Rabu, 13 Mei 2020

Teori Fenomenologi - Makalah Teori Sosial

TEORI FENOMENOLOGI

 

Dosen Pembimbing : Ahmad Karmizi, M.A.

 

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Teori-Teori Sosial

 

 

 

 

 

 

 

OLEH KELOMPOK 7:

 

MUHAMMAD MAULADI 

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2019/2020


 

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Teori-Teori Sosial dengan judul "Teori Fenomenologi" tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

 

 

Pekanbaru, 1 Novemver 2019

 

 

Kelompok 7

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1

A.    Latar Belakang.............................................................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah........................................................................................................ 1

C.    Tujuan............................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 2

A.     PENGERTIAN.............................................................................................................. 2

B.      SEJARAH TEORI FENOMENOLOGI..................................................................... 3

C.     PEMAHAMAN TEORI FENOMENOLOGI............................................................ 7

D.     TOKOH-TOKOH TEORI FENOMENOLOGI...................................................... 11

BAB III PENUTUP................................................................................................................. 16

A.    Kesimpulan.................................................................................................................. 16

B.     Kritik dan Saran......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Istilah fenomena sudah menjadi sebuah kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar kata yang sudah biasa di pakai atau hanya sebuah istilah yang manjadi kata penghias dalam pembicaraan. atau hanya pengalaman panca indra kita, yang kita ungkapkan kepada orang lain. Menurut kami pemakalah, sudah sepantasnyalah jika kita berbicara mengenai fenomenologi, pasti tidak lepas dari suatu terminologi “what is it?” (Apa itu?). Terdorong dari kemauan untuk memahami secara lebih mendalam tentang apa itu fenomenologi. Pertanyaan inilah yang selalu “terngiang-ngiang” sehingga mengantarkan kepada suatu pengertian yang mendalam mengenai konsep Fenomenologi.

 

B.     Rumusan Masalah

1)      Apa yang dimaksud dengan teori fenomenologi?

2)      Bagaimana sejarah dari teori fenomenologi?

3)      Bagaimana pemahaman tentang teori fenomenologi?

4)      Siapa saja tokoh-tokoh dalam teori fenomenologi?

 

C.     Tujuan

1)      Mengetahui definisi dari teori fenomenologi.

2)      Mengetahui sejarah dari teori fenomenologi.

3)      Memahami teori dari fenomenologi.

4)      Mengetahui tokoh-tokoh dalam teori fenomenologi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN

Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas.[1]

Secara terminologi fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak.Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita, dan bagaimana penampakannya.

Secara filosofis, kata fenomenologi dikenalkan ke masyarakat pertama kali oleh Hegel. Dalam bukunya yang berjudul “Phenomenology of the Spirit”, fenomenologi Hegel sarat dengan metafisika yaitu perbincangan tentang apa yang ada di balik penampakan. Begitu pula dengan koonsep dari Kant yang tidak jauh berbeda dengan Hegel.

Menurut Kant, kajian tentang fenomena menyisakan konsepsi tentang neumena yng tersembunyi. Pengetahuan manusia yang terbatas mau tidak mau harus terbentur pada fenomena (penmpakan). Sedangkan fenomenologi menurut Hussserl merupakan ilmu tentang penampakan (fenomena). Artinya, semua perbincangan tentang esensi di balik penampakan dibuang jauh-jauh. Jadi, pendapat Kant lebih condong ke neumena dan Husserl lebih kepada fenomena.

Menurut Husserl istilah fenomenologi ternyata bertolak secara etimologis dari bahasa Yunani phainomenon (phainomai, menampkan diri) dan logos (akal budi). Ilmu tentang penampkan berarti ilmu yang menampakan diri ke pengalaman subjek. Tidak ada suatu penampakan yang tidak dialami. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dalam pengalaman itu sendiri.[2]

 

B.     SEJARAH TEORI FENOMENOLOGI

Ahli matematika Jerman Edmund Husserl, dalam tulisannya yang berjudul Logical Investigations (1900) mengawali sejarah fenomenologi. Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat, pertama kali dikembangkan di universitas-universtas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian di lanjutkan oleh Martin Heidehher dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre, Heidegger, dan Merleau-Ponty memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus dari eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar, atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan, yang menjadi dasar pengetahuan empiris (penampakan yang diterima secara inderawi). Istilah fenomenologi itu sendiri diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert, pengikut Christian Wolff. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya, seperti halnya Johann Gottlieb Fichte dan G.W.F. Hegel. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif. Dari sinilah awalnya Edmund Hesserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.

Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya  Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar.[3]

Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran hidup.

Pendekatan fenomenologis memusatkan perhatian pada pengalaman subyektif. Pendekatan ini berhubungan dengan pandangan pribadi mengenai dunia dan penafsiran mengenai berbagai kejadian yang dihadapinya. Pendekatan tersebut mencoba memahami kejadian fenomenal yang dialami individu tanpa adanya beban prakonsepsi. Pendekatan fenomenologis meliputi yaitu:

1)      Pengamatan, yaitu suatu replika dari benda di luar manusia yang intrapsikis, dibentuk berdasar rangsang-rangsang dari obyek.

2)      Imajinasi, yaitu suatu perbuatan (act) yang melihat suatu obyek yang absen atau sama sekali tidak ada melalui suatu isi psikis atau fisik yang tidak memberikan dirinya sebagai diri melainkan sebagai representasi dari hal yang lain. Dunia imajinasi berdasa aktivitas suatu kesadaran.

3)      Berpikir secara abstrak. Bidang yang sangat penting dalam hidup psikis manusia ialah pikiran abstrak. Aristoteles berpendapat bahwa pikiran abstrak berdasarkan pengamataan, tak ada hal yang dapat dipikirkan yang tidak dulu menjadi bahan. Dengan menghilangkan ciri-ciri khas (abstraksi) terjadi kumpulan ciri-ciri umum, yaitu suatu ide yang dapat dirumuskan dalam suatu defenisi.

4)      Merasa/menghayati. Merasa ialah gejala lain dari kesadaran mengalami. Pengalaman tidak disadari dengan langsung, sedangkan perasaan biasanya disadari. Merasa ialah gejala yang lebih dekat pada diri manusia daripada pengamatan atau imajinasi.

Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa sebagai sebuah aliran, fenomenologi diartikan sebagai: yang menampakkan dirinya di dalam dirinya sendiri menurut adanya. Dengan demikian, fenomenologi adalah merupakan refleksi mengenai pengalaman langsung dari setiap tindakan secara intensif, yang berhubungan obyek. Tidak cukup sampai di situ, fenomenologi ini juga menolak penggunaan kerangka teori sebagai langkah untuk melakukan kajian ataupun penelitian, karena akan menjadikan hasil kajian atau penelitian menjadi artifisial dan jauh dari sifat-sifat naturalnya. Hal demikianlah yang menjadikan fenomenologi ini berbeda dengan aliran-aliran filsat yang lain. Dan justeru karena ini pula, Penulis sangat setuju dengan aliran fenomenologi yang berusaha memberikan kesempatan suatu obyek untuk “berbicara sendiri”.[4]

Alasan lainnya adalah bahwa, fenomenologi banyak digunakan oleh para pemikir-pemikir di abad modern ini. Seperti misalnya Hasan Hanafi yang menggunakan pendekatan fenomenologi ini untuk menganalisis realitas masyarakat, politik, ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat. Hasan Hanafi sendiri mengakui pentingnya menggunakan metode fenomenologi sebagai pilihan metodologi yang tepat dalam menganalisis Islam alternatif di Mesir.   

Apa yang dikatakan Hassan Hanafi tersebut memang tidak salah, sebab kaitannya dengan studi agama, pendekatan fenomenologi ini digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang fenomena keberagamaan manusia untuk memperoleh “essensi” keberagamaan manusia serta struktur fundamental dari keberagamaan manusia secara umum (universal, transendental dan inklusif), dan bukannya gambaran keberagamaan manusia secara partikular-eksklusif.

 

C.     PEMAHAMAN TEORI FENOMENOLOGI

Menurut Husserl, fenomenologi adalah pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal atau suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Fenomenologi memiliki riwayat cukup panjang dalam penelitian sosial, termasuk psikologi, sosiologi, dan pekerjaan sosial. Fenomenologi adalah pandangan berpikir yang menekankan pada fokus interprestasi dunia. Dalam hal ini, para peneliti fenomenologi ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain.

Fenomenologi menyelidiki pengalaman kesadaran yang berhubungan dengan pertanyaan, seperti bagaimana pembagian antara subjek dan objek muncul dan bagaimana suatu hal didunia ini diklasifikasikan. Para fenomenolog juga berasumsi bahwa kesadaran bukan dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu yang lainnya dirinya sendiri. Ada tiga yang memengaruhi pandangan fenomenologi, yaitu Edmund Husserl, Alfred Schultz, dan Weber. Weber memberi tekanan verstehen, yaitu pengertian dari interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi dengan demikian merupakan salah satu teori yang menentang paradigma yang menjadi mainstream dalam sosiologi, yakni struktural fungsional. Filsuf Edmund Husserl (1859-1938) yang dikenal sebagai founding father fenomenologi mengembangkan ide tentang dunia kehidupan (lifeworld). Ia menggunakan filsafat fenomenologi untuk mengetahui bagaimana sebenarnya struktur pengalaman yang merupakan cara manusia mengorganisasi realitasnya sehingga menjadi terintegrasi dan autentik. Bagi Husserl, dunia kehidupan menyediakan dasar-dasar harmoni kultural dan aturan-aturan yang menentukan kepercayaan-kepercayaan yang diterima apa adanya (taken forgranted) dalam sebuah tata kelakuan sistematik.[5]

Fenomenologi secara esensial merupakan perspektif modern tentang manusia dan dunianya. Gerakan filsafat sangat dekat berhubungan dengan abad ke-20. Perspektif ini seperti semua gerakan-gerakan filsafat lainnya dapat ditelusuri dari naskah-naskah kuno dan yang lebih penting lagi berakar dari filsafat skolastik abad pertengahan. Meskipun demikian, para teori fenomenologi, ada umumnya berkiblat pada karya-karya Edmund Husserl sebagai titik pijakan (point of departure), dan Husserl mengulangi apa yang menjaadi perhatian Rene Descrates dan filsafat sebelumnya sebagai permulaan perspektif fenomenologi secara meyakinkan.

Fenomenologi memfokuskan studinya pada masyarakat berbasis makna yang dilekatkan oleh anggota. Apabila filsafat Edmund Husserl yang memfokuskan pada pemahaman fenomena dunia, fenomenologi yang diterapkan dalam sosiologi, khususnya Alfred schutz (1962) yang bekerja sama dengan teori yang memegang teguh pragmatisme Mead, dan menjelaskan mengenai sosiologi kehidupan sehari-hari. Schutz dan Mead, keduanya memfokuskan pada proses sosialisasi yang menjadi “cadangan pengetahuan umum” (common stock of knowledge) dari anggota masyarakat, kemampuan mereka berinteraksi (perspektif resiprositas), dan relevansi pemahaman makna yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Fenomenologi merupakan perspektif sosiologi yang concern pada kehidupan sehari-hari selain interaksionisme simbolik, dramaturgi, teori labeling, ethnometodologi, sosiologi eksistensial, dan sosiologi postmodern. Di antara persepektif-perspektif teoritis tersebut terdapat ide yang sama, yakni dengan mempertahankan integritas fenomena.


Tugas utama fenomenologi sosial adalah mendemonstrasikan interaksi resiprokal di antara proses-proses tindakan manusia, penstrukturan situasional, dan konstruksi realitas. Tidak seperti kaum positivis yang melihat setiap aspek sebagai suatu faktor kasual, fenomenolog melihat bahwa semua dimensi sebagai pembentuk realitas. Biasanya, para fenomenolog menggunakan istilahrefleksivitas untuk menandai cara ketika dimensi-dimensi unsur pokok berfungsi, baik sebagai fondasi maupun konsekuensi dari seluruh aspek kehidupan manusia. Tugas fenomenologi kemudian adalah untuk mengungkapkan (menjadikan sebagai suatu yang manifes) refleksivitas tindakan, situasi, dan realitas dalam berbagai modal dari “ sesuatu yang ada di dunia” (being in the world). Fenomenolog memulai dengan suatu analisis sikap alamiah (natural attitude), hal ini dipahami sebagai cara pada umumnya individu berpartsipasi dalam kehidupan sosial, menggunakan  pengetahuan yang diterima apa adanya (taken for granted), mengasumsikan objektivitasnya, dan melakukan tindakan yang sebelumnya telah ditentukan (direncanakan).


Bahasa, budaya, dan common sense yang muncul dalam sikap alamiah merupakan ciri objektif dari dunia eksternal yang dipelajari aktor dalam proses kehidupannya.

Fenomenologi merupakan teori sosiologi yang mempunyai pengaruh yang luas. Dalam sosiologi kontemporer, pengaruhnya dapat dilihat dari meningkatnya humanisasi, baik dalam kerangka teori, metodologi riset, serta prosedur penilaian, dan model-model instruksional dalam pendidikan. Pemikiran fenomenologi juga mempunyai pengaruh terhadap teori postmodern, poststrukturalisme, situasinalisme, dan revleksivitas, yang menjadi core fenomenologi juga dikena dalam teori-teori di atas.

Pendekatan Fenomenologi adalah metode yang biasa diterapkan dalam kajian sosiologi untuk memahami dan menerangkan sebuah fenomena sosial. Ditegaskan bahwa tugas utama sosiologi, adalah berupaya memahami dan menjelaskan tetapi bukannya menghakimi aspek baik dan buruk maupun benar atau salah.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu menunjuk ke luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran Kita, karena selalu berada dalam kesadaran Kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya.[6]

 

D.    TOKOH-TOKOH TEORI FENOMENOLOGI

1)      Edmund Husserl (1859-1938)[7]

Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.

Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu hal penting yaitu, penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung (bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang kita miliki tentang fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat menampakkan dirinya sendiri.

Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui. Diantaranya:

a)      Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena)

b)      Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.

c)      Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek

d)      Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.

Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari:

a)      Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.

b)      Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.

c)      Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan kesadaran yang murni.

Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa.[8]

2)      Max Scheller (1874-1928)

Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).

Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman filsafat. Diantaranya:

a)      Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.

b)      Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak.

c)      Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung.

3)      Martin Heidegger (1889-1976)

Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan.

Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi yang belum teraktualisasikan.

Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.

4)       Maurice Merlean-ponty (1908-1961)

Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu:

·         Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita.

·         Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.

Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran.

Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Fenomenologi adalah suatu disiplin ilmu yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Fenomenologi merupakan suatu metode yang fokus pada penampakan itu sendiri tanpa mencari esensi yang berada dibelakang penampakan itu. Fenomenologi tidak memperdulikan dan membuang jauh-jauh asumsi yag berada diluar penampakan itu sendiri.

Fenomenologi telah menginspirasi para filosof dalam menemukan penemuan-penemuan baru mereka, seperti dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi dan yang lainnya. Fenomenologi juga menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri, seperti halnya Hegel yang membahas fenomenologi itu merupakan apa yang ada di balik penampakan itu sendiri.

 

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah tentang “Teori Fenomenologi” yang telah Kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.


 


DAFTAR PUSTAKA

Ali Maksum, Pengantar filsafat; dari Masa klasik hingga Postmodern,

(Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011).

Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono Soemargono

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988).

Donny Gahral Adian, 2006, Percik Pemikiran Kontemporer.

Engkus Kuswarno, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitiannya. (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009).

K. Bertens. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1981).

Moustakas Clark, Phenomenological Research Methods. (California: Sage, 1987).

 



[1] K. Bertens. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 109

[2] Donny Gahral Adian, 2006, Percik Pemikiran Kontemporer, hlm. 139-140.

[3] Engkus Kuswarno, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitiannya. (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 34-45.

[4] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 90.

[5] Moustakas Clark, Phenomenological Research Methods. (California: Sage, 1987), hlm. 87.

[6] Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), hlm. 75.

[7] Ali Maksum, Pengantar filsafat; dari Masa klasik hingga Postmodern, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011), hlm. 368.

[8]  Ibid., hlm.192.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar