TEORI FENOMENOLOGI
Dosen Pembimbing : Ahmad Karmizi, M.A.
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Teori-Teori Sosial

OLEH KELOMPOK 7:
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan
penyusunan makalah Teori-Teori Sosial dengan judul "Teori Fenomenologi"
tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu
tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya.
Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi
para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah
ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana
ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.
Pekanbaru, 1 Novemver 2019
Kelompok 7
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................................ 1
C. Tujuan............................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 2
A.
PENGERTIAN.............................................................................................................. 2
B.
SEJARAH TEORI FENOMENOLOGI..................................................................... 3
C.
PEMAHAMAN TEORI FENOMENOLOGI............................................................ 7
D.
TOKOH-TOKOH TEORI FENOMENOLOGI...................................................... 11
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 16
A. Kesimpulan.................................................................................................................. 16
B. Kritik dan Saran......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah
fenomena sudah menjadi sebuah kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Namun
yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar kata yang sudah biasa di pakai
atau hanya sebuah istilah yang manjadi kata penghias dalam pembicaraan. atau
hanya pengalaman panca indra kita, yang kita ungkapkan kepada orang lain. Menurut kami pemakalah, sudah sepantasnyalah jika kita berbicara mengenai fenomenologi,
pasti tidak lepas dari suatu terminologi “what is it?” (Apa itu?).
Terdorong dari kemauan untuk memahami secara lebih mendalam tentang apa itu
fenomenologi. Pertanyaan inilah yang selalu “terngiang-ngiang” sehingga
mengantarkan kepada suatu pengertian yang mendalam mengenai konsep Fenomenologi.
B.
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud dengan teori fenomenologi?
2)
Bagaimana sejarah dari teori fenomenologi?
3)
Bagaimana pemahaman tentang teori
fenomenologi?
4)
Siapa saja tokoh-tokoh dalam teori
fenomenologi?
C.
Tujuan
1)
Mengetahui definisi dari teori fenomenologi.
2)
Mengetahui sejarah dari teori fenomenologi.
3)
Memahami teori dari fenomenologi.
4)
Mengetahui tokoh-tokoh dalam teori
fenomenologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Fenomenologi
secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang
berarti realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti
ilmu. Sehingga secara Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari
bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti
bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomologi
mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan
konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas.[1]
Secara
terminologi fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat mendapatkan
penjelasan tentang realitas yang tampak.Fenomena yang tampak adalah refleksi
dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang
memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat
mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
Jadi,
fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang
sudah menjadi, atau disiplin, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan
mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain,
fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita, dan bagaimana
penampakannya.
Secara filosofis, kata fenomenologi dikenalkan
ke masyarakat pertama kali oleh Hegel. Dalam bukunya yang berjudul
“Phenomenology of the Spirit”, fenomenologi Hegel sarat dengan metafisika yaitu
perbincangan tentang apa yang ada di balik penampakan. Begitu pula dengan
koonsep dari Kant yang tidak jauh berbeda dengan Hegel.
Menurut Kant, kajian tentang fenomena
menyisakan konsepsi tentang neumena yng tersembunyi. Pengetahuan manusia yang
terbatas mau tidak mau harus terbentur pada fenomena (penmpakan). Sedangkan
fenomenologi menurut Hussserl merupakan ilmu tentang penampakan (fenomena).
Artinya, semua perbincangan tentang esensi di balik penampakan dibuang jauh-jauh.
Jadi, pendapat Kant lebih condong ke neumena dan Husserl lebih kepada fenomena.
Menurut Husserl istilah fenomenologi ternyata
bertolak secara etimologis dari bahasa Yunani phainomenon (phainomai, menampkan
diri) dan logos (akal budi). Ilmu tentang penampkan berarti ilmu yang
menampakan diri ke pengalaman subjek. Tidak ada suatu penampakan yang tidak
dialami. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman
menjelaskannya sendiri dari dalam pengalaman itu sendiri.[2]
B. SEJARAH TEORI
FENOMENOLOGI
Ahli
matematika Jerman Edmund Husserl, dalam tulisannya yang berjudul Logical
Investigations (1900) mengawali sejarah fenomenologi. Fenomenologi sebagai
salah satu cabang filsafat, pertama kali dikembangkan di universitas-universtas
Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian di
lanjutkan oleh Martin Heidehher dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre.
Selanjutnya Sartre, Heidegger, dan Merleau-Ponty memasukkan ide-ide dasar
fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus dari
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar, atau jalan
kehidupan subjek-subjek sadar.
Seperti
telah disebutkan sebelumnya, bahwa fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai
menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi
sebagai nama teori tentang penampakan, yang menjadi dasar pengetahuan empiris
(penampakan yang diterima secara inderawi). Istilah fenomenologi itu sendiri
diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert, pengikut Christian Wolff. Sesudah
itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi
dalam tulisannya, seperti halnya Johann Gottlieb Fichte dan G.W.F. Hegel. Pada
tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif.
Dari sinilah awalnya Edmund Hesserl mengambil istilah fenomenologi untuk
pemikirannya mengenai “kesengajaan”.
Fenomenologi sebagai salah satu
cabang filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas
Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian
dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre.
Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide
dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan
kehidupan subjek-subjek sadar.[3]
Bagi seorang fenomenolog, kisah
seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun
aksioma. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang
tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa
juga disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan
Fenomenolog cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak
hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau
bahkan kesadaran hidup.
Pendekatan fenomenologis
memusatkan perhatian pada pengalaman subyektif. Pendekatan ini berhubungan
dengan pandangan pribadi mengenai dunia dan penafsiran mengenai berbagai
kejadian yang dihadapinya. Pendekatan tersebut mencoba memahami kejadian
fenomenal yang dialami individu tanpa adanya beban prakonsepsi.
Pendekatan fenomenologis meliputi yaitu:
1)
Pengamatan,
yaitu suatu replika dari benda di luar manusia yang intrapsikis, dibentuk
berdasar rangsang-rangsang dari obyek.
2)
Imajinasi,
yaitu suatu perbuatan (act) yang melihat suatu obyek yang absen atau sama
sekali tidak ada melalui suatu isi psikis atau fisik yang tidak memberikan
dirinya sebagai diri melainkan sebagai representasi dari hal yang lain. Dunia
imajinasi berdasa aktivitas suatu kesadaran.
3)
Berpikir
secara abstrak. Bidang yang sangat penting dalam hidup psikis manusia ialah
pikiran abstrak. Aristoteles berpendapat bahwa pikiran abstrak berdasarkan
pengamataan, tak ada hal yang dapat dipikirkan yang tidak dulu menjadi bahan.
Dengan menghilangkan ciri-ciri khas (abstraksi) terjadi kumpulan ciri-ciri
umum, yaitu suatu ide yang dapat dirumuskan dalam suatu defenisi.
4)
Merasa/menghayati.
Merasa ialah gejala lain dari kesadaran mengalami. Pengalaman tidak disadari
dengan langsung, sedangkan perasaan biasanya disadari. Merasa ialah gejala yang
lebih dekat pada diri manusia daripada pengamatan atau imajinasi.
Seperti yang telah disebutkan di
awal, bahwa sebagai sebuah aliran, fenomenologi diartikan sebagai: yang
menampakkan dirinya di dalam dirinya sendiri menurut adanya. Dengan demikian,
fenomenologi adalah merupakan refleksi mengenai pengalaman langsung dari setiap
tindakan secara intensif, yang berhubungan obyek. Tidak cukup sampai di situ,
fenomenologi ini juga menolak penggunaan kerangka teori sebagai langkah untuk
melakukan kajian ataupun penelitian, karena akan menjadikan hasil kajian atau
penelitian menjadi artifisial dan jauh dari sifat-sifat naturalnya.
Hal demikianlah yang menjadikan fenomenologi ini berbeda dengan aliran-aliran
filsat yang lain. Dan justeru karena ini pula, Penulis sangat setuju dengan
aliran fenomenologi yang berusaha memberikan kesempatan suatu obyek untuk
“berbicara sendiri”.[4]
Alasan lainnya adalah bahwa,
fenomenologi banyak digunakan oleh para pemikir-pemikir di abad modern ini.
Seperti misalnya Hasan Hanafi yang menggunakan pendekatan fenomenologi ini
untuk menganalisis realitas masyarakat, politik, ekonomi, realitas khazanah
Islam dan realitas tantangan Barat. Hasan Hanafi sendiri mengakui pentingnya
menggunakan metode fenomenologi sebagai pilihan metodologi yang tepat dalam
menganalisis Islam alternatif di Mesir.
Apa yang dikatakan Hassan Hanafi
tersebut memang tidak salah, sebab kaitannya dengan studi agama, pendekatan
fenomenologi ini digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang
lebih fundamental tentang fenomena keberagamaan manusia untuk memperoleh
“essensi” keberagamaan manusia serta struktur fundamental dari keberagamaan
manusia secara umum (universal, transendental dan inklusif), dan bukannya
gambaran keberagamaan manusia secara partikular-eksklusif.
C. PEMAHAMAN TEORI
FENOMENOLOGI
Menurut Husserl, fenomenologi adalah
pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal atau suatu studi tentang
kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Fenomenologi memiliki riwayat cukup panjang
dalam penelitian sosial, termasuk psikologi, sosiologi, dan pekerjaan sosial.
Fenomenologi adalah pandangan berpikir yang menekankan pada fokus interprestasi
dunia. Dalam hal ini, para peneliti fenomenologi ingin memahami bagaimana dunia
muncul kepada orang lain.
Fenomenologi menyelidiki pengalaman
kesadaran yang berhubungan dengan pertanyaan, seperti bagaimana pembagian
antara subjek dan objek muncul dan bagaimana suatu hal didunia ini
diklasifikasikan. Para fenomenolog juga berasumsi
bahwa kesadaran bukan dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu yang lainnya dirinya sendiri. Ada tiga
yang memengaruhi pandangan fenomenologi, yaitu Edmund Husserl, Alfred Schultz,
dan Weber. Weber memberi tekanan verstehen, yaitu pengertian dari interpretatif terhadap pemahaman
manusia. Fenomenologi dengan demikian merupakan salah satu teori yang menentang
paradigma yang menjadi mainstream dalam sosiologi, yakni struktural fungsional.
Filsuf Edmund Husserl (1859-1938) yang dikenal
sebagai founding father fenomenologi mengembangkan ide tentang dunia kehidupan
(lifeworld). Ia menggunakan filsafat fenomenologi untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya struktur pengalaman yang merupakan cara manusia mengorganisasi
realitasnya sehingga menjadi terintegrasi dan autentik. Bagi Husserl, dunia
kehidupan menyediakan dasar-dasar harmoni kultural dan aturan-aturan yang
menentukan kepercayaan-kepercayaan yang diterima apa adanya (taken forgranted)
dalam sebuah tata kelakuan sistematik.[5]
Fenomenologi secara esensial
merupakan perspektif modern tentang manusia dan dunianya. Gerakan filsafat sangat
dekat berhubungan dengan abad ke-20. Perspektif ini seperti semua gerakan-gerakan filsafat lainnya
dapat ditelusuri dari naskah-naskah kuno dan yang lebih penting lagi berakar dari filsafat skolastik abad pertengahan.
Meskipun demikian, para teori fenomenologi, ada umumnya berkiblat pada
karya-karya Edmund Husserl sebagai titik pijakan (point of departure), dan
Husserl mengulangi apa yang menjaadi perhatian Rene Descrates dan filsafat
sebelumnya sebagai permulaan perspektif fenomenologi secara meyakinkan.
Fenomenologi memfokuskan studinya
pada masyarakat berbasis makna yang dilekatkan oleh anggota. Apabila filsafat
Edmund Husserl yang memfokuskan pada pemahaman fenomena dunia, fenomenologi
yang diterapkan dalam sosiologi, khususnya Alfred schutz (1962) yang bekerja
sama dengan teori yang memegang teguh pragmatisme Mead, dan menjelaskan
mengenai sosiologi kehidupan sehari-hari. Schutz dan Mead, keduanya memfokuskan
pada proses sosialisasi yang menjadi “cadangan pengetahuan umum” (common
stock of knowledge) dari anggota masyarakat, kemampuan mereka berinteraksi
(perspektif resiprositas), dan relevansi pemahaman makna yang muncul dalam
kehidupan sehari-hari.
Fenomenologi merupakan perspektif
sosiologi yang concern pada kehidupan sehari-hari selain interaksionisme
simbolik, dramaturgi, teori labeling, ethnometodologi, sosiologi eksistensial,
dan sosiologi postmodern. Di antara persepektif-perspektif teoritis tersebut
terdapat ide yang sama, yakni dengan mempertahankan integritas fenomena.
Tugas utama fenomenologi sosial
adalah mendemonstrasikan interaksi resiprokal di antara proses-proses tindakan
manusia, penstrukturan situasional, dan konstruksi realitas. Tidak seperti kaum
positivis yang melihat setiap aspek sebagai suatu faktor kasual, fenomenolog
melihat bahwa semua dimensi sebagai pembentuk realitas. Biasanya, para
fenomenolog menggunakan istilahrefleksivitas untuk menandai cara ketika
dimensi-dimensi unsur pokok berfungsi, baik sebagai fondasi maupun konsekuensi
dari seluruh aspek kehidupan manusia. Tugas fenomenologi kemudian adalah untuk
mengungkapkan (menjadikan sebagai suatu yang
manifes) refleksivitas tindakan, situasi, dan realitas dalam berbagai
modal dari “ sesuatu yang ada di dunia”
(being in the world). Fenomenolog
memulai dengan suatu analisis sikap alamiah (natural attitude), hal ini
dipahami sebagai cara pada umumnya individu berpartsipasi dalam kehidupan
sosial, menggunakan pengetahuan yang
diterima apa adanya (taken for granted), mengasumsikan objektivitasnya, dan
melakukan tindakan yang sebelumnya telah ditentukan (direncanakan).
Bahasa, budaya, dan common sense
yang muncul dalam sikap alamiah merupakan ciri objektif dari dunia eksternal
yang dipelajari aktor dalam proses kehidupannya.
Fenomenologi merupakan teori
sosiologi yang mempunyai pengaruh yang luas. Dalam sosiologi kontemporer,
pengaruhnya dapat dilihat dari meningkatnya humanisasi, baik dalam kerangka
teori, metodologi riset, serta prosedur penilaian, dan model-model instruksional
dalam pendidikan. Pemikiran fenomenologi juga mempunyai pengaruh terhadap teori
postmodern, poststrukturalisme, situasinalisme, dan revleksivitas, yang menjadi
core fenomenologi juga dikena dalam teori-teori di atas.
Pendekatan Fenomenologi adalah metode
yang biasa diterapkan dalam kajian sosiologi untuk memahami dan menerangkan
sebuah fenomena sosial. Ditegaskan bahwa tugas utama sosiologi, adalah berupaya
memahami dan menjelaskan tetapi bukannya menghakimi aspek baik dan buruk maupun
benar atau salah.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa
fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu menunjuk ke luar
atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut
kesadaran Kita, karena selalu berada dalam kesadaran Kita. Maka dalam memandang
fenomena harus terlebih dahulu melihat penyaringan (ratio), sehingga
mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan
secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka
teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu
teori umum di luar substansi sesungguhnya.[6]
D. TOKOH-TOKOH
TEORI FENOMENOLOGI
1) Edmund Husserl
(1859-1938)[7]
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai
suatu metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk
melakukan itu, harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan
berusaha untuk kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat,
fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang
ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan
satu hal penting yaitu, penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda
(epoche) atau dikurung (bracketing) untuk
memahami fenomena. Pengetahuan yang kita miliki tentang fenomena itu harus kita
tinggalkan atau lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat menampakkan dirinya
sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa
kata kunci yang perlu diketahui. Diantaranya:
a)
Fenomena adalah realitas esensi atau dalam
fenomena terkandung pula nomena (sesuatu
yang berada di balik fenomena)
b)
Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau
rohani.
c)
Kesadaran adalah sesuatu yang intensional
(terbuka da terarah pada subjek
d)
Substansi adalah kongkret yang menggambarkan
isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus
melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari:
a)
Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring
pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud
semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu
dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
b)
Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau
penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang bukan eidos atau intisari atau
hakikat gejala atau fenomena.
c)
Reduksi transcendental, yaitu dalam
penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan kesadaran yang
murni.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu
fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat
juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak
perlu suatu peristiwa.[8]
2)
Max Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi
sama dengan cara tertentu untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita
mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman
fenomenologi).
Menurutnya
ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman filsafat.
Diantaranya:
a)
Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman
inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
b)
Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri
dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak.
c)
Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif
yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung.
3)
Martin Heidegger (1889-1976)
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi
dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal
yang ada di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan,
pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka
manusia harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya
seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak
pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi yang belum
teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok
Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia
mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang
kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan
dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan
posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa
mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak
ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul
seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan
apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita
yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang
menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu
melihat noumena dan phenoumena.
4)
Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang
filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman.
Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari
dua ekstrim yaitu:
·
Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian
tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita.
·
Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar dari pengalaman
tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl
bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat
mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia
mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa
syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang
dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi
saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam.
Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fenomenologi adalah suatu disiplin ilmu yang sangat berpengaruh
dalam kehidupan manusia. Fenomenologi merupakan suatu metode yang fokus pada
penampakan itu sendiri tanpa mencari esensi yang berada dibelakang penampakan
itu. Fenomenologi tidak memperdulikan dan membuang jauh-jauh asumsi yag berada
diluar penampakan itu sendiri.
Fenomenologi telah menginspirasi para filosof dalam menemukan
penemuan-penemuan baru mereka, seperti dalam bidang sosiologi, psikologi,
antropologi dan yang lainnya. Fenomenologi juga menghasilkan varian dalam
fenomenologi itu sendiri, seperti halnya Hegel yang membahas fenomenologi itu
merupakan apa yang ada di balik penampakan itu sendiri.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang “Teori Fenomenologi” yang telah Kami paparkan. Kami menyadari
makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari
pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami, semoga makalah ini
dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Maksum, Pengantar filsafat; dari Masa klasik hingga Postmodern,
(Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011).
Bernard
Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono Soemargono
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988).
Donny
Gahral Adian, 2006, Percik Pemikiran Kontemporer.
Engkus Kuswarno, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi: Konsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitiannya. (Bandung:
Widya Padjadjaran, 2009).
K.
Bertens. Filsafat Barat Abad XX:
Inggris-Jerman (Jakarta:
Gramedia, 1981).
Moustakas
Clark, Phenomenological Research Methods. (California: Sage, 1987).
[1] K. Bertens. Filsafat Barat Abad XX:
Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm.
109
[2] Donny Gahral Adian, 2006, Percik Pemikiran
Kontemporer, hlm. 139-140.
[3] Engkus Kuswarno, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi: Konsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitiannya. (Bandung:
Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 34-45.
[4] K. Bertens,
Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 90.
[5] Moustakas
Clark, Phenomenological Research Methods. (California: Sage, 1987), hlm. 87.
[6] Bernard
Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono Soemargono
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), hlm. 75.
[7] Ali Maksum, Pengantar filsafat; dari Masa klasik
hingga Postmodern, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011), hlm. 368.
[8] Ibid., hlm.192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar