PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Produksi, distribusi dan konsumsi sesungguhnya merupakan
satu rangkaian kegiatan ekonomi yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya memang
saling memengaruhi, namun harus diakui produksi merupakan titik pangkal dari
kegiatan itu tidak akan ada ditribusi tanpa produksi dan juga tidak akan ada
barang dan jasa yang akan dikonsumsi bila tidak ada produksi. Orang yang
melakukan kegiatan produksi disebut produsen, teori perilaku produsen memiliki
banyak analogi dengan teori perilaku konsumen. Misalnya ketika konsumen
mengalokasikan dananya untuk aktivitas konsumsi maka produsen akan
mengalokasikan dananya untuk penggunaan faktor produksi atau yang akan diproses
menjadi output. Karena itu, bila
keseimbangan konsumen terjadi pada saat seluruh anggaran habis untuk konsumsi,
keseimbangan produsen tercapai pada saat seluruh anggaran habis terpakai untuk
membeli faktor produksi. Dan setiap produsen
akan berupaya mencapai tingkat produksi yang optimum.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian dan
Ruang lingkup Produksi ?
2.
Apa saja Tujuan
Produksi menurut Islam ?
3.
Apa saja Motivasi
Produsen dalam Produksi ?
4.
Bagaimana
Formulasi Mashlahah Produsen ?
5.
Apa saja Norma dan
Etika dalam Produksi ?
C.
Tujuan
Penulis
1.
Memahami
pengertian dan ruang lingkup
produksi
2.
Memahami tujuan produksi menurut islam
3.
Memahami motivasi produsen dalam produksi
- Mempelajari formulasi mashlahah
produsen
- Mengetahui norma dan etika dalam
produksi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan ruang lingkup produksi
Teori perilaku produsen memiliki
banyak analogi dengan teori perilaku konsumen.
misalnya ketika konsumen mengalokasikan dana nya untuk aktivitas
konsumsi, maka produsen akan
mengalokasikan dana nya untuk menggunakan faktor produksi atau yang akan
diproses menjadi output. Karena itu,
bila keseimbangan konsumen terjadi pada saat seluruh anggaran habis
untuk konsumsi, keseimbangan produsen tercapai pada saat seluruh anggaran habis
terpakai untuk membeli faktor produksi. Dan setiap produsen akan berupaya
mencapai tingkat produksi yang optimum.
Kegiatan produksi merupakan salah
satu aktivitas ekonomi yang sangat menunjang selain kegiatan konsumsi. Tanpa
kegiatan produksi, maka konsumen tidak akan dapat mengkonsumsi barang dan jasa
yang dibutuhkannya. Kegiatan produksi dan konsumsi adalah satu mata rantai yang
saling berkaitan dan tidak bisa saling di lepaskan. Jika dalam konsepsi ekonomi
Islam tujuan konsumen dalam mengonsumsi barang dan jasa untuk mendapatkan
maslahah, maka produsen dalam memproduksi barang dan jasa bertujuan yang dapat
memberikan maslahah. Jadi baik produksi maupun konsumen memiliki tujuan yang sama dalam kegiatan ekonomi yaitu
mencapai maslahah yang optimum.
Dalam kehidupan sehari-hari, apabila
kita mendengar kata produksi, maka yang terbayang di pikiran kita adalah suatu
kegiatan besar yang memerlukan perawatan yang serba canggih, serta menggunakan
ribuan tenaga kerja untuk mengerjakannya. Sebenarnya dugaan tersebut tidak
benar. Produksi artinya, kegiatan menambah nilai guna suatu barang atau jasa
untuk keperluan orang banyak. Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa, tidak semua kegiatan yang menambah nilai guna suatu barang
dapat dikatakan proses produksi. Contohnya, seorang ibu yang membuat kue untuk
keluarganya di rumah, maka kegiatan tersebut tidak dapat dikatakan proses
produksi karena, tujuannya bukan untuk masyarakat banyak.
Produksi adalah kegiatan yang
dilakukan manusia dalam menghasilkan suatu produk baik barang, maupun jasa yang
kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit
dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumsi sering kali dilakukan sendiri,
yaitu seseorang memproduksi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun, seiring
dengan semakin beragamnya kebutuhan dan keterbatasan sumber daya, maka seseorang
tidak dapat lagi memproduksi sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya,
sehingga ia membutuhkan pihak lain untuk memproduksi apa yang menjadi
kebutuhannya tersebut. Secara teknis produksi dapat diartikan sebagai suatu
proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam
ilmu ekonomi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter yang
melekat padanya.[1]
Dalam aktivitas produksinya, produsen
mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan hubungannya
dengan tingkat produksi, faktor produksi dibedakan menjadi faktor produksi
tetap (fixed input) dan variabel (variabel input). Faktor produksi tetap
adalah faktor produksi yang jumlah penggunaannya tidak tergantung pada jumlah
produksi. Ada atau tidak adanya kegiatan produksi, faktor produksi itu harus
tetap tersedia. Sementara jumlah penggunaan faktor produksi variabel tergantung
pada tingkat produksinya. Makin besar tingkat produksi, makin banyak faktor
produksi variabel yang digunakan.
Pengertian faktor produksi tetap dan
variabel, terkait erat dengan waktu yang dibutuhkan untuk menambah atau
mengurangi faktor produksi tersebut. Mesin dikatakan sebagai faktor produksi
tetap karena dalam jangka pendek (kurang dari setahun) susah untuk ditambah atau
dikurangi. Sementara buruh dikatakan faktor produksi variabel karena jumlah
kebutuhannya dapat disediakan dalam waktu kurang dari satu tahun. Dalam jangka
panjang (long run) dan sangat panjang
(very long run) semua faktor produksi
sifatnya variabel. Perusahaan dapat menambah atau mengurangi kapasitas
produksinya dengan menambah atau mengurangi mesin produksi. Teori produksi
tidak mendefinisikan jangka pendek dan jangka panjang secara kronologis.
Periode jangka pendek adalah periode produksi di mana perusahaan tidak mampu
dengan segera melakukan penyesuaian jumlah penggunaan salah satu atau beberapa
faktor produksi. Periode jangka panjang adalah periode produksi di mana semua
faktor produksi menjadi faktor produksi variabel.
Salah satu yang dilakukan dalam proses
produksi adalah menambah nilai guna suatu barang atau jasa. Dalam kegiatan
menambah nilai guna barang atau jasa ini, dikenal 5 jenis kegunaan, yaitu :
1. Guna
Bentuk, yang dimaksud dengan guna bentuk
yaitu, di dalam melakukan proses produksi, kegiatannya ialah mengubah bentuk
suatu barang sehingga barang tersebut mempunyai nilai ekonomis. Contohnya :
kayu yang diubah menjadi mebel baik berupa kursi, meja, maupun bentuk lainnya.
2. Guna
Jasa, adalah kegiatan produksi yang
memberikan pelayanan jasa. Contohnya : tukang becak, pangkas rambut, dan
pekerjaan lainnya yang memberikan pelayanan jasa.
3. Guna
Tempat, adalah kegiatan produksi yang
memanfaatkan tempat-tempat di mana suatu barang memiliki nilai ekonomis. Contoh
: pengangkutan pasir dari tempat yang pasirnya melimpah ke tempat dimana orang
membutuhkan pasir tersebut.
4. Guna
Waktu, kegiatan produksi yang
memanfaatkan waktu tertentu. Misalnya : pembelian beras yang dilakukan oleh
Bulog pada saat musim panen, dan dijual kembali pada saat masyarakat membutuhkan.
5. Guna
Milik, adalah kegiatan produksi yang memanfaatkan model yang dimiliki untuk
dikelola orang lain dan hasil tersebut ia mendapatkan keuntungan.[2]
Berdasarkan definisi diatas terlihat
bahwa kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi islam adalah terkait dengan
manusia dan eksistensinya dalam aktivitas ekonomi, meskipun setiap definisi
diatas memberikan penekanan dan elaborasi yang berbeda. Secara garis besar dari
masing-masing definisi adalah setiap kepentingan manusia yang sesuai dengan
aturan dan prinsip syariat harus menjadi target dari suatu kegiatan produksi,
di mana produksi adalah proses mencari, mengalokasikan, dan mengolah sumber
daya menjadi output dalam rangka meningkatkan dan memberi maslahah bagi
manusia.
B.
Tujuan
produksi menurut Islam
Tujuan kegiatan
produksi adalah meningkatkan kemaslahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai
bentuk diantaranya :
1. Pemenuhan
kebutuhan manusia pada tingkatan moderat, Tujuan produksi yang pertama sangat
jelas, yaitu pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat. Hal ini akan
menimbulkan dua implikasi yaitu pertama,
produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan, meskipun
belum tentu keinginan konsumen karena keinginan manusia sifatnya tidak terbatas
sehingga seringkali mengakibatkan ketidakjelasan antara keinginan dan apa yang
benar-benar menjadi kebutuhan hidupnya. Barang dan jasa yang dihasilkan harus
memiliki manfaat riil bagi kehidupan bukan sekedar memberikan kepuasan maksimum
saja. Dalam konsep maslahah, salah satu formula nya adalah harus memenuhi unsur
manfaat. Kedua, kuantitas produk yang
diproduksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar.
Produksi barang dan jasa secara berlebihan tidak saja menimbulkan mis-alokasi
dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan kemubaziran, tetapi juga menyebabkan
terkurasnya sumber daya secara cepat padahal sumber daya tersebut seringkali
jumlahnya terbatas.
2. Menemukan
kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya, Meskipun produsen hanya menyediakan
sarana kebutuhan manusia, namun hal ini bukan berarti produsen bersifat pasif
dan reaktif terhadap kebutuhan manusia, yang mau memproduksi hanya berdasarkan
permintaan konsumen. Produsen harus mampu menjadi sosok yang kreatif, proaktif,
dan inovatif dalam menemukan barang dan jasa apa yang menjadi kebutuhan manusia
dan kemudian memenuhi kebutuhan tersebut. Penemuan ini kemudian
disosialisasikan atau dipromosikan kepada konsumen sehingga konsumen
mengetahuinya. Sebab konsumen seringkali tidak mengetahui apa yang
dibutuhkannya di masa depan, sehingga produsen harus mampu melakukan inovasi
agar konsumen mengerti bahwasanya hal tersebut telah menjadi kebutuhan dalam
hidupnya. Sebagai contoh produksi air dalam kemasan baik gelas maupun botol,
pada awalnya konsumen tidak terbiasa dengan model minuman dalam kemasan, namun
karena inovasi dan pengembangan dari produsen pada akhirnya konsumen terbiasa
dengan minuman dalam kemasan tersebut.
3. Menyiapkan
persediaan barang/jasa dimasa depan, Sikap proaktif ini juga harus berorientasi
ke depan dalam artian : pertama,
harus mampu menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan di masa
mendatang. Sehingga seorang produsen dalam kerangka islami tidak akan mau
memproduksi barang-barang yang bertentangan dengan syariat, maupun barang yang
tidak memiliki manfaat riil kepada umat. Produsen harus mampu melakukan
pengembangan produk yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat dimasa depan. Kedua, menyadari bahwa sumber daya
ekonomi tidak hanya diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tetapi juga
untuk generasi mendatang. Orientasi ke depan ini akan mendorong produsen untuk
terus menerus melakukan riset dan pengembangan yang bertujuan sebagai efisiensi
dalam pengelolaan sumber daya ekonomi serta mencari teknologi produksi yang
ramah lingkungan. Implikasi dari aktivitas di atas adalah tersedianya secara
memadai berbagai kebutuhan bagi generasi mendatang, suatu konsep pembangunan
yang berkesinambungan.
4. Pemenuhan
sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah, Tujuan yang terakhir yaitu
pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah, dan inilah
tujuan produksi yang tidak akan mungkin dapat tercapai dalam ekonomi
konvensional yang bebas nilai. Tujuan produksi adalah mendapatkan berkah yang
secara fisik belum tentu dirasakan oleh produsen itu sendiri. Tujuan ini akan
membawa implikasi yang luas, sebab produksi tidak akan selalu menghasilkan
keuntungan materiil, namun harus mampu pula memberikan keuntungan bagi orang
lain dan agama. Saat ini pada sistem ekonomi konvensional berkembang pula mekanisme
corporate social responsibility (CSR)
sebagai sarana tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat. Namun,
mekanisme telah lebih dahulu terdapat dalam ekonomi Islam, dan dalam ekonomi
Islam mekanisme ini sudah built in
dengan sistem yang ada. Sehingga produsen yang islami akan mampu memaksimalkan
keuntungan materiil dan sekaligus memberikan keuntungan kepada masyarakat dan
agama.[3]
C.
Motivasi
produsen dalam berproduksi
Motivasi merupakan satu penggerak
dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Dalam ilmu ekonomi konvensional senantiasa mengusung
maksimalisasi keuntungan sebagai motivasi utama, meskipun sangat banyak
kegiatan produktif atas dasar definisi di atas yang memiliki motivasi lain dari
hanya sekedar memaksimalkan keuntungan. Motivasi untuk maksimalisasi kepuasan
dan maksimalisasi keuntungan yang menjadi pendorong utama sekaligus tujuan dari
keputusan ekonomi dalam pandangan ekonomi konvensional bukannya salah ataupun
dilarang dalam islam, tetapi islam ingin mendudukkannya pada posisi yang benar,
yakni semua itu dalam rangka maksimalisasi kepuasan dan keuntungan di akhirat.[4]
Kitab suci Al-qur'an menggunakan
konsep produksi barang dalam artian yang luas. Al-qur'an menekankan manfaat
dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan
dengan kebutuhan hidup manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk
memenuhi kebutuhan manusia, dan bukannya untuk memproduksi barang mewah secara
berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja
yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
Hal ini ditegaskan Al-qur'an yang tidak memperbolehkan produksi barang-barang
mewah yang berlebihan dalam keadaan apapun.
Namun demikian, secara jelas peraturan
ini memberikan kebebasan yang sangat luas bagi manusia untuk berusaha
memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi dalam memenuhi tuntutan kehidupan
ekonomi. Dengan memberikan landasan rohani bagi manusia sehingga sifat manusia
yang semula tamak dan mementingkan diri sendiri menjadi terkendali. Di dalam
QS. al-Ma'arij : 19, sifat-sifat alami manusia yang menjadi asas semua kegiatan
ekonomi diterangkan :
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir"". (QS. al-ma'arij
: 19).
Sifat ketamakan
manusia menjadikan keluh kesah, tidak sabar, dan gelisah dalam perjuangan
mendapatkan kekayaan dan dengan begitu memacu manusia untuk melakukan berbagai
aktivitas produktif. Manusia akan semakin giat memuaskan kehendaknya yang terus
bertambah, sehingga akibatnya manusia cenderung melakukan kerusakan di bidang
produksi.
Dalam ekonomi
konvesional, motivasi utama bagi produsen
adalah mencari keuntungan materiil (uang) secara maksimal sangat dominan,
meskipun saat ini sudah berkembang bahwasannya produsen tidak hanya bertujuan
mencari keuntungan maksimal semata. Namun tetap secara konsep tujuan produsen
dalam ekonomi konvensional selalu menitikberatkan pada penggandaan materi yang
akan didapat oleh perusahaan. Oleh karenanya, produsen adalah seorang profit seeker sekaligus profit maximizer. Strategi, konsep, dan
teknik berproduksi semuanya diarahkan untuk mencapai keuntungan maksimum, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Milton Friedman menunjukkan bahwa
satu-satunya fungsi bisnis adalah untuk melakukan aktivitas yang ditunjukkan
dalam rangka meningkatkan keuntungan. Isu yang kemudian berkembang menyertai
motivasi produsen ini adalah permasalahan etika dan tanggung jawab sosial
produsen.
Keuntungan maksimal telah menjadi sebuah insentif yang
teramat kuat bagi produsen untuk melaksanakan produksi. Akibatnya motivasi
untuk mencari keuntungan maksimal seringkali menyebabkan produsen mengabaikan
etika dan tanggung jawab sosial nya, meskipun mungkin tidak melakukan
pelanggaran hukum formal, misalnya dalam rangka menekan biaya dalam pengolahan
limbahnya, suatu pabrik membuang sisa hasil produksinya (limbah) ke sungai sehingga
menimbulkan pencemaran bagi warga sekitar. Atau seorang pengusaha di bidang
perhutanan yang menebang pohon tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap
kelestarian hutan terutama hutan sebagai penampung air yang pada jangka panjang
dapat menyebabkan bencana bagi manusia. Dampak dari kegiatan ekonomi yang
menimbulkan kemudaratan bagi pihak lain dalam bahasa ekonomi dikenal sebagai
eksternalitas negatif.
Dengan pandangan
ekonomi Islam, motivasi produsen semestinya sejalan dengan tujuan produksi dan
kehidupan produsen itu sendiri. Jika tujuan produksi adalah berupaya untuk
menyediakan kebutuhan materiil dan spiritual dalam menciptakan maslahah, maka
motivasi produsen tentu saja mencari maslahah, dimana hal ini juga sejalan
dengan tujuan kehidupan seorang muslim. Produsen dalam pandangan ekonomi islam adalah maslahah
maximizer, mencari keuntungan melalui
produksi dan kegiatan bisnis lain tidak dilarang sepanjang berada dalam mimpi
tujuan dan hukum islam, hal ini telah tercantum dalam rancang bangun ekonomi islam
di mana salah satunya adalah ma'ad atau return.
Namun, keuntungan
yang dicari bukanlah keuntungan eksploitatif yang bertujuan untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya dengan menetapkan keuntungan jauh di atas
keuntungan normal. Seorang produsen muslim akan berupaya mencari keuntungan
yang mampu memberikan kemaslahatan tidak hanya bagi dirinya sendiri, namun juga
bagi lingkungan sekitar termasuk konsumen.[5]
D.
Formulasi
Maslahah bagi produsen
Sebagaimana telah
dibahas sebelumnya maslahah terdiri dari dua komponen yaitu manfaat (fisik dan
non fisik) dan berkah. Dalam konteks produsen yang berorientasi kepada
keuntungan, maka manfaat ini dapat berupa keuntungan materiil. Keuntungan ini
bisa digunakan untuk maslahah lainnya seperti maslahah fisik, intelektual,
maupun sosial. Untuk itu rumusan maslahah bagi produsen adalah : Maslahah =
keuntungan + berkah, atau dapat dituliskan sebagai : M = π + B.
Di mana M menunjukkan maslahah, π
menunjukkan keuntungan, dan B adalah berkah. Produsen akan menggunakan proksi
yang sama dengan yang dipakai oleh konsumen dalam mengidentifikasi berkah yaitu
adanya pahala pada produk atau kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan
merupakan selisih antara pendapatan total (total
revenue (TR)) dan biaya totalnya (total
cost (TC)), π = TR – TC.[6]
Pada
prinsipnya berkah akan diperoleh apabila seorang produsen dalam menjalankan
bisnisnya menerapkan prinsip dan nilai syariat islam sehingga ia tidak akan mau
memproduksi yang bertentangan dengan prinsip syariat maupun tidak memberikan
kemaslahatan bagi umat. Namun hal ini, bukan berarti perusahaan tidak dapat
memperoleh keuntungan. Sebab seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwasannya
salah satu fondasi dasar dalam ekonomi islam adalah ma'ad (return). Meskipun, pada saat penerapan prinsip syariat ini sering
kali menimbulkan biaya ekstra yang relatif besar bila mengabaikannya sebagai
contoh yaitu pengolahan limbah hasil produksi. Akan tetapi di sisi lain, berkah
yang diterima merupakan kompensasi yang tidak secara langsung diterima produsen
atau berkah revenue (BR) dikurangi
dengan biaya untuk mendapatkan berkah tersebut atau berkah cost (BC), yaitu : B = BR – BC = –BC.
Dalam
persamaan tersebut penerimaan berkah
diasumsikan nilainya nol atau secara fisik tidak dapat diobservasi, karena
berkah memang seringkali tidak secara langsung selalu berwujud materiil. Dengan
demikian, maslahah sebagai didefinisikan pada persamaan sebelumnya dapat
ditulis kembali menjadi persamaan berikut : M = TR – TC – BC.
Dalam persamaan di atas, ekspresi
berkah, BC, menjadi faktor pengurang. Hal ini, masuk akal karena berkah tidak
bisa datang dengan sendirinya melainkan sebagai seorang muslim harus mencari
dan mengupayakannya sehingga kemungkinan itu akan timbul beban ekonomi dalam
rangka tersebut. Sebagai contoh, seorang produsen dilarang untuk
mengeksploitasi karyawannya dan harus memberikan hak-hak karyawan tersebut
sebelum kering keringatnya, meskipun kesempatan tersebut terbuka dan karyawan
tidak menyadarinya. Dengan mengeksploitasi karyawan melalui upah yang rendah
dapat meningkatkan efisiensi, namun sebagai seorang produsen muslim yang
berorientasi pada berkah maka hal tersebut tidak akan dilakukan, meskipun akan
berimbas pada biaya yang lebih tinggi. Produsen muslim tersebut harus rela
mengeluarkan ekstra biaya untuk memenuhi hak karyawannya, namun karena mereka
yakin bahwasanya tujuan mereka memproduksi adalah untuk mencari berkah maka mereka
pun ikhlas dalam melakukannya. Dampak karena kita memenuhi hak karyawan adalah,
tingkat loyalitas karyawan terhadap perusahaan yang tinggi, meningkatkan
produktivitas dan etos kerja, yang selanjutnya akan berimbas pada perusahaan
itu sendiri. Komitmen ini akan memberikan citra positif di masyarakat yang
berakibat pada apresiasi masyarakat terhadap produk perusahaan tersebut yang
diwujudkan dalam bentuk peningkatan permintaan masyarakat terhadap barang dan
jasa yang dihasilkan produsen. Sehingga upaya mencari berkah dalam jangka
pendek memang dapat menurunkan keuntungan, tetapi dalam jangka panjang
kemungkinan justru akan mampu meningkatkan keuntungan sebagai akibat
peningkatan permintaan di masyarakat.
Adanya biaya untuk mencari berkah
(BC) dalam proses produksi produsen muslim tentu akan membawa implikasi
terhadap harga barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Harga jual produk
adalah harga yang telah mengakomodasi pengeluaran berkah yaitu : BP
= P + BC.
Dengan demikian, rumusan maslahah
yang diekspresikan dalam persamaan sebelumnya akan berubah menjadi : M = BTR
– TC – BC.
Selanjutnya dengan pendekatan
matematis terhadap persamaan di atas maka bisa ditemukan pedoman yang bisa
digunakan oleh produsen dalam rangka untuk memaksimumkan maslahah atau optimum maslahah
condition yaitu menjadi : BPdQ = dTC – Dbc.
Jadi, optimum maslahah condition dari persamaan di atas menyatakan
bahwasannya maslahah akan maksimum jika nilai dari unit terakhir yang
diproduksi (BPdQ) sama dengan perubahan (tambahan) yang terjadi pada
biaya total (dTR) dan pengeluaran berkah total (dBC) pada unit terakhir yang
diproduksi. Jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ)
masih lebih besar dari pengeluarannya, dTC + dBC, maka produsen akan mempunyai
dorongan (insentif) untuk menambah jumlah produksi lagi. Hanya jika nilai unit
terakhir hanya cukup untuk membayar kompensasi yang dikeluarkan dalam rangka
memproduksi unit tersebut, dTC + dBC, maka tidak akan ada lagi dorongan bagi
produsen untuk menambah produksi. Dalam kondisi demikian produsen dikatakan
berada pada posisi keseimbangan (equilibrum)
atau optimal. Hal yang perlu diingat dalam proses produksi yang dilakukan
adalah mencari maslahah yang optimal dan bukan maslahah yang maksimal.[7]
E.
Norma
dan Etika dalam Produksi
Adapun nilai-nilai yang penting dalam
bidang produksi adalah :
1. Ihsan
dan Itqan (Sungguh-sungguh) dalam berusaha
Islam tidak hanya
memerintahkan manusia untuk bekerja dan mengembangkan hasil usahanya
(produktivitas), tetapi islam memandang setel usaha seseorang sebagai ibadah
kepada Allah dan jihad di jalan Allah. M. Abdul Mun'in al-jamal, dalam hal ini mengemukakan hal yang sama
bahwa usaha dan peningkatan produktivitas dalam pandangan islam adalah sebagai
ibadah, bahkan aktivitas perekonomian ini dipandang semulia-mulianya nilai.
Karena hanya dengan bekerja setiap individu dapat memenuhi hajat hidupnya,
hajat hidup keluarga, berbuat baik kepada karib kerabat, memberikan pertolongan
dan ikut berpartisipasi dalam mewujudkan kemaslahatan umum. Ini semua merupakan keutamaan-keutamaan yang
sangat di junjung tinggi agama. Karena amalan duniawi bukan hanya semata-mata
untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kemaslahatan seluruh umat manusia
sehingga amalan duniawi tersebut dapat bernilai ibadah di sisi Allah. Ihsan
dalam bekerja, bukan perkara sunat (nafilah) ataupun perkara fadilah, dan
sesuatu yang diwajibkan agama dan di bebankan bagi setiap Muslim.
2. Iman,
Taqwa, Maslahah, dan Istiqamah
Iman, taqwa dan
istiqomah merupakan pendorong yang sangat kuat untuk memperbesar produksi
melalui kerja keras dengan baik, ikhlas dan jujur dalam melakukan kegiatan
produksi yang dibutuhkan untuk kepentingan umat, agama dan dunia. Sebagai
implikasi dari iman, seorang mukmin tidak merasa cukup dengan melakukan
pekerjaan hanya sekadarnya saja, tetapi akan melakukan dengan sungguh-sungguh.
Mengarahkan segala kemampuannya untuk kebaikan adalah perintah Allah untuk
berbuat ihsan dalam setiap keadaan. Kemudian meyakini, bahwa Allah mengawasi
semua aktivitasnya dalam setiap situasi dan kondisi. Apabila seorang mukmin
bekerja dalam suatu perusahaan, tujuannya bukan hanya semata-mata untuk
mendapatkan hasil atau menyenangkan hati pemilik perusahaan agar dinaikkan gaji
atau jabatannya, melainkan juga karena keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasinya
sehingga ia bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh.
Semua nilai yang
sudah dipaparkan ini pada dasarnya mengacu pada nilai-nilai yang pokok dalam
ekonomi islam, yaitu amanah dan ikhlas dalam setiap aktivitas ekonomi. Namun,
fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat terlihat, bahwa sarana dan
prasarana yang diperuntukkan bagi kemaslahatan dan kepentingan umum rusak dan
terabaikan begitu saja. Banyak proyek-proyek negara yang telah direncanakan dan
diselesaikan dalam jangka waktu dengan anggaran biaya yang telah ditentukan
mengalami kegagalan atau kualitasnya yang tidak sesuai dengan perencanaan. Hal
itu terjadi karena hilangnya rasa amanah dan keikhlasan serta rusaknya hati
nurani dan rasa tanggung jawab dari pengelola proyek tersebut.
3. Bekerja
pada Bidang yang Dihalalkan Allah
Selanjutnya, akhlak utama yang harus diperhatikan seorang
muslim dalam bidang produksi secara pribadi maupun kolektif adalah bekerja pada
bidang yang di halalkan Allah. Oleh karena
itu, setiap usaha yang mengandung unsur kezaliman dan mengambil hak orang lain
dengan jalan yang batil, seperti mengurangi takaran dan timbangan dan
sebagainya, memperoleh sesuatu yang tidak diimbangi dengan kerja atau
pengorbanan yang setimpal seperti riba dan sejenisnya, harta yang dihasilkan
dari barang yang haram seperti khamar, atau bekerja di bidang pekerjaan yang
tidak dibenarkan menurut syariat seperti kerja di bar atau diskotik diharamkan
islam. Ali Abd ar-Rasul, berpendapat
bahwa seorang muslim wajib membatasi produksinya pada bidang-bidang yang halal.
Karena itu, seorang muslim diharamkan
melakukan produksi di bidang-bidang yang diharamkan. Dalam konteks ini, Ali Abd ar-Rasul sangat
menekankan perlunya keseimbangan pada seluruh aktivitas produksi dengan tetap
memelihara kebaikan dan kemaslahatan umat.
Dalam sistem
ekonomi kapitalis ataupun sosialis tidak mengenal batas-batas halal dan haram,
hanya mementingkan segi keuntungan semata, tanpa memperhatikan apakah yang
diproduksi itu bermanfaat atau memudaratkan, sesuai dengan norma atau tidak.
Dalam sistem ekonomi islam, seorang muslim tidak diperbolehkan menanam sesuatu
yang memabukkan seperti hasysyi (ganja) atau yang memudaratkan seperti
tembakau. Terkait dengan masalah ini, tidak berbeda dengan ulama lainnya,
seperti Abu al-A'la al-Maududi yang mengharamkan usaha mencari penghidupan yang
meruntuhkan akhlak dan merusak ketertiban sosial. Diharamkan memproduksi segala
sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang dapat melucuti
identitas umat, mengguncang nilai-nilai agama dan akhlak, menyibukkan diri pada
hal yang sia-sia, dan menjauhkan diri dari kebenaran, seperti memproduksi film
atau video porno, iklan, dan foto dan gambar porno ataupun hiburan lainnya yang
tidak sesuai dengan nilai akidah dan akhlak.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara teknis
produksi adalah mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi
dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Kegiatan produksi dalam
perspektif islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya yaitu
mengutamakan harkat kemuliaan manusia. Kegiatan produksi dalam perspektif
ekonomi muslim adalah terkait dengan manusia dan eksistensinya dalam aktivitas
ekonomi, meskipun setiap definisi diatas memberikan penekanan dan elaborasi
yang berbeda-beda. Secara garis besar dari masing-masing definisi adalah setiap
kepentingan manusia yang sesuai dengan aturan syariat harus menjadi target dari
suatu kegiatan produksi, di mana produksi adalah proses mencari, mengalokasikan
dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan mashlahah
bagi manusia. Produsen dalam pandangan ekonomi islam adalah mashlahah
maximizer. Mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain tidak
dilarang sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Maslahah bagi
produsen terdiri dari dua komponen yaitu keuntungan dan berkah.
B.
Saran
Dalam makalah ini penulis berkeinginan
memberikan saran kepada pembaca agar dapat memahami lebih jauh lagi teori
perilaku produsen sesuai dengan tuntutan islam dari berbagai narasumber dan
referensi lainnya karena dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa
masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik dari bentuk maupun isinya.
DAFTAR PUSTAKA
Sadono Sukirno.
2002. Pengantar Teori Mikroekonomi cet.
18. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada).
M. Nur Rianto Al
Arif, M. Si. 2010. TEORI MIKROEKONOMI
SUATU PERBANDINGAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONVENSIONAL Edisi Pertama. (Jakarta
: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP)
Nur Rianto Al Arif.
2011. Dasar-Dasar Ekonomi Islam.
(Solo : PT. Era Adicitra Intermedia).
P3EI UII. 2008. Ekonomi Islam. (Jakarta : Rajawali Press
PT. RAJAGRAFINDO PERSADA).
Mustafa Edwin Nasution dan Budi Setyanto.
2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. (Jakarta : Prenada Media Group).
Dr. Rozalinda, M.
Ag. 2017. EKONOMI ISLAM Teori dan
Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. (Depok : PT. RAJAGRAFINDO PERSADA).
[1]Sadono Sukirno. Pengantar Teori Mikroekonomi cet. 18.
(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002), hlm, 185.
[2] Nur Rianto Al Arif. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. (SOLO : PT.
Era Adicitra Intermedia, 2011), hlm, 162.
[3] P3EI UII. Ekonomi Islam. (Jakarta : Rajawali Press PT. RAJA GRAFINDO PERSADA,
2008), hlm, 231.
[4] Mustafa Edwin Nasution dan Budi
Setyanto. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam.
(Jakarta : Prenada Media Group, 2007), hlm, 102.
[5]M. Nur Rianto Al Arif, M. Si. TEORI MIKROEKONOMI SUATU PERBANDINGAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI
KONVENSIONAL Edisi Pertama. (Jakarta : KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2010),
hlm, 158.
[7] Ibid, hlm, 252.
[8] Dr. Rozalinda, M. Ag. EKONOMI ISLAM Teori dan Aplikasinya pada
Aktivitas Ekonomi. (Depok : PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2017), hlm, 127.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar