerus atau dalam beberapa saat,baik ia meminta-minta maupun
tidak.[20]
2)
Miskin
Miskin ialah orang yang mempunyai harta atau mata pencaharian,namun
belum mencukupi keperluannya sehari-hari, baik ia meminta-minta maupun tidak.
3)
Amil Zakat
Amil zakat ialah orang yang ditunjuk oleh seorang pemimpin atau
wakilnya dan dijadikan sebagai petugas untuk mengumpulkan zakat. Amil zakat
disyaratkan merdeka, lelaki, muslim mukalaf karena memungut dan mengumpulkan
zakat merupakan kekuasaan sementara kekuasaan mensyatarkan hal-hal tersebut.
Amil boleh berasal dari orang miskin atau orang kaya.[21]
4)
Muallaf
Muallaf adalah orang laki-laki muslim yang keislaman nya masih
lemah namun memiliki pengaruh terhadap kaumnya, jika masih kafir, ia tidak berhak
menerima zakat meskipun ia ingin masuk islam.[22]
5)
Budak
Budak yaitu seorang muslim yang menjadi budak lalu dibeli dari
harta zakat dan dibebaskan di jalan Allah atau seorang budak muslim yang ingin
memerdekakan dirinya lalu diberi dari harta zakat agar menjadi orang-orang
merdeka.
6)
Gharim (Orang yang berhutang)
Gharim adalah orang yang memiliki hutang yang terdesak mencari
hutangan untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi ataupun karena kebutuhan-kebutuhan
sosial maupun agama.
7)
Fi sabilillah
Fisabilillah adalah amalan yang dapat menyampaian pada keridhoan
Allah dan Surga nya. Terkhusus dengan jihad untuk meninggkan agama Allah. maka
orang yang ikut berperang dijalan Allah diberi zakat meskipun orang kaya.
8)
Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah muslim yang berpergian yang memerlukan uang untuk
bekal perjalanan nya. Maka ia berhak mendapatkan bantuan zakat sesuai dengan
kebutuhan biaya imigrasinya.
E.
MANAJEMEN ZAKAT
1.
Distribusi Konsumsi Dana Zakat
Biro Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dari ketidakmampuan
orang/keluarga dalam mengkonsumsi kebutuhan dasar (tingkat konsumsi), konsepnya
menjadikan konsumsi beras sebagai indikator utama, sedangkan Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melihatnya dari ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial psikologis (tingkat kesejahteraan)
kemudian United Nation Development Program–Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNDP-PBB) mengukur berdasarkan ketidakmampuan orang dalam memperluas
pilihan-pilihan hidupnya pada tataran transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia
(model pembangunan manusia).
Ke semua model pengukuran di atas, jika dikaitkan dengan
pengembangan pola distribusi dana zakat secara konsumtif berarti konsep dari
pola pendistribusian diarahkan kepada:
a)
Upaya Pemenuhan Kebutuhan Konsumi Dasar dari Para Mustashiq
Ini sama halnya
dengan pola distribusi bersifat “konsumtif tradisional”, yaitu zakat dibagikan
kepada mustashiq untuk dimanfaatkan secara langsung, dengan begitu realisasinya
tidak akan jauh dari pemenuhan sembako bagi kelompok
delapan asnaf. Haya saja yang menjadi persoalan kemudian adalah
seberapa besar volume zakat yang bisa diberikan kepada seorang mustahik.
Untuk itu dalam
rangka optimalisasi, dana terkumpul dari instrumen zakat mal sebaiknya tidak
diarahkan untuk penyaluran sembako. Biarlah instrumen pemerataan pendapatan
Islami lainnya yang mengambil alih, seperti dana infak, sedekah, dan hasil
zakat fitrah. Penyaluran instrumen ini tidak dilakukan secara terus menerus
dalam jangka waktu tertentu, akan teapi berlaku aksidental, seperti pada saat
umat muslim merayakan Idul Fitri.
b)
Upaya Pemenuhan Kebutuhan yang Berkaitan dengan Tingkat
Kesejahteraan Sosial dan Psikologis
Pola konsumtif
pada item ini dapat diarahkan kepada pendistribusian konsumtif nonmakanan
(sembako), walaupun untuk keperluan konsumsi mustahik. Sedangkan untuk
peningkatan kesejahteraan psikologis, lembaga amil dapat menyalurkan dalam
bentuk bantuan pembiayaan untuk mustahik yang hendak melangsungkan pernikahan
atau sunatan massal bagi anak-anak mustashiq. Hal ini menjadi sangat penting,
terutama yang berkaitan dengan bantuan biaya pernikahan bagi mustahik, karena
salah satu faktor penyebab penyimpangan psikologis adalah keterlambatan dalam
melaksanakan pernikahan.
c)
Upaya pemenuhan kegiatan yang berkaitan dengan sumber daya
manusia agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi
indonesia
Untuk poin
ketiga, pola distribusi yang harus menjadi primadona adalah menyalurkan dana
zakat dalam bentuk peningkatan kualitas pendidikan delapan asnaf atau
mustashiq, untuk itu tidak mesti harus berupa beasiswa untuk sekolah umum,
namun bisa juga diarahkan untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan untuk
meningktakan ketrampilan nonformal (luar sekolah) yang dapat dimanfaatkan mustashiq
untuk kelanjutan menjalani hidup dan menggapai kesejahteraannya, seperti
jahit-menjahit, pelatihan bahasa asing, dan pelatihan kerja profesi lainnya.
Untuk penyaluran bentuk item ketiga ini lembaga amil harus mampu melihat
peluang dan tantangan yang ada pada kondisi lokal berkaitan dengan aktivitas
perekonomian dan penerapan sistem demokrasi.
2.
Distribusi Produktif Dana Zakat
Saat ini yang menjadi trend dari Islamization
process yang dikembangkan oleh para pemikir kontemporer ekonomi Islam
adalah, pertama: mengganti sistem ekonomi sistem bunga dengan ekonomi
sistem bagi hasil, kedua: mengoptimalkan sistem zakat dalam perekonomian
(fungsi retribusi income). Untuk trend ini sejumlah pemikiran
inovatif mengenai intermediary system dikembangkan oleh para ahli
ekonomi Islam. Hal ini tentunya diikuti oleh kesadaran bahwa masyarakat muslim
saat ini masih dalam sekatan ekonomi terbelakang, artinya permasalahan
pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial dimiliki oleh sejumlah besar
negara yang justru berpenduduk mayoritas Islam.
Belakangan ini, intermedary sistem yang mengelola
investasi dan zakat seperti perbankan Islam dan lembaga pengelola zakat lahir
secara menjamur. Untuk fenomena Indonesia sendiri, dunia perbankan Islam dan
dana pengumpul zakat menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Mereka berusaha
untuk berkomitmen mempertemukan pihak surplusmuslim dan
pihak deficitI muslim,dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan
pendapatan antara surplusdan deficit muslim atau bahkan
menjadikan kelompok yang deficite
(mustashiq)menjadi surplus (muzakki). Lembaga perbankan bergerak
dengan proyek investasi non riba, sedangkan lembaga zakat selain
mendistribusikan zakat secara konsumtif, saat ini juga telah mengembangkan
sistem distribusi dana zakat secara produktif.
3.
Investasi Dana Zakat
Dalam pembahasan yang berkaitan dengan menginvestasikan dana zakat,
persoalan yang kemudian akan muncul adalah siapa yang akan menginvestasikannya?
Salah satu konsep fundamental dari sistem zakat menyatakan bahwa tarif zakat
yang dibayarkan seseorang muzakki adalah hak milik mustahiknya. Dalam kajian
fikih klasik, pembahasan yang sudah akrab berkisar pada kemungkinan mustahiknya
sendiri yang menginvestasikan dana tersebut atau si muzakinya yang
menginvestasikannya. Untuk kedua alternatif ini, justifikasi para ahli fikih
klasik menyebutkan bahwa:
a)
Bila Mustahik yang menginvestasikan dana zakat
Jumhur ulama
berpendapat bahwa seorang mustashik dapat menginvestasikan dana zakatnya
setelah mustashik menerima dana zakat tersebut. Karena ketika dana zakat
tersebut mereka terimakan, otomatis menjadi hak milik sepenuhnya. Hanya saja,
jika mengingat peta kelompok delapan asnaf- sebagaimana sudah dibahas- empat
kategori pertama (fakir, miskin, amil, dan mualaf)
konsep nashmenyebutkan dengan huruf lam yang berarti
kepemilikan, jika demikian, keempat kategori ini dibolehkan untuk
menginvestasikan dana zakatnya. Kemudian untuk empat golongn sisanya (riqab,
gharim fisabilillah,dan ibnu sabil), nash mengimbuhkan dengan fi
dzarf yang berarti sesuai kondisi. Menurut penulis, berpikir untuk
menginvestasikan dana zakat adalah sangat cerdas, kecuali
bagi gharim (orang yang berhutang), karena kelompok ini punya
kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu bayar utangnya itu
sendiri.
b)
Bila Muzaki yang menginvestasikan dana zakatnya
Dalam bahasan
fiqhiyah yang menjadi persoalan kemudian adalah kemungkinan seorang muzaki
untuk menunda kewajiban zakakatnya, semisal pada seorang muzaki melihat bahwa
kepemilikan aset wajib zakatnya sudah mencapai satu haul, kemudian dia
menghitung tarif dari kewajiban tersebut, namun kemudian dana tersebut tidak
langsung diberikan kepada mustashik, akan tetapi diinvestasikan terlebih dahulu.
Dalam hal ini, para ahli fikih klasik memperdebatkannya secara pelik, walaupun
jumhur ulama yang diwakili mazhab Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah
mensinyalir bahwa kewajiban zakat adalah kewajiban yang harus disegerakan
apabilia sudah waktunya (fauriyah) dan tidak diperkenankan untuk menunda
penyaluran dana tersebut.[23]
F.
ZAKAT DALAM PEREKONOMIAN
Untuk bisa melahirkan satu format hukum Islam
yang eksistensinya menjaga diri pada kemaslahatan universal menghargai
rasa keadilan sosial dan hak asasi manusia, maka ijtihad menjadi ikhtiar
pertama yang mutlak harus dilakukan. Pandangan umum mengenai ijtihad yang
selama ini berjalan bisa dikatakan hanya menjangkau sasaran atau hal-hala yang
bersifat zhanni (teks yang tidak pasti) dan kurang mencermati dimensi ajaran
yang diyakini seagai qot’I (teks yang dianggap pasti). Menurut masdar, dengan
meletakkan maslahat seagai asas ijtihad maka konsep lama tentang qot’i dan
zhanni harus segera dicarikan rumusan barunya.[24]
Dalam pandangan masdar, apa yang disebut sebagai dalil qot’I adalah
nilai kemaslahatan dan keadilan, yang merupakan jiwa dari hukum itu sendiri. Sedangkan
yang dimaksud dalil zhonni adalah seluruh ketentuan teks, ketentuan normative
yang bisa digunakan untuk menterjemahkan yang qot’I (nilai kemaslahatan dan
keadilan) dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu ijtihad tidak bisa terjadi
pada wilayah qot’I, dan hanya bisa dilakukan pada wilayah zhonni.
Berangkat dari konsep qot’I dan zhonni yang ditawarkan masdar, ia
lantas menawarkan konsep baru tentang zakat. Dalam amatannya, zakat merupakan
ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan inti persoalan yang banyak dihadapi
umat manusia yakni ketidakadilan. Ajaran zakat bukanlah ajaran untuk
kepentingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk kemaslahatan dan keadilan
semesta. Inti dari ajaran zakat yang mutlak, universal, dan tidak berubah
adalah:
1)
Siapa pun yang memiliki kelebihan harta maka ia harus menginfakkan
sebagian harta yang diterimanya itu.
2)
Harta yang diinfakkan oleh atau dipungut dari yang mampu itu
harus disalurkan untuk kemaslahatan seluruh anggota masyarakat, dengan
memprioritaskan mereka yang lemah. Disamping orang-orang islam sendiri tetap
harus mendapat perhatian dalam pembagian zakat, agar bisa meringankan beban
ekonomi mereka. Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan menyeluruh,
lintas, agama, suku dan golongan.[25]
Umat islam khusunya para umaro’ dan ulama’, tidak bisa melepaskan
tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebakan oleh
Negara. Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat islam telah
benar-benar memisahkan Negara dari agama. Pemisahan ini menyebabkan umat islam
menanggung beban yang sangat berat karena harus melaksanakan dua macam
kewajiban, yaitu menunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan membayar pajak
sebagai kewajiban warga Negara. Akibatnya kewajiban mengeluarkan zakat selalu
terkalahkan oleh keharusan memayar pajak.
Gagasan yang menarik yang harus kita garis bawahi dari hal yang
mendasar adalah tentang obyek zakat yang
harus diperluas cakupannya. Untuk zaman sekarang tidaklah adil jika kita
hanya menggunakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, semetara itu
kelapa sawit, apel, kopi, dan tembakau yang tidak kalah nilai ekonomisnya, kita
bebaskan saja dari kewajiban membayar zakat. Tidak adil juga ketika kita
kenakan beban sedekah wajib atas pendapatan pada sektor pertanian sedangkan
dari sektor industri dan jasa kita bebaskan. Jika Nabi SAW tidak membicarakan
suatu jenis kekayaan tertentu maka hal itu hanya karena jenis kekayaan tersebut
belum ada pada masa Nabi. Sebab jika suatu jenis tersebut ada pada zaman nabi
maka tentu ia juga dikenakan zakat, seperti jenis kekayaan yang lain yang telah
ditentukan. Oleh karena itu tidak perlu lagi kita memahami jenis barang yang
wajib dikeluarkan oleh zakatnya seperti yang disebut dalam nash, akan tetapi
lebih penting adalah menangkap subtansi dari kewajiban zakat itu sehingga
diperluas cakupannya.[26]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zakat ialah memberikan sebagian harta yang dimilikki, memberi harta
tidak akan membuat miskin tapi sebaliknya, selain itu dengan memberikan zakat
kita bisa mensucikan jiwa dari kekikiran dan menghilangkan rasa berlebih –
lebihan. Namun dalam memberikan zakat ada syarat syarat tertentu sesuai dengan
ayat Al-Qur’an dalam surat At-Taubah ayat 60, dan memberikan kepada orang –
orang tertentu juga.
Pendapat – pendapat dari berbagai mazhab seperti mazhab Hanafi,
Syafe’i, dan Hambali, mereka sama-sama berpendapat bahwa dalam memberikan zakat
ada takaran-takaran tertentu yang harus dipenuhi. Adapun peranan zakat dalam
ekonomi yaitu, Zakat sebagai alternatif penanggulangan kemiskinan, sebagai alat
untuk memerangi masalah riba, sebagai sistem nilai dalam Islam, Sebagai Tatanan
Kehidupan Sosial.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah tentang “Zakat Sebagai Instrumen Finansial Dalam Islam” yang telah Kami
paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu
kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan.
Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Mubarok dan Baihaqi Fanani. (2014). Penghimpun Dana
Zakat
Nasional(Potensi, Realisasi dan Peran Penting Organisasi Pengelola
Zakat)”, PERMANA, Volume.V,
No. 2.
Aflazur Rahman. (1995). Doktrin
Ekonomi Islam Jilid III , Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf.
Agus Efendi & Bahruddin Fananny. (1997). Zakat : Kajian
Berbagai
Mazhab. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Asmaji Muchtar. (2014). Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi’i Masalah Ibadah,
Jakarta: Amzah.
Dr. Wahbah Al-Zuhayly. (1997). Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Gus
Arifin. (2011). Dalil-Dalil dan Keutamaan Zakat, Infak, Sedekah, Jakarta:
PT
Gramedia.
Hasan Ayub. (2010). Fiqih Ibadah Panduan
Lengkap Beribadah Sesuai Sunnah
Rasullah SAW, Jakarta:Cakra Lintas Media.
Isnatun
Ulfah. (2009). Fiqih Ibadah. Ponorogo: STAIN PoPRESS.
K.H.M. Syukri Ghozali, dkk. (1997). Pedoman Zakat 9
Seri, Jakarta: Proyeksi Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan
Wakaf.
Lahmudin Nasution. (1999).Fiqh Ibadah, Jakarta :
PT. LOGOS Wacana Ilmu.
M Nur Rianto Al Arif. (2010). Efek Pengganda Zakat Serta
Implikasinya Terhadap Program Pengentasan Kemiskinan. (Jurnal Ekbisi),
Volume.5, No.1.
M.
Arief Mufraini. (2006). Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta:
Kencana.
Mahsun Fuad. (2005). Hukum Islam Indonesia dari nalar
partisipatoris hingga
emasipatoris Yogyakarta: LKIS.
Mamluatul Maghfiroh. (2007). Zakat. Yogyakarta:
PT. Pustaka Insan Madani.
Moh. Rowi Latief & A. Shomad Robith. (1987).
Tuntunan Zakat Praktis,
Surabaya: Indah.
Saleh
al-Fauzan. (2005). Al-Mulakhkhasul Fiqhi, Saudi Arabia: Daar
Ibnu Jauzi.
Sugeng
Priyono, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal (Jurnal Al
Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam)
Sulaiman Rasjid. (2014). Fiqh Islam : Hukum Fiqh Islam, Bandung
: Sinar Baru
Algesindo.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. (2016). Minhajul
Muslim Pedoman Hidup
Ideal Seorang Muslim (Terj) cet IX, Solo: Insan Kamil.
Wahbah
Az-Zuhaili. (2007). Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani.
[1] Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai
Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm.82.
[2] Moh. Rowi Latief & A. Shomad Robith, Tuntunan
Zakat Praktis, (Surabaya: Indah, 1987), hlm.13.
[3] K.H.M. Syukri
Ghozali, dkk, Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Proyeksi
Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1997), hlm. 107-108.
[4] Aflazur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III
(Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1995), 235.
[5] M Nur Rianto
Al Arif, Efek Pengganda Zakat Serta Implikasinya Terhadap Program
Pengentasan Kemiskinan. (Jurnal Ekbisi), Volume.5, No.1, Desember 2010, hlm.
4.
[6] Abdullah
Mubarok dan Baihaqi Fanani, Penghimpun Dana Zakat Nasional(Potensi,
Realisasi dan Peran Penting Organisasi Pengelola Zakat)”, PERMANA,
Volume.V, No. 2, Februari 2014, hlm. 7.
[7]
Sugeng Priyono, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal (Jurnal Al Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam), hlm. 128.
[8] Agus Efendi
& Bahruddin Fananny. Zakat : Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 98.
[9] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam : Hukum Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru
Algesindo, 2014), hlm. 194.
[10] Sulaiman
Rasjid. Ibid, hlm. 193.
[11] Lahmudin
Nasution, Fiqh Ibadah, (Jakarta : PT. LOGOS Wacana Ilmu,
1999), hlm. 149.
[14] Mamluatul
Maghfiroh. Op. Cit., hlm. 61.
[17] Gus
Arifin, Dalil-Dalil dan Keutamaan Zakat, Infak, Sedekah, (Jakarta:
PT Gramedia, 2011), hlm. 93.
[19] Hasan Ayub, Fiqih Ibadah Panduan
Lengkap Beribadah Sesuai Sunnah Rasullah SAW, (Jakarta:Cakra Lintas
Media, 2010), hlm. 381.
[20] Asmaji Muchtar, Fatwa-Fatwa Imam
Asy-Syafi’i Masalah Ibadah, (Jakarta:
Amzah, 2014), hlm. 271.
[21] Asmaji Muchtar. Ibid., hlm. 383.
[22] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul
Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim (Terj) cet IX,
(Solo: Insan Kamil 2016), hlm. 478.
[23] https://www.kompasiana.com/lifazih/584c304a5093738a4ab5f105/organisasi-dan-manajemen-zakat?page=all Diakses di
Pekanbaru, Pukul 21:18 pada tanggal 3 Desember 2019.
[24] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari nalar
partisipatoris hingga emasipatoris (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 100.
[25] Mahsun Fuad. Ibid., hlm 102

Tidak ada komentar:
Posting Komentar