Kamis, 26 Desember 2019

Teori Prilaku Produsen Ekonomi Islam - Makalah



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
            Produksi, distribusi dan konsumsi sesungguhnya merupakan satu rangkaian kegiatan ekonomi yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya memang saling memengaruhi, namun harus diakui produksi merupakan titik pangkal dari kegiatan itu tidak akan ada ditribusi tanpa produksi dan juga tidak akan ada barang dan jasa yang akan dikonsumsi bila tidak ada produksi. Orang yang melakukan kegiatan produksi disebut produsen, teori perilaku produsen memiliki banyak analogi dengan teori perilaku konsumen. Misalnya ketika konsumen mengalokasikan dananya untuk aktivitas konsumsi maka produsen akan mengalokasikan dananya untuk penggunaan faktor produksi atau yang akan diproses menjadi output. Karena itu, bila keseimbangan konsumen terjadi pada saat seluruh anggaran habis untuk konsumsi, keseimbangan produsen tercapai pada saat seluruh anggaran habis terpakai untuk membeli faktor produksi. Dan setiap produsen  akan berupaya mencapai tingkat produksi yang optimum.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian dan Ruang lingkup Produksi ?
2.    Apa saja Tujuan Produksi menurut Islam ?
3.    Apa saja Motivasi Produsen dalam Produksi ?
4.    Bagaimana Formulasi Mashlahah Produsen ?
5.    Apa saja Norma dan Etika dalam Produksi ?
C.      Tujuan Penulis
1.    Memahami pengertian dan ruang lingkup produksi
2.    Memahami tujuan produksi menurut islam
3.    Memahami motivasi produsen dalam produksi
  1. Mempelajari formulasi mashlahah produsen
  2. Mengetahui norma dan etika dalam produksi



















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan ruang lingkup produksi
Teori perilaku produsen memiliki banyak analogi dengan teori perilaku konsumen.   misalnya ketika konsumen mengalokasikan dana nya untuk aktivitas konsumsi,  maka produsen akan mengalokasikan dana nya untuk menggunakan faktor produksi atau yang akan diproses menjadi output. Karena itu,  bila keseimbangan konsumen terjadi pada saat seluruh anggaran habis untuk konsumsi, keseimbangan produsen tercapai pada saat seluruh anggaran habis terpakai untuk membeli faktor produksi. Dan setiap produsen akan berupaya mencapai tingkat produksi yang optimum.
Kegiatan produksi merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat menunjang selain kegiatan konsumsi. Tanpa kegiatan produksi, maka konsumen tidak akan dapat mengkonsumsi barang dan jasa yang dibutuhkannya. Kegiatan produksi dan konsumsi adalah satu mata rantai yang saling berkaitan dan tidak bisa saling di lepaskan. Jika dalam konsepsi ekonomi Islam tujuan konsumen dalam mengonsumsi barang dan jasa untuk mendapatkan maslahah, maka produsen dalam memproduksi barang dan jasa bertujuan yang dapat memberikan maslahah. Jadi baik produksi maupun konsumen memiliki tujuan  yang sama dalam kegiatan ekonomi yaitu mencapai maslahah yang optimum.
Dalam kehidupan sehari-hari, apabila kita mendengar kata produksi, maka yang terbayang di pikiran kita adalah suatu kegiatan besar yang memerlukan perawatan yang serba canggih, serta menggunakan ribuan tenaga kerja untuk mengerjakannya. Sebenarnya dugaan tersebut tidak benar. Produksi artinya, kegiatan menambah nilai guna suatu barang atau jasa untuk keperluan orang banyak. Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, tidak semua kegiatan yang menambah nilai guna suatu barang dapat dikatakan proses produksi. Contohnya, seorang ibu yang membuat kue untuk keluarganya di rumah, maka kegiatan tersebut tidak dapat dikatakan proses produksi karena, tujuannya bukan untuk masyarakat banyak.
Produksi adalah kegiatan yang dilakukan manusia dalam menghasilkan suatu produk baik barang, maupun jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumsi sering kali dilakukan sendiri, yaitu seseorang memproduksi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun, seiring dengan semakin beragamnya kebutuhan dan keterbatasan sumber daya, maka seseorang tidak dapat lagi memproduksi sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya, sehingga ia membutuhkan pihak lain untuk memproduksi apa yang menjadi kebutuhannya tersebut. Secara teknis produksi dapat diartikan sebagai suatu proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam ilmu ekonomi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter yang melekat padanya.[1]
Dalam aktivitas produksinya, produsen mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan hubungannya dengan tingkat produksi, faktor produksi dibedakan menjadi faktor produksi tetap (fixed input) dan variabel (variabel input). Faktor produksi tetap adalah faktor produksi yang jumlah penggunaannya tidak tergantung pada jumlah produksi. Ada atau tidak adanya kegiatan produksi, faktor produksi itu harus tetap tersedia. Sementara jumlah penggunaan faktor produksi variabel tergantung pada tingkat produksinya. Makin besar tingkat produksi, makin banyak faktor produksi variabel yang digunakan.
Pengertian faktor produksi tetap dan variabel, terkait erat dengan waktu yang dibutuhkan untuk menambah atau mengurangi faktor produksi tersebut. Mesin dikatakan sebagai faktor produksi tetap karena dalam jangka pendek (kurang dari setahun) susah untuk ditambah atau dikurangi. Sementara buruh dikatakan faktor produksi variabel karena jumlah kebutuhannya dapat disediakan dalam waktu kurang dari satu tahun. Dalam jangka panjang (long run) dan sangat panjang (very long run) semua faktor produksi sifatnya variabel. Perusahaan dapat menambah atau mengurangi kapasitas produksinya dengan menambah atau mengurangi mesin produksi. Teori produksi tidak mendefinisikan jangka pendek dan jangka panjang secara kronologis. Periode jangka pendek adalah periode produksi di mana perusahaan tidak mampu dengan segera melakukan penyesuaian jumlah penggunaan salah satu atau beberapa faktor produksi. Periode jangka panjang adalah periode produksi di mana semua faktor produksi menjadi faktor produksi variabel.
Salah satu yang dilakukan dalam proses produksi adalah menambah nilai guna suatu barang atau jasa. Dalam kegiatan menambah nilai guna barang atau jasa ini, dikenal 5 jenis kegunaan, yaitu :
1.    Guna Bentuk, yang dimaksud  dengan guna bentuk yaitu, di dalam melakukan proses produksi, kegiatannya ialah mengubah bentuk suatu barang sehingga barang tersebut mempunyai nilai ekonomis. Contohnya : kayu yang diubah menjadi mebel baik berupa kursi, meja, maupun bentuk lainnya.
2.    Guna Jasa,  adalah kegiatan produksi yang memberikan pelayanan jasa. Contohnya : tukang becak, pangkas rambut, dan pekerjaan lainnya yang memberikan pelayanan jasa.
3.    Guna Tempat,  adalah kegiatan produksi yang memanfaatkan tempat-tempat di mana suatu barang memiliki nilai ekonomis. Contoh : pengangkutan pasir dari tempat yang pasirnya melimpah ke tempat dimana orang membutuhkan pasir tersebut.
4.    Guna Waktu,  kegiatan produksi yang memanfaatkan waktu tertentu. Misalnya : pembelian beras yang dilakukan oleh Bulog pada saat musim panen, dan dijual kembali pada saat masyarakat membutuhkan.
5.    Guna Milik, adalah kegiatan produksi yang memanfaatkan model yang dimiliki untuk dikelola orang lain dan hasil tersebut ia mendapatkan keuntungan.[2]
Berdasarkan definisi diatas terlihat bahwa kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi islam adalah terkait dengan manusia dan eksistensinya dalam aktivitas ekonomi, meskipun setiap definisi diatas memberikan penekanan dan elaborasi yang berbeda. Secara garis besar dari masing-masing definisi adalah setiap kepentingan manusia yang sesuai dengan aturan dan prinsip syariat harus menjadi target dari suatu kegiatan produksi, di mana produksi adalah proses mencari, mengalokasikan, dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan dan memberi maslahah bagi manusia.

B.       Tujuan produksi menurut Islam
Tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan kemaslahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk diantaranya :
1.    Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat, Tujuan produksi yang pertama sangat jelas, yaitu pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat. Hal ini akan menimbulkan dua implikasi yaitu pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan, meskipun belum tentu keinginan konsumen karena keinginan manusia sifatnya tidak terbatas sehingga seringkali mengakibatkan ketidakjelasan antara keinginan dan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan hidupnya. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan bukan sekedar memberikan kepuasan maksimum saja. Dalam konsep maslahah, salah satu formula nya adalah harus memenuhi unsur manfaat. Kedua, kuantitas produk yang diproduksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Produksi barang dan jasa secara berlebihan tidak saja menimbulkan mis-alokasi dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan kemubaziran, tetapi juga menyebabkan terkurasnya sumber daya secara cepat padahal sumber daya tersebut seringkali jumlahnya terbatas.
2.    Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya, Meskipun produsen hanya menyediakan sarana kebutuhan manusia, namun hal ini bukan berarti produsen bersifat pasif dan reaktif terhadap kebutuhan manusia, yang mau memproduksi hanya berdasarkan permintaan konsumen. Produsen harus mampu menjadi sosok yang kreatif, proaktif, dan inovatif dalam menemukan barang dan jasa apa yang menjadi kebutuhan manusia dan kemudian memenuhi kebutuhan tersebut. Penemuan ini kemudian disosialisasikan atau dipromosikan kepada konsumen sehingga konsumen mengetahuinya. Sebab konsumen seringkali tidak mengetahui apa yang dibutuhkannya di masa depan, sehingga produsen harus mampu melakukan inovasi agar konsumen mengerti bahwasanya hal tersebut telah menjadi kebutuhan dalam hidupnya. Sebagai contoh produksi air dalam kemasan baik gelas maupun botol, pada awalnya konsumen tidak terbiasa dengan model minuman dalam kemasan, namun karena inovasi dan pengembangan dari produsen pada akhirnya konsumen terbiasa dengan minuman dalam kemasan tersebut.
3.    Menyiapkan persediaan barang/jasa dimasa depan, Sikap proaktif ini juga harus berorientasi ke depan dalam artian : pertama, harus mampu menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan di masa mendatang. Sehingga seorang produsen dalam kerangka islami tidak akan mau memproduksi barang-barang yang bertentangan dengan syariat, maupun barang yang tidak memiliki manfaat riil kepada umat. Produsen harus mampu melakukan pengembangan produk yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat dimasa depan. Kedua, menyadari bahwa sumber daya ekonomi tidak hanya diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tetapi juga untuk generasi mendatang. Orientasi ke depan ini akan mendorong produsen untuk terus menerus melakukan riset dan pengembangan yang bertujuan sebagai efisiensi dalam pengelolaan sumber daya ekonomi serta mencari teknologi produksi yang ramah lingkungan. Implikasi dari aktivitas di atas adalah tersedianya secara memadai berbagai kebutuhan bagi generasi mendatang, suatu konsep pembangunan yang berkesinambungan.
4.    Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah, Tujuan yang terakhir yaitu pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah, dan inilah tujuan produksi yang tidak akan mungkin dapat tercapai dalam ekonomi konvensional yang bebas nilai. Tujuan produksi adalah mendapatkan berkah yang secara fisik belum tentu dirasakan oleh produsen itu sendiri. Tujuan ini akan membawa implikasi yang luas, sebab produksi tidak akan selalu menghasilkan keuntungan materiil, namun harus mampu pula memberikan keuntungan bagi orang lain dan agama. Saat ini pada sistem ekonomi konvensional berkembang pula mekanisme corporate social responsibility (CSR) sebagai sarana tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat. Namun, mekanisme telah lebih dahulu terdapat dalam ekonomi Islam, dan dalam ekonomi Islam mekanisme ini sudah built in dengan sistem yang ada. Sehingga produsen yang islami akan mampu memaksimalkan keuntungan materiil dan sekaligus memberikan keuntungan kepada masyarakat dan agama.[3]

C.      Motivasi produsen dalam berproduksi
Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Dalam ilmu ekonomi konvensional senantiasa mengusung maksimalisasi keuntungan sebagai motivasi utama, meskipun sangat banyak kegiatan produktif atas dasar definisi di atas yang memiliki motivasi lain dari hanya sekedar memaksimalkan keuntungan. Motivasi untuk maksimalisasi kepuasan dan maksimalisasi keuntungan yang menjadi pendorong utama sekaligus tujuan dari keputusan ekonomi dalam pandangan ekonomi konvensional bukannya salah ataupun dilarang dalam islam, tetapi islam ingin mendudukkannya pada posisi yang benar, yakni semua itu dalam rangka maksimalisasi kepuasan dan keuntungan di akhirat.[4]
Kitab suci Al-qur'an menggunakan konsep produksi barang dalam artian yang luas. Al-qur'an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan bukannya untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif. Hal ini ditegaskan Al-qur'an yang tidak memperbolehkan produksi barang-barang mewah yang berlebihan dalam keadaan apapun.
Namun demikian, secara jelas peraturan ini memberikan kebebasan yang sangat luas bagi manusia untuk berusaha memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi dalam memenuhi tuntutan kehidupan ekonomi. Dengan memberikan landasan rohani bagi manusia sehingga sifat manusia yang semula tamak dan mementingkan diri sendiri menjadi terkendali. Di dalam QS. al-Ma'arij : 19, sifat-sifat alami manusia yang menjadi asas semua kegiatan ekonomi diterangkan :
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir"". (QS. al-ma'arij : 19).
Sifat ketamakan manusia menjadikan keluh kesah, tidak sabar, dan gelisah dalam perjuangan mendapatkan kekayaan dan dengan begitu memacu manusia untuk melakukan berbagai aktivitas produktif. Manusia akan semakin giat memuaskan kehendaknya yang terus bertambah, sehingga akibatnya manusia cenderung melakukan kerusakan di bidang produksi.
Dalam ekonomi konvesional,  motivasi utama bagi produsen adalah mencari keuntungan materiil (uang) secara maksimal sangat dominan, meskipun saat ini sudah berkembang bahwasannya produsen tidak hanya bertujuan mencari keuntungan maksimal semata. Namun tetap secara konsep tujuan produsen dalam ekonomi konvensional selalu menitikberatkan pada penggandaan materi yang akan didapat oleh perusahaan. Oleh karenanya, produsen adalah seorang profit seeker sekaligus profit maximizer. Strategi, konsep, dan teknik berproduksi semuanya diarahkan untuk mencapai keuntungan maksimum, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Milton Friedman menunjukkan bahwa satu-satunya fungsi bisnis adalah untuk melakukan aktivitas yang ditunjukkan dalam rangka meningkatkan keuntungan. Isu yang kemudian berkembang menyertai motivasi produsen ini adalah permasalahan etika dan tanggung jawab sosial produsen.
Keuntungan  maksimal telah menjadi sebuah insentif yang teramat kuat bagi produsen untuk melaksanakan produksi. Akibatnya motivasi untuk mencari keuntungan maksimal seringkali menyebabkan produsen mengabaikan etika dan tanggung jawab sosial nya, meskipun mungkin tidak melakukan pelanggaran hukum formal, misalnya dalam rangka menekan biaya dalam pengolahan limbahnya, suatu pabrik membuang sisa hasil produksinya (limbah) ke sungai sehingga menimbulkan pencemaran bagi warga sekitar. Atau seorang pengusaha di bidang perhutanan yang menebang pohon tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap kelestarian hutan terutama hutan sebagai penampung air yang pada jangka panjang dapat menyebabkan bencana bagi manusia. Dampak dari kegiatan ekonomi yang menimbulkan kemudaratan bagi pihak lain dalam bahasa ekonomi dikenal sebagai eksternalitas negatif.
Dengan pandangan ekonomi Islam, motivasi produsen semestinya sejalan dengan tujuan produksi dan kehidupan produsen itu sendiri. Jika tujuan produksi adalah berupaya untuk menyediakan kebutuhan materiil dan spiritual dalam menciptakan maslahah, maka motivasi produsen tentu saja mencari maslahah, dimana hal ini juga sejalan dengan tujuan kehidupan seorang muslim. Produsen  dalam pandangan ekonomi islam adalah maslahah maximizer, mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain tidak dilarang sepanjang berada dalam mimpi tujuan dan hukum islam, hal ini telah tercantum dalam rancang bangun ekonomi islam di mana salah satunya adalah ma'ad atau return.
Namun, keuntungan yang dicari bukanlah keuntungan eksploitatif yang bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menetapkan keuntungan jauh di atas keuntungan normal. Seorang produsen muslim akan berupaya mencari keuntungan yang mampu memberikan kemaslahatan tidak hanya bagi dirinya sendiri, namun juga bagi lingkungan sekitar termasuk konsumen.[5]

D.      Formulasi Maslahah bagi produsen
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya maslahah terdiri dari dua komponen yaitu manfaat (fisik dan non fisik) dan berkah. Dalam konteks produsen yang berorientasi kepada keuntungan, maka manfaat ini dapat berupa keuntungan materiil. Keuntungan ini bisa digunakan untuk maslahah lainnya seperti maslahah fisik, intelektual, maupun sosial. Untuk itu rumusan maslahah bagi produsen adalah : Maslahah = keuntungan + berkah, atau dapat dituliskan sebagai : M = π + B.
Di mana M menunjukkan maslahah, π menunjukkan keuntungan, dan B adalah berkah. Produsen akan menggunakan proksi yang sama dengan yang dipakai oleh konsumen dalam mengidentifikasi berkah yaitu adanya pahala pada produk atau kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih antara pendapatan total (total revenue (TR)) dan biaya totalnya (total cost (TC)), π = TR – TC.[6]
       Pada prinsipnya berkah akan diperoleh apabila seorang produsen dalam menjalankan bisnisnya menerapkan prinsip dan nilai syariat islam sehingga ia tidak akan mau memproduksi yang bertentangan dengan prinsip syariat maupun tidak memberikan kemaslahatan bagi umat. Namun hal ini, bukan berarti perusahaan tidak dapat memperoleh keuntungan. Sebab seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwasannya salah satu fondasi dasar dalam ekonomi islam adalah ma'ad (return). Meskipun, pada saat penerapan prinsip syariat ini sering kali menimbulkan biaya ekstra yang relatif besar bila mengabaikannya sebagai contoh yaitu pengolahan limbah hasil produksi. Akan tetapi di sisi lain, berkah yang diterima merupakan kompensasi yang tidak secara langsung diterima produsen atau berkah revenue (BR) dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan berkah tersebut atau berkah cost (BC), yaitu : B = BR – BC = –BC.
       Dalam persamaan  tersebut penerimaan berkah diasumsikan nilainya nol atau secara fisik tidak dapat diobservasi, karena berkah memang seringkali tidak secara langsung selalu berwujud materiil. Dengan demikian, maslahah sebagai didefinisikan pada persamaan sebelumnya dapat ditulis kembali menjadi persamaan berikut : M = TR – TC – BC.
Dalam persamaan di atas, ekspresi berkah, BC, menjadi faktor pengurang. Hal ini, masuk akal karena berkah tidak bisa datang dengan sendirinya melainkan sebagai seorang muslim harus mencari dan mengupayakannya sehingga kemungkinan itu akan timbul beban ekonomi dalam rangka tersebut. Sebagai contoh, seorang produsen dilarang untuk mengeksploitasi karyawannya dan harus memberikan hak-hak karyawan tersebut sebelum kering keringatnya, meskipun kesempatan tersebut terbuka dan karyawan tidak menyadarinya. Dengan mengeksploitasi karyawan melalui upah yang rendah dapat meningkatkan efisiensi, namun sebagai seorang produsen muslim yang berorientasi pada berkah maka hal tersebut tidak akan dilakukan, meskipun akan berimbas pada biaya yang lebih tinggi. Produsen muslim tersebut harus rela mengeluarkan ekstra biaya untuk memenuhi hak karyawannya, namun karena mereka yakin bahwasanya tujuan mereka memproduksi adalah untuk mencari berkah maka mereka pun ikhlas dalam melakukannya. Dampak karena kita memenuhi hak karyawan adalah, tingkat loyalitas karyawan terhadap perusahaan yang tinggi, meningkatkan produktivitas dan etos kerja, yang selanjutnya akan berimbas pada perusahaan itu sendiri. Komitmen ini akan memberikan citra positif di masyarakat yang berakibat pada apresiasi masyarakat terhadap produk perusahaan tersebut yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Sehingga upaya mencari berkah dalam jangka pendek memang dapat menurunkan keuntungan, tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan mampu meningkatkan keuntungan sebagai akibat peningkatan permintaan di masyarakat.
Adanya biaya untuk mencari berkah (BC) dalam proses produksi produsen muslim tentu akan membawa implikasi terhadap harga barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Harga jual produk adalah harga yang telah mengakomodasi pengeluaran berkah yaitu : BP = P + BC.
Dengan demikian, rumusan maslahah yang diekspresikan dalam persamaan sebelumnya akan berubah menjadi : M = BTR – TC – BC.
Selanjutnya dengan pendekatan matematis terhadap persamaan di atas maka bisa ditemukan pedoman yang bisa digunakan oleh produsen dalam rangka untuk memaksimumkan maslahah atau optimum maslahah condition yaitu menjadi : BPdQ = dTC – Dbc.
Jadi, optimum maslahah condition dari persamaan di atas menyatakan bahwasannya maslahah akan maksimum jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ) sama dengan perubahan (tambahan) yang terjadi pada biaya total (dTR) dan pengeluaran berkah total (dBC) pada unit terakhir yang diproduksi. Jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ) masih lebih besar dari pengeluarannya, dTC + dBC, maka produsen akan mempunyai dorongan (insentif) untuk menambah jumlah produksi lagi. Hanya jika nilai unit terakhir hanya cukup untuk membayar kompensasi yang dikeluarkan dalam rangka memproduksi unit tersebut, dTC + dBC, maka tidak akan ada lagi dorongan bagi produsen untuk menambah produksi. Dalam kondisi demikian produsen dikatakan berada pada posisi keseimbangan (equilibrum) atau optimal. Hal yang perlu diingat dalam proses produksi yang dilakukan adalah mencari maslahah yang optimal dan bukan maslahah yang maksimal.[7]

E.       Norma dan Etika dalam Produksi
       Adapun nilai-nilai yang penting dalam bidang produksi adalah :
1.    Ihsan dan Itqan (Sungguh-sungguh) dalam berusaha
Islam tidak hanya memerintahkan manusia untuk bekerja dan mengembangkan hasil usahanya (produktivitas), tetapi islam memandang setel usaha seseorang sebagai ibadah kepada Allah dan jihad di jalan Allah. M. Abdul Mun'in al-jamal,  dalam hal ini mengemukakan hal yang sama bahwa usaha dan peningkatan produktivitas dalam pandangan islam adalah sebagai ibadah, bahkan aktivitas perekonomian ini dipandang semulia-mulianya nilai. Karena hanya dengan bekerja setiap individu dapat memenuhi hajat hidupnya, hajat hidup keluarga, berbuat baik kepada karib kerabat, memberikan pertolongan dan ikut berpartisipasi dalam mewujudkan kemaslahatan umum. Ini  semua merupakan keutamaan-keutamaan yang sangat di junjung tinggi agama. Karena amalan duniawi bukan hanya semata-mata untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kemaslahatan seluruh umat manusia sehingga amalan duniawi tersebut dapat bernilai ibadah di sisi Allah. Ihsan dalam bekerja, bukan perkara sunat (nafilah) ataupun perkara fadilah, dan sesuatu yang diwajibkan agama dan di bebankan bagi setiap Muslim.
2.    Iman, Taqwa, Maslahah, dan Istiqamah
Iman, taqwa dan istiqomah merupakan pendorong yang sangat kuat untuk memperbesar produksi melalui kerja keras dengan baik, ikhlas dan jujur dalam melakukan kegiatan produksi yang dibutuhkan untuk kepentingan umat, agama dan dunia. Sebagai implikasi dari iman, seorang mukmin tidak merasa cukup dengan melakukan pekerjaan hanya sekadarnya saja, tetapi akan melakukan dengan sungguh-sungguh. Mengarahkan segala kemampuannya untuk kebaikan adalah perintah Allah untuk berbuat ihsan dalam setiap keadaan. Kemudian meyakini, bahwa Allah mengawasi semua aktivitasnya dalam setiap situasi dan kondisi. Apabila seorang mukmin bekerja dalam suatu perusahaan, tujuannya bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan hasil atau menyenangkan hati pemilik perusahaan agar dinaikkan gaji atau jabatannya, melainkan juga karena keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasinya sehingga ia bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh.
Semua nilai yang sudah dipaparkan ini pada dasarnya mengacu pada nilai-nilai yang pokok dalam ekonomi islam, yaitu amanah dan ikhlas dalam setiap aktivitas ekonomi. Namun, fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat terlihat, bahwa sarana dan prasarana yang diperuntukkan bagi kemaslahatan dan kepentingan umum rusak dan terabaikan begitu saja. Banyak proyek-proyek negara yang telah direncanakan dan diselesaikan dalam jangka waktu dengan anggaran biaya yang telah ditentukan mengalami kegagalan atau kualitasnya yang tidak sesuai dengan perencanaan. Hal itu terjadi karena hilangnya rasa amanah dan keikhlasan serta rusaknya hati nurani dan rasa tanggung jawab dari pengelola proyek tersebut.
3.    Bekerja pada Bidang yang Dihalalkan Allah
Selanjutnya,  akhlak utama yang harus diperhatikan seorang muslim dalam bidang produksi secara pribadi maupun kolektif adalah bekerja pada bidang yang di halalkan Allah. Oleh  karena itu, setiap usaha yang mengandung unsur kezaliman dan mengambil hak orang lain dengan jalan yang batil, seperti mengurangi takaran dan timbangan dan sebagainya, memperoleh sesuatu yang tidak diimbangi dengan kerja atau pengorbanan yang setimpal seperti riba dan sejenisnya, harta yang dihasilkan dari barang yang haram seperti khamar, atau bekerja di bidang pekerjaan yang tidak dibenarkan menurut syariat seperti kerja di bar atau diskotik diharamkan islam. Ali Abd ar-Rasul,  berpendapat bahwa seorang muslim wajib membatasi produksinya pada bidang-bidang yang halal. Karena itu,  seorang muslim diharamkan melakukan produksi di bidang-bidang yang diharamkan.  Dalam konteks ini, Ali Abd ar-Rasul sangat menekankan perlunya keseimbangan pada seluruh aktivitas produksi dengan tetap memelihara kebaikan dan kemaslahatan umat.
Dalam sistem ekonomi kapitalis ataupun sosialis tidak mengenal batas-batas halal dan haram, hanya mementingkan segi keuntungan semata, tanpa memperhatikan apakah yang diproduksi itu bermanfaat atau memudaratkan, sesuai dengan norma atau tidak. Dalam sistem ekonomi islam, seorang muslim tidak diperbolehkan menanam sesuatu yang memabukkan seperti hasysyi (ganja) atau yang memudaratkan seperti tembakau. Terkait dengan masalah ini, tidak berbeda dengan ulama lainnya, seperti Abu al-A'la al-Maududi yang mengharamkan usaha mencari penghidupan yang meruntuhkan akhlak dan merusak ketertiban sosial. Diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang dapat melucuti identitas umat, mengguncang nilai-nilai agama dan akhlak, menyibukkan diri pada hal yang sia-sia, dan menjauhkan diri dari kebenaran, seperti memproduksi film atau video porno, iklan, dan foto dan gambar porno ataupun hiburan lainnya yang tidak sesuai dengan nilai akidah dan akhlak.[8]



















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Secara teknis produksi adalah mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Kegiatan produksi dalam perspektif islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya yaitu mengutamakan harkat kemuliaan manusia. Kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi muslim adalah terkait dengan manusia dan eksistensinya dalam aktivitas ekonomi, meskipun setiap definisi diatas memberikan penekanan dan elaborasi yang berbeda-beda. Secara garis besar dari masing-masing definisi adalah setiap kepentingan manusia yang sesuai dengan aturan syariat harus menjadi target dari suatu kegiatan produksi, di mana produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi manusia. Produsen dalam pandangan ekonomi islam adalah mashlahah maximizer. Mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain tidak dilarang sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Maslahah bagi produsen terdiri dari dua komponen yaitu keuntungan dan berkah.

B.       Saran
Dalam makalah ini penulis berkeinginan memberikan saran kepada pembaca agar dapat memahami lebih jauh lagi teori perilaku produsen sesuai dengan tuntutan islam dari berbagai narasumber dan referensi lainnya karena dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik dari bentuk maupun isinya.

DAFTAR PUSTAKA

Sadono Sukirno. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi cet. 18. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada).
M. Nur Rianto Al Arif, M. Si. 2010. TEORI MIKROEKONOMI SUATU PERBANDINGAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONVENSIONAL Edisi Pertama. (Jakarta : KENCANA PRENADAMEDIA GROUP)
Nur Rianto Al Arif. 2011. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. (Solo : PT. Era Adicitra Intermedia).
P3EI UII. 2008. Ekonomi Islam. (Jakarta : Rajawali Press PT. RAJAGRAFINDO PERSADA).
Mustafa Edwin Nasution dan Budi Setyanto. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. (Jakarta : Prenada Media Group).
Dr. Rozalinda, M. Ag. 2017. EKONOMI ISLAM Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. (Depok :  PT. RAJAGRAFINDO PERSADA).








[1]Sadono Sukirno. Pengantar Teori Mikroekonomi cet. 18. (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002), hlm, 185.
[2] Nur Rianto Al Arif. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. (SOLO : PT. Era Adicitra Intermedia, 2011), hlm, 162.
[3] P3EI UII. Ekonomi Islam. (Jakarta : Rajawali Press PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2008), hlm, 231.
[4] Mustafa Edwin Nasution dan Budi Setyanto. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. (Jakarta : Prenada Media Group, 2007), hlm, 102.
[5]M. Nur  Rianto Al Arif, M. Si. TEORI MIKROEKONOMI SUATU PERBANDINGAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONVENSIONAL Edisi Pertama. (Jakarta : KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2010), hlm, 158.
[6] Ibid. hlm, 243.
[7] Ibid, hlm, 252.
[8] Dr. Rozalinda, M. Ag. EKONOMI ISLAM Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. (Depok : PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2017), hlm, 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar