TEORI ETNOMETODOLOGI
Dosen Pembimbing : Ahmad Karmizi, M.A.
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Teori-Teori Sosial

OLEH KELOMPOK 8:
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan
penyusunan makalah Teori-Teori Sosial dengan judul "Teori Etnometodologi"
tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu
tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya.
Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi
para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah
ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana
ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.
Pekanbaru, 1 Novemver 2019
Kelompok 8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................................ 1
C. Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A.
PENGERTIAN.............................................................................................................. 3
B.
SEJARAH
SINGKAT TEORI ETNOMETODOLOGI........................................... 6
C.
KONSEP-KONSEP DASAR ETNOMETODOLOGI............................................ 10
D.
KETEGANGAN DAN TEKANAN
DALAM ETNOMETODOLOGI.................. 12
E. KEBERAGAMAN TEORI ETNOMETODOLOGI............................................... 13
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 19
A. Kesimpulan.................................................................................................................. 19
B. Kritik dan Saran......................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan yang sifatnya
dinamis ini, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa lepas dari
individu-individu yang lain. Sehingga mereka akan selalu bersentuhan dengan
indvidu lainnya, dengan kelompok individu, bahkan antara kelompok individu
dengan kelompok individu yang lain, atau dalam dunia sosial lebih dikenal
dengan istilah Interaksi Sosial. Interaksi sosial yang terbangun
melahirkan gejala-gejala sosial (fakta sosial) dalam kehidupan masyarakat. Ilmu
sosial hadir dengan tujuan untuk membangun pemahaman atas setiap fakta sosial
yang terjadi ditengah masyarakat. Pemahaman tersebut dapat ditempuh melalui
pengamatan sosial. Pengamatan sosial tidak hanya dilakukan dengan satu cara dan
dari satu sudut pandang sosial saja, sehinggan hal ini kemudian melahirkan
banyak metodologi yang dapat dipergunakan dalam melakukan pengamatan sosial.
Diantara metodologi yang ada salah satunya adalah Etnometodologi.
Etnometodologi sebagai sebuah cabang
studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan
(lebenswelt) dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh
beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi,
etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi
sebelumnya yaitu fenomenologi.
B. Rumusan Masalah
1) Apa yang
dimaksud dengan teori Etnometodologi?
2) Bagaimana
sejarah dari teori Etnometodologi?
3) Apa saja konsep-konsep dasar Etnometodologi?
4) Bagaimana ketegangan dan tekanan dalam Etnometodologi?
5) Bagaimana keberagaman dalam teori Etnometodologi?
C. Tujuan
1) Mengetahui pengertian secara bahasa dan
istilah dari teori
Etnometodologi.
2) Mengetahui
sejarah dari teori Etnometodologi.
3) Memahami konsep-konsep dasar Etnometodologi.
4) Memahami ketegangan dan tekanan dalam Etnometodologi.
5) Memahami keberagaman dalam teori Etnometodologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Istilah Etnometodologi
(ethnomethodolgy) berasal dari bahasa Yunani yang berarti metode, yang
digunakan orang dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Etnometodologi pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan berdasarkan akal
sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya
maasyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan
situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri.[1]
Pemahaman lebih mendalam
tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa didapatkan dengan meneliti upaya
pendirinya Harold Garfinkel untuk mendefinisikannya. Sebagaimana Durkheim,
Garfinkel menganggap fakta sosial sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun
fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut
Durkehim. Menurut Durkheim, fakta sosial berada diluar dan memaksa individu.
Pandangan ini cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan
pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak mempunyai kebebasan
untuk memuat pertimbangan. Sebaliknya etnometodologi membicarakan obyektivitas
fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologis
anggota. Dengan kata lain etnometodologi memusatkan perhatian pada organisasi
organisasi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Etnometodologi bukanlah
makrosoiologi dalam arti yang dimaksud Durkheim, tetapi bukan juga sebagai
mikrososiologi. Sehingga etnometodologi memusatkan perhatian pada aktivitas sehari-hari
individu.[2]
Etnometodologi memiliki tiga dasar asumsi,
yakni:
1.
Kehidupan sosial pada dasarnya tidak pasti; namun,
2.
Para pelaku tidak menyadari hal ini, karena
3. Tanpa
mereka ketahui, mereka memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat dunia
nampak sebagai tempat yang teratur.
Kita mulai dengan
definisi etnometodologi studi tentang “Kumpulan pengetahuan
berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang
dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak
berdasarkan situasi di mana mereka menemukan dirinya sendiri”.[3]
Pemahaman lebih mendalam
tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa kita dapatkan dengan meneliti
upaya pendirinya, Garfinkel (1988, 1991), untuk mendefinisikannyaseperti Durkheim,
Garfinkel menganggap “Fakta sosial” sebagai fenomena
sosiologi fundamental. Namun, fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda
dari fakta sosial menurut Durkheim.menurut Duekheim, fakta sosial berada di
luar dan memaksa individu. Pakar yang menerima pemikiran demikin cenderung
melihat actor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan
sedikit sekali kemampuannya atau tak mempunyai kebebasan untuk membuat
pertimbangan. Seperti sosiolog, pakar etnometodologi cenderung membicarakan
actor seperti “si tolol yang memberikan pertimbangan”.[4]
Sebaliknya
etnometodologi membicarakan objektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota
(definisi anggota segera menyusul) sebagai produk aktivitas metodologis
anggota. Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi sebagai berikut:
Realitas objektif fakta
sosial bagi etnometodologi adalah fenomena fundamental sosiologi karena
merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir
secara alamiah, terus-menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan
menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, menyembunyikan diri,
melampaui, atau menunda.[5]
Salah satu pendirian
kunci Garfinkel mengenai etnometodologi adalah bahwa mereka “dapat dijelaskan
secara reflektif”. Penjelasan adalah cara actor malakukan sesuatu seperti
mendeskripsikan, mengkritik, dan mengidealisasikan situasi tertentu. Penjelasan
(acaunnting) adalah proses yang dilalui actor dalam memberikan
penhelasan untuk memahami dunia. Pakar etnometodologi menekankan perhatian
untuk menganalisis penjelasan actor maupun cara-cara penjelasan diberikan dan
diterima (atau ditolak) oleh orang lain. Inilah salah satu alasan mengapa pakar
etnometodologi memustkan perhatian dalam mengalisis percakapan. Satu contoh,
ketika seorang maahasiswa menerangkan kepada profesornya mengapa ia gagal
mengambil ujian, ia sebenarnya memberikan suatu penjelasan. Mahasiswa itu
mencoba mengemukakan pemikiran mengenai suatu peristiwa kepada profesornya.
Pakar etnometodologi tertarik pada sifat dasar panjelasan itu, dan lebih umum
lagi, pada praktik penjelasan yang dengannya mahasiswa memberikan penjelasan
dan profesor menerima atau menolak. Dalam menganalisis penjelasan, pakar
etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan metodologis. Artinya
mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis
penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan
dalam tindakan praktis.[6]
B.
SEJARAH
SINGKAT TEORI ETNOMETODOLOGI
Istilah etnometodologi (ethomethodology), yang berakar pada bahasa Yunani
berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan
sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai
penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus. Manusia dipandang
rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, mereka
menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formula.
Etnometodologi sendiri
adalah suatu studi tentang praktek sosail keseharian yang diterima secara taken
for granted berdasarkan akal sehat (common sense). Etnometodologi mulai
berkembang di tahun 1950 dengan tokoh penggagasnya adalah Harold Garfinkel.
Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal
oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal
1970-an.[7]
Garfinkel memunculkan
etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan
sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti.
Penelitian konvesional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi dan kategori
yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan sosial menurut
situasi di mana kenyataan sosial tersebut berlangsung.
Garfinkel
sendiri medefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas
ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai
kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan
sehari-hari yang terorganisir. Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi
sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan
dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja,
asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti
dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari
kehidupan sehari-hari.[8]
Dalam prakteknya,
etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui
simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan
penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang
keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan
orang-orang tersebut. Seementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel
melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari
beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan
responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang
pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi
orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan
pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam
kehidupan sehari-harinya.
Pada latihan subersif,
seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan pertama (responsif) adalah
meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para
familinya lalu membuat tanggapannya.
Latihan kedua (provokatif)
dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan
memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut.
Sementara latihan ketiga (suberrsif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal
di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat
latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak
pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk
mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing
orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi
sedemikian.
Sesudah Grafinkel
muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi di antaranya
Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D.
Lawrence Wieder.
Di antara para pakar ini
Jack Douglaslah yang paling lengkap pembahasan etnometodologinya. Douglas
menggunakan etnometodologi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner
(pegawai yang memeriksa sebab-musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu
kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas mencatat bahwa untuk
menentukan hal itu , koroner harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa
yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar
menetapkan adanya unsur kesengajaan.[9]
Di sini seorang koroner
mengumpulkan bukti-bukti berupa peritiwa hidup (hari-hari terakhir) dari
seseorang yang mati tersebut mengenai apakah ia mengalami peristiwa yang
memungkinkan ia bunuh diri atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya
maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh
diri, pada hal mungkin saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya,
jika ia menemukan bukti maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut
adalah suatu tindakan bunuh diri pada hal belum tentu seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
Pendekatan ini sangat
berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri
(suicide) yang dilakukannya dengan pendekatan statistikal. Di sini tampaklah
bahwa etnometodologi adalah suatu studi atas realitas kehidupan manusia atau
masyarakat yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan sosiologi
konvensional sebagaimana yang telah disinggung di bagian pengantar di
atas.
C.
KONSEP-KONSEP DASAR ETNOMETODOLOGI
Terdapat beberapa konsep
dasar dalam etnometodologi, diantaranya adalah indeksikalitas,
reflesivitas dan akuntabilitas (accountability).
1) Indeksikalitas
Indeksikalitas merupakan istilah linguisitik
untuk menunjukkan makna yang berbeda dalam situasi yang berbeda dalam kata yang
sama. Indeksikalitas ini oleh anggota digunakan untuk memahami situasi
tertentu, yang menggunakan unsur kalimat yang dikontekskan pada situasi
tersebut. Berangkat dari kesepahaman terhadap konteks tersebutlah anggota dapat
berinteraksi dengan menggunakan unsur kalimat yang dikontekskan pada situasi
yang dikehendaki. Tetapi kembali lagi sejauh itu masuk akal bagi para anggota
sehingga tidak merusak keteraturan.
Raho
memberikan contoh sederhana terkait indeksikalitas, yaitu ucapan “hari hujan”
bisa mempunyai arti yang berbeda untuk orang-orang dalam sistuasi yang berbeda
seperti mereka yang sedang bergembira ketika piknik dan para petani yang memang
menantikan hujan demi sawah mereka. Berdasarkan konsep indeksikalitas tersebut,
etnometodolog dituntut untuk mampu menempatkan dirinya pada situasi yang
dimaksud para anggota bukan malah memaksakan pandangannya tentang realitas
kepada para anggota.[10]
2) Refleksivitas
Refleksivitas, yaitu
konsep yang mengacu pada usaha anggota untuk mempertahankan anggapan-anggapan
tentang realitas sosial. Ketika anggota mempunyai anggapan tertentu, kemudian
ia bertindak berdasar anggapan tersebut, secara bersamaan ia sedang berusaha
membangun suatu realitas dan mempertahankan anggapan tersebut. Namun jika yang
terjadi adalah tidak sesuai dengan realitas, dalam artian dia gagal membangun
realitas berdasarkan anggapan awal tadi, maka anggota bertindak secara
refleksif guna mempertahankan anggapan awal tadi.
Contoh sederhana terkait refleksivitas, seperti
ketika kita mengucapkan selamat pagi kepada seorang teman, kemudian ia
membalasnya dengan yang sama, kita tidak sadar bahwa kita dan teman kita sedang
melakukan tindakan relfeksif. Anggapan kita terkait realitas tadi adalah karena
waktu masih pagi dan kita bertemu dengan teman kita, maka kita mengucapkan
salam kepada teman kita. Begitu pun dengan teman kita, ia beranggapan ketika
kita diberi ucapan salam maka kita menjawabnya. Kemudian berangkat dari anggapa
tersebutlah kita dan teman kita berhasil membangun dunia sosial secara teratur.
Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana yang terjadi adalah sebaliknya.
Semisal teman tadi tidak membalas salam melainkan menampilkan muka cemberut.
Dunia sosial yang
kita usahakan untuk dibangun memang gagal, tetapi kita biasanya berusaha
membangun kembali dunia sosial dengan memberikan penjelasan semisal mungkin
teman kita tidak enak badan sehingga dunia sosial tampak teratur.[11]
3) Akuntabilitas
Akuntabilitas yang berasal dari kata Accountability,
juga diartikan sebagai laporan atau cerita. Laporan adalah cara-cara di mana
anggota-anggota melakukan sesuatu seperti melukiskan, menganalisa, mengkritik
atau mengidealkan situasi khusus.[12] Misalnya, ketika
seorang mahasiswi terlambat kemudian ia menjelaskan penyebab ia terlambat, maka
penjelasan mahasiswi itulah yang dinamakan laporan. Dalam melaporkan penyebab,
mahasiswi tersebut berusaha untuk rasional sehingga laporan yang ia tawarkan
diterima. Cara yang digunakan mahasiswi tersebut untuk menjelaskan penyebab ia
terlambat, merupakan fokus dari etnometodologi terlepas diterima atau tidak
laporan tersebut. Kemudian fokus terhadap akuntabilitas itulah yang kemudian
memunculkna variasi dari etnometodologi.
D.
KETEGANGAN
DAN TEKANAN DALAM ETNOMETODOLOGI
Selagi etnometodologi
membuat langkah sehat dalam sosiologi terutama di bidang analisis percakapan,
dan mampu menghimpun pengetahaun tentang dunia kehidupan sehari-hari, ada
beberapa masalah yang patut diperhatikan.
1) Etnometodologi kini jauh
lebih diterima dibanding lalu, namun oleh kebanyakan sosiolog, etnometodologi
masih dipandang dengan penuh kecurigaan. Para sosiolog memandang etnometodologi
terlalu memusatkan perhatian pada masalah sepele dan mengabaikan masalah yang
sangat penting yang dihadapi masyarakat kini. Jawaban pakar etnometodologi
adalah bahwa mereka menganalisis masalah penting karena masalah kehidupan
sehari-hari itulah yang terpenting untuk dikaji.
2) 2) Ada orang
yang yakin bahwa etnometodologi telah melupakan akar fenomenologisnya dan
mengurangi perhatiannya terhadap kesadaran dan proses kognitif. Pakar
etnometodologi terutama pakar analisis percakapan lebih memusatkan perhatian
pada “ciri struktur percakapan itu sendiri”
3) 3) Beberapa
pakar etnometodologi telah memikirkan kaitan antara karya mereka (misalnya
percakapan) dan struktur sosial lebih luas. Pakar etnometodologi cenderung
memandang diri mereka menjembatani pemisahan analisis mikro-makro. Misalnya
beberapa tahun yang lalu Zimmerman melihat perkawinan silang dengan sosiologi
makro sebagai sebuah “pertanyaan terbuka” dan sebagai peluang yang menarik
perhatian.
4) Dari lapangan Pollner
mengkritik etnometodologi karena kehilangan refleksivitas radikal aslinya.
Refleksivitas radikal mengarah pada pandangan bahwa semua aktivitas sosial
adalah prestasi, termasuk aktivitas pakar etnometodologi. Seperti dinyatakan
Pollner, etnometodologi berada di pinggiran sosiologi.
5) Meski dibahas di bawah
judul yang sama, muncul kekhawatiran dalam hubungan antara etnomotodologi dan
analisis percakapan.[13]
E.
KEBERAGAMAN
TEORI ETNOMETODOLOGI
1)
Studi
Insting Instutional
Maynard dan Clyman melukiskan sejumlah karya variasi dalam
etnometodologi, tetapi hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol.
tipe pertama adalah studi etnometodologi tentang setting institusional.
Studi etnometodologi awal yang dilakukan oleh Garfinkel berlangsung
dalam setting biasa dan tak diinstitusionalkan seperti rumah, kemudian bergeser
ke arah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional seperti dalam
sidang pengadilan, klinik, dan kantor polisi.
Studi sosiologi konvensional seperti itu memusatkan perhatian pada
strukturnya, aturan formalnya, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang
dilakukan orang didalamnya.
Menurut pakar etnometodologi, paksaan eksternal
tak memadai untuk menerangkan apa yang sebenarnya terjadi didalam institusi
itu. Orang tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal seperti itu, mereka
menggunakan institusi untuk menyelesaikan tugas mereka dan untuk menciptakan
institusi dimana mereka berada didalamnya.
Tujuan studi institusional adalah memahami cara orang, dalam
setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi
dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya,
aturan formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di
dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya
untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi.
Misalnya, tingkat angka kriminal disusun oleh kantor polisi bukan
semata-mata karena akibat petugas mengikuti peraturan yang ditetapkan secara
jelas dalam tugas mereka. Petugas lebih memanfaatkan prosedur berdasarkan akal
sehat untuk memutuskan umpamanya apakah korban harus digolongkan sebagai korban
pembunuhan. Jadi, angka kriminal seperti itu berdasarkan penafsiran pekerjaan
dan profesional, dan pemeliharaan catatan kriminal seperti itu adalah kegiatan
yang berguna untuk studi yang sebenarnya.[14]
2)
Analisis Percakapan
Percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas
yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Analisis
Percakapan (conversation analysis) memiliki tujuan untuk memahami secara rinci
struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Analisis percakapan lebih
memusatkan perhatian pada hubungan antara ucapan dalam percakapan ketimbang
hubungan antara pembicara dan pendengar.
Analisis Percakapan merupakan salah satu ranah yang paling
berkembang dan paling kaya dalam etnometodologi. Analisis percakapan dianggap
sebagai program yang penting dan paling sempurna dari etnometodologi. Praktek
ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan tahun enam puluhan, dengan
menjadikan percakapan sebagai tema utama penelitiannya.
Menurut Zimmerman, tujuan dari analisis percakapan adalah untuk
memahami secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan. Lebih
lanjut Zimmerman, merangkum dasar-dasar analisis percakapan dalam lima premis.
·
Pertama, Analisis percakapan mensyaratkan adanya
kumpulan dan analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya
kata-kata tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa,
perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan
perbuatan percakapan aktor yang terlibat.
·
Kedua, Bahkan detail percakapan harus dianggap sebagai
suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodolog, aspek
tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri.
·
Ketiga, Interaksi pada umumnya dan percakapan pada
khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan
para aktor akan dilibatkan.
·
Keempat, Landasan fundamental dari percakapan adalah
organisasi yang sequential. Kelima, Keterikatan bidang interaksi
percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
Sebagai sebuah metode yang meletakkan studinya pada kegiatan
manusia sehari-hari atas dasar commen sense, Etnometodologi melihat realitas
common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan
praktis dalam kehidupan sosial. Dalam melakukan kemampuan-kemampuan
praktikalnya (kepentingan praktis) individu berpangkal pada sebauh pemahaman
dan atau keyakinan akan fakta yang berdasar pada akal sehat dan kreasi.
Dilengkapi dengan pengetahuan akal sehat dan dengan kepercayaan
(pemahaman) akan fakta, karakter teratur dunia, para anggota bergerak maju dan
membuat setiap situasi dimana mereka berpartisipasi menjadi masuk akal.
Etnometodologi menekankan bahwa setiap situasi sosial itu unik. Kata-kata yang
diucapkan adalah indeksial (percakapan indeksial). Artinya bahwa kata-kata itu
hanya masuk akal pada kesempatan atau waktu tertentu ketika mereka menggunakannya.
Tetapi mereka juga menekankan bahwa para anggota, yang secara tidak disadari
terlibat dalam mengidentifikasi keteraturan dan realitas objektif, memandang
segala sesuatu secara berbeda. Mereka mengidentifikasi kesamaan suatu kejadian
dengan kejadian lain. Mereka memilih dari semua hal yang terjadi disekitar
mereka bukti yang mendukung pandangan bahwa hal-hal yang eksis atau yang
terjadi adalah tipikal dunia. Bagi mereka, suatu situasi sosial adalah sebuah
pelajaran, dan suatu pola dibangun padanya dengan menggunakan pengetahuan akal
sehat.
Dengan
pengetahuan akal sehat itu pula, jarak-jarak perbedaan persepsi tentang suatu
kejadian diisi atau didekatkan dengan cara yang sama oleh pendengar-pendengar
yang berbeda untuk meyakinkan diri mereka kembali bahwa sesuatu yang terjadi
itu adalah sebagaimana nampaknya, dan merupakan kemampuan praktikal yang
dilakuakan individu atas dasar kapasitas kreasi dan akal sehat.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Etnometodologi jelas memiliki cara pandang yang berbeda dengan teori
struktural dan interaksionis dalam melihat realita sosial. Sebagaimana
dijelaskan diatas, bahwa teori struktural melihat gambaran yang paling
signifikan dari kehidupan sosial manusia adalah dalam kekuatan-kekuatan
eksternal yang bersifat memaksa individu. Sehingga dalam memahami perilaku
sosial harus dibangun pemahaman atas determinasi struktural dalam kehidupan
manusia. Sementara bagi kalangan interaksionis, pelaku (individu) ditempatkan
sebagai objek perioritas. Sehingga teori ini membangun pemahaman dengan
terlebih dahulu memahami tindakan-tindakan sosial individu.
Bagi etnometodologi, minat dan kepentingannya berbeda. Satu-satunya
yang dapat dideskripsikan dengan pasti dalam kehidupan sosial adalah semua yang
dilakukan individu secara bersama dalam kesehariannya yang berpangkal pada akal
dan kreasi. Akahirnya, etnometodologi sampai pada sebuah keyakinan bahwa
pendekatan ini mampu menunjukkan kebenaran tentang apa yang individu bangun
melalui upaya mereka sendiri.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah
tentang “Teori Etnometodologi” yang telah
Kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu
kritik yang membangun dari pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan.
Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Furchan,
Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. (Surabaya: Usaha
Nasional, 1992).
George Ritzer
dan Douglass J Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta:
Kencana, 2010).
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta:
Kencana. 2007).
Heritage, J., Garfinkel
and Ethnomethodology, (Cambridge: Polity Press, 1984).
Muhammad Zeitlin,
1998. Memahami kembali Sosiologi. (Yogyakarta: Gadjah
MadaUniversity Press. 1998).
Poloma, M.
Margaret, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Grafindo
Persada, 1994).
Raho, B., Teori Sosiologi Modern.
(Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007).
Reigeluth, C.M.
dan Garfinkel, R.J. Systemic Change in Education, (New Jersey:
Educational Technology Publications Englewood Cliffs. 1994).
http://al-fikar.blogspot.co.id/2014/01/etnometodologi.html, diakses di Pekanbaru
pukul 21:21 WIB pada
tanggal 01 November 2019.
[1] George Ritzer dan
Douglass J Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta
: Kencana. 2010), hlm. 322.
[2] Ibid., hlm.
322-333.
[3] Heritage, J., Garfinkel
and Ethnomethodology, (Cambridge: Polity Press, 1984), hlm. 4.
[4] Muhammad Zeitlin,
1998. Memahami kembali Sosiologi. (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity
Press. 1998), hlm. 123-133.
[5] Reigeluth,
C.M. dan Garfinkel, R.J. Systemic Change in Education, (New
Jersey: Educational Technology Publications Englewood Cliffs. 1994), hlm. 11.
[6] George Ritzer, Teori
Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana. 2007), hlm. 323-324.
[7] Poloma, M.
Margaret, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Grafindo Persada, 1994), hlm. 281.
[8] Arief,
Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. (Surabaya:
Usaha Nasional, 1992), hlm. 39-40.
[9] Arief,
Furchan, Ibid., hlm. 39.
[10] Raho, B., Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2007), hlm. 257.
[11] Raho, B., Ibid., hlm. 156.
[12] Raho, B., Ibid., hlm. 158.
[13] http://al-fikar.blogspot.co.id/2014/01/etnometodologi.html, diakses di Pekanbaru pukul 21:21 WIB pada tanggal 01 November 2019.
[14] George Ritzer. Teori
Sosiologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 326-327.
[15] George Ritzer
dan Douglass J Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 673-675.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar