Rabu, 13 Mei 2020

Teori Etnometodologi - Makalah Teori Sosial

TEORI ETNOMETODOLOGI

 

Dosen Pembimbing : Ahmad Karmizi, M.A.

 

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Teori-Teori Sosial

 

 

 

 

 

 

 

OLEH KELOMPOK 8:

 

MUHAMMAD MAULADI 

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2019/2020


 

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Teori-Teori Sosial dengan judul "Teori Etnometodologi" tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

 

 

Pekanbaru, 1 Novemver 2019

 

 

Kelompok 8

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1

A.    Latar Belakang.............................................................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah........................................................................................................ 1

C.    Tujuan............................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3

A.     PENGERTIAN.............................................................................................................. 3

B.      SEJARAH SINGKAT TEORI ETNOMETODOLOGI........................................... 6

C.     KONSEP-KONSEP DASAR ETNOMETODOLOGI............................................ 10

D.     KETEGANGAN DAN TEKANAN DALAM ETNOMETODOLOGI.................. 12

E.     KEBERAGAMAN TEORI ETNOMETODOLOGI............................................... 13

BAB III PENUTUP................................................................................................................. 19

A.    Kesimpulan.................................................................................................................. 19

B.     Kritik dan Saran......................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam kehidupan yang sifatnya dinamis ini, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa lepas dari individu-individu yang lain. Sehingga mereka akan selalu bersentuhan dengan indvidu lainnya, dengan kelompok individu, bahkan antara kelompok individu dengan kelompok individu yang lain, atau dalam dunia sosial lebih dikenal dengan istilah Interaksi Sosial. Interaksi sosial yang terbangun melahirkan gejala-gejala sosial (fakta sosial) dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sosial hadir dengan tujuan untuk membangun pemahaman atas setiap fakta sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Pemahaman tersebut dapat ditempuh melalui pengamatan sosial. Pengamatan sosial tidak hanya dilakukan dengan satu cara dan dari satu sudut pandang sosial saja, sehinggan hal ini kemudian melahirkan banyak metodologi yang dapat dipergunakan dalam melakukan pengamatan sosial. Diantara metodologi yang ada salah satunya adalah Etnometodologi.

Etnometodologi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi.

 

B.     Rumusan Masalah

1)      Apa yang dimaksud dengan teori Etnometodologi?

2)      Bagaimana sejarah dari teori Etnometodologi?

3)      Apa saja konsep-konsep dasar Etnometodologi?

4)      Bagaimana ketegangan dan tekanan dalam Etnometodologi?

5)      Bagaimana keberagaman dalam teori Etnometodologi?

 

C.     Tujuan

1)      Mengetahui pengertian secara bahasa dan istilah dari teori Etnometodologi.

2)      Mengetahui sejarah dari teori Etnometodologi.

3)      Memahami konsep-konsep dasar Etnometodologi.

4)      Memahami ketegangan dan tekanan dalam Etnometodologi.

5)      Memahami keberagaman dalam teori Etnometodologi.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN

Istilah Etnometodologi (ethnomethodolgy) berasal dari bahasa Yunani yang berarti metode, yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Etnometodologi pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya maasyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri.[1]

Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa didapatkan dengan meneliti upaya pendirinya Harold Garfinkel untuk mendefinisikannya. Sebagaimana Durkheim, Garfinkel menganggap fakta sosial sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut Durkehim. Menurut Durkheim, fakta sosial berada diluar dan memaksa individu. Pandangan ini cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak mempunyai kebebasan untuk memuat pertimbangan. Sebaliknya etnometodologi membicarakan obyektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologis anggota. Dengan kata lain etnometodologi memusatkan perhatian pada organisasi organisasi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Etnometodologi bukanlah makrosoiologi dalam arti yang dimaksud Durkheim, tetapi bukan juga sebagai mikrososiologi. Sehingga etnometodologi memusatkan perhatian pada aktivitas sehari-hari individu.[2]

Etnometodologi memiliki tiga dasar asumsi, yakni:

1.      Kehidupan sosial pada dasarnya tidak pasti; namun,

2.      Para pelaku tidak menyadari hal ini, karena

3.     Tanpa mereka ketahui, mereka memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat dunia nampak sebagai tempat yang teratur.

Kita mulai dengan definisi etnometodologi studi tentang Kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan situasi di mana mereka menemukan dirinya sendiri”.[3]

Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa kita dapatkan dengan meneliti upaya pendirinya, Garfinkel (1988, 1991), untuk mendefinisikannyaseperti Durkheim, Garfinkel menganggap Fakta sosial” sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun, fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut Durkheim.menurut Duekheim, fakta sosial berada di luar dan memaksa individu. Pakar yang menerima pemikiran demikin cenderung melihat actor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tak mempunyai kebebasan untuk membuat pertimbangan. Seperti sosiolog, pakar etnometodologi cenderung membicarakan actor seperti “si tolol yang memberikan pertimbangan”.[4]

Sebaliknya etnometodologi membicarakan objektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota (definisi anggota segera menyusul) sebagai produk aktivitas metodologis anggota. Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi sebagai berikut:

Realitas objektif fakta sosial bagi etnometodologi adalah fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus-menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui, atau menunda.[5]

Salah satu pendirian kunci Garfinkel mengenai etnometodologi adalah bahwa mereka “dapat dijelaskan secara reflektif”. Penjelasan adalah cara actor malakukan sesuatu seperti mendeskripsikan, mengkritik, dan mengidealisasikan situasi tertentu. Penjelasan (acaunnting) adalah proses yang dilalui actor dalam memberikan penhelasan untuk memahami dunia. Pakar etnometodologi menekankan perhatian untuk menganalisis penjelasan actor maupun cara-cara penjelasan diberikan dan diterima (atau ditolak) oleh orang lain. Inilah salah satu alasan mengapa pakar etnometodologi memustkan perhatian dalam mengalisis percakapan. Satu contoh, ketika seorang maahasiswa menerangkan kepada profesornya mengapa ia gagal mengambil ujian, ia sebenarnya memberikan suatu penjelasan. Mahasiswa itu mencoba mengemukakan pemikiran mengenai suatu peristiwa kepada profesornya. Pakar etnometodologi tertarik pada sifat dasar panjelasan itu, dan lebih umum lagi, pada praktik penjelasan yang dengannya mahasiswa memberikan penjelasan dan profesor menerima atau menolak. Dalam menganalisis penjelasan, pakar etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan metodologis. Artinya mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis.[6]

 

B.     SEJARAH SINGKAT TEORI ETNOMETODOLOGI

Istilah etnometodologi (ethomethodology), yang berakar pada bahasa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus. Manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formula.

Etnometodologi sendiri adalah suatu studi tentang praktek sosail keseharian yang diterima secara taken for granted berdasarkan akal sehat (common sense). Etnometodologi mulai berkembang di tahun 1950 dengan tokoh penggagasnya adalah Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.[7]

Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Penelitian konvesional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan sosial menurut situasi di mana kenyataan sosial tersebut berlangsung.

Garfinkel sendiri medefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari.[8]

Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Seementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya.

Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya.

 Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (suberrsif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.

Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi di antaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder.

Di antara para pakar ini Jack Douglaslah yang paling lengkap pembahasan etnometodologinya. Douglas menggunakan etnometodologi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab-musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas mencatat bahwa untuk menentukan hal itu , koroner harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur kesengajaan.[9]

Di sini seorang koroner mengumpulkan bukti-bukti berupa peritiwa hidup (hari-hari terakhir) dari seseorang yang mati tersebut mengenai apakah ia mengalami peristiwa yang memungkinkan ia bunuh diri atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh diri, pada hal mungkin saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya, jika ia menemukan bukti maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut adalah suatu tindakan bunuh diri pada hal belum tentu seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

Pendekatan ini sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri (suicide) yang dilakukannya dengan pendekatan statistikal. Di sini tampaklah bahwa etnometodologi adalah suatu studi atas realitas kehidupan manusia atau masyarakat yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional sebagaimana yang telah disinggung di bagian pengantar di atas.

 

 

C.     KONSEP-KONSEP DASAR ETNOMETODOLOGI

Terdapat beberapa konsep dasar dalam etnometodologi, diantaranya adalah indeksikalitas, reflesivitas dan akuntabilitas (accountability).

1)      Indeksikalitas

Indeksikalitas merupakan istilah linguisitik untuk menunjukkan makna yang berbeda dalam situasi yang berbeda dalam kata yang sama. Indeksikalitas ini oleh anggota digunakan untuk memahami situasi tertentu, yang menggunakan unsur kalimat yang dikontekskan pada situasi tersebut. Berangkat dari kesepahaman terhadap konteks tersebutlah anggota dapat berinteraksi dengan menggunakan unsur kalimat yang dikontekskan pada situasi yang dikehendaki. Tetapi kembali lagi sejauh itu masuk akal bagi para anggota sehingga tidak merusak keteraturan.

Raho memberikan contoh sederhana terkait indeksikalitas, yaitu ucapan “hari hujan” bisa mempunyai arti yang berbeda untuk orang-orang dalam sistuasi yang berbeda seperti mereka yang sedang bergembira ketika piknik dan para petani yang memang menantikan hujan demi sawah mereka. Berdasarkan konsep indeksikalitas tersebut, etnometodolog dituntut untuk mampu menempatkan dirinya pada situasi yang dimaksud para anggota bukan malah memaksakan pandangannya tentang realitas kepada para anggota.[10]

2)      Refleksivitas

Refleksivitas, yaitu konsep yang mengacu pada usaha anggota untuk mempertahankan anggapan-anggapan tentang realitas sosial. Ketika anggota mempunyai anggapan tertentu, kemudian ia bertindak berdasar anggapan tersebut, secara bersamaan ia sedang berusaha membangun suatu realitas dan mempertahankan anggapan tersebut. Namun jika yang terjadi adalah tidak sesuai dengan realitas, dalam artian dia gagal membangun realitas berdasarkan anggapan awal tadi, maka anggota bertindak secara refleksif guna mempertahankan anggapan awal tadi.

Contoh sederhana terkait refleksivitas, seperti ketika kita mengucapkan selamat pagi kepada seorang teman, kemudian ia membalasnya dengan yang sama, kita tidak sadar bahwa kita dan teman kita sedang melakukan tindakan relfeksif. Anggapan kita terkait realitas tadi adalah karena waktu masih pagi dan kita bertemu dengan teman kita, maka kita mengucapkan salam kepada teman kita. Begitu pun dengan teman kita, ia beranggapan ketika kita diberi ucapan salam maka kita menjawabnya. Kemudian berangkat dari anggapa tersebutlah kita dan teman kita berhasil membangun dunia sosial secara teratur. Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana yang terjadi adalah sebaliknya. Semisal teman tadi tidak membalas salam melainkan menampilkan muka cemberut. Dunia sosial yang kita usahakan untuk dibangun memang gagal, tetapi kita biasanya berusaha membangun kembali dunia sosial dengan memberikan penjelasan semisal mungkin teman kita tidak enak badan sehingga dunia sosial tampak teratur.[11]

3)      Akuntabilitas

Akuntabilitas yang berasal dari kata Accountability, juga diartikan sebagai laporan atau cerita. Laporan adalah cara-cara di mana anggota-anggota melakukan sesuatu seperti melukiskan, menganalisa, mengkritik atau mengidealkan situasi khusus.[12] Misalnya, ketika seorang mahasiswi terlambat kemudian ia menjelaskan penyebab ia terlambat, maka penjelasan mahasiswi itulah yang dinamakan laporan. Dalam melaporkan penyebab, mahasiswi tersebut berusaha untuk rasional sehingga laporan yang ia tawarkan diterima. Cara yang digunakan mahasiswi tersebut untuk menjelaskan penyebab ia terlambat, merupakan fokus dari etnometodologi terlepas diterima atau tidak laporan tersebut. Kemudian fokus terhadap akuntabilitas itulah yang kemudian memunculkna variasi dari etnometodologi.

 

D.    KETEGANGAN DAN TEKANAN DALAM ETNOMETODOLOGI

Selagi etnometodologi membuat langkah sehat dalam sosiologi terutama di bidang analisis percakapan, dan mampu menghimpun pengetahaun tentang dunia kehidupan sehari-hari, ada beberapa masalah yang patut diperhatikan.

1)      Etnometodologi kini jauh lebih diterima dibanding lalu, namun oleh kebanyakan sosiolog, etnometodologi masih dipandang dengan penuh kecurigaan. Para sosiolog memandang etnometodologi terlalu memusatkan perhatian pada masalah sepele dan mengabaikan masalah yang sangat penting yang dihadapi masyarakat kini. Jawaban pakar etnometodologi adalah bahwa mereka menganalisis masalah penting karena masalah kehidupan sehari-hari itulah yang terpenting untuk dikaji.

2)      2)   Ada orang yang yakin bahwa etnometodologi telah melupakan akar fenomenologisnya dan mengurangi perhatiannya terhadap kesadaran dan proses kognitif. Pakar etnometodologi terutama pakar analisis percakapan lebih memusatkan perhatian pada “ciri struktur percakapan itu sendiri”

3)      3)   Beberapa pakar etnometodologi telah memikirkan kaitan antara karya mereka (misalnya percakapan) dan struktur sosial lebih luas. Pakar etnometodologi cenderung memandang diri mereka menjembatani pemisahan analisis mikro-makro. Misalnya beberapa tahun yang lalu Zimmerman melihat perkawinan silang dengan sosiologi makro sebagai sebuah “pertanyaan terbuka” dan sebagai peluang yang menarik perhatian.

4)      Dari lapangan Pollner mengkritik etnometodologi karena kehilangan refleksivitas radikal aslinya. Refleksivitas radikal mengarah pada pandangan bahwa semua aktivitas sosial adalah prestasi, termasuk aktivitas pakar etnometodologi. Seperti dinyatakan Pollner, etnometodologi berada di pinggiran sosiologi.

5)      Meski dibahas di bawah judul yang sama, muncul kekhawatiran dalam hubungan antara etnomotodologi dan analisis percakapan.[13]

 

E.     KEBERAGAMAN TEORI ETNOMETODOLOGI

1)      Studi Insting Instutional

Maynard dan Clyman melukiskan sejumlah karya variasi dalam etnometodologi, tetapi hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol. tipe pertama adalah studi etnometodologi tentang setting institusional. Studi etnometodologi awal yang dilakukan oleh Garfinkel berlangsung dalam setting biasa dan tak diinstitusionalkan seperti rumah, kemudian bergeser ke arah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional seperti dalam sidang pengadilan, klinik, dan kantor polisi.

Studi sosiologi konvensional seperti itu memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formalnya, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang didalamnya.

Menurut pakar etnometodologi, paksaan eksternal tak memadai untuk menerangkan apa yang sebenarnya terjadi didalam institusi itu. Orang tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal seperti itu, mereka menggunakan institusi untuk menyelesaikan tugas mereka dan untuk menciptakan institusi dimana mereka berada didalamnya.

Tujuan studi institusional adalah memahami cara orang, dalam setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi.

Misalnya, tingkat angka kriminal disusun oleh kantor polisi bukan semata-mata karena akibat petugas mengikuti peraturan yang ditetapkan secara jelas dalam tugas mereka. Petugas lebih memanfaatkan prosedur berdasarkan akal sehat untuk memutuskan umpamanya apakah korban harus digolongkan sebagai korban pembunuhan. Jadi, angka kriminal seperti itu berdasarkan penafsiran pekerjaan dan profesional, dan pemeliharaan catatan kriminal seperti itu adalah kegiatan yang berguna untuk studi yang sebenarnya.[14]

2)      Analisis Percakapan

Percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Analisis Percakapan (conversation analysis) memiliki tujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Analisis percakapan lebih memusatkan perhatian pada hubungan antara ucapan dalam percakapan ketimbang hubungan antara pembicara dan pendengar.

Analisis Percakapan merupakan salah satu ranah yang paling berkembang dan paling kaya dalam etnometodologi. Analisis percakapan dianggap sebagai program yang penting dan paling sempurna dari etnometodologi. Praktek ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan tahun enam puluhan, dengan menjadikan percakapan sebagai tema utama penelitiannya.

Menurut Zimmerman, tujuan dari analisis percakapan adalah untuk memahami secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan. Lebih lanjut Zimmerman, merangkum dasar-dasar analisis percakapan dalam lima premis.

·         Pertama, Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor yang terlibat.

·         Kedua, Bahkan detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodolog, aspek tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri. 

·         Ketiga, Interaksi pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.

·         Keempat, Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sequential. Kelima, Keterikatan bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.

Sebagai sebuah metode yang meletakkan studinya pada kegiatan manusia sehari-hari atas dasar commen sense, Etnometodologi melihat realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan praktis dalam kehidupan sosial. Dalam melakukan kemampuan-kemampuan praktikalnya (kepentingan praktis) individu berpangkal pada sebauh pemahaman dan atau keyakinan akan fakta yang berdasar pada akal sehat dan kreasi.

Dilengkapi dengan pengetahuan akal sehat dan dengan kepercayaan (pemahaman) akan fakta, karakter teratur dunia, para anggota bergerak maju dan membuat setiap situasi dimana mereka berpartisipasi menjadi masuk akal. Etnometodologi menekankan bahwa setiap situasi sosial itu unik. Kata-kata yang diucapkan adalah indeksial (percakapan indeksial). Artinya bahwa kata-kata itu hanya masuk akal pada kesempatan atau waktu tertentu ketika mereka menggunakannya. Tetapi mereka juga menekankan bahwa para anggota, yang secara tidak disadari terlibat dalam mengidentifikasi keteraturan dan realitas objektif, memandang segala sesuatu secara berbeda. Mereka mengidentifikasi kesamaan suatu kejadian dengan kejadian lain. Mereka memilih dari semua hal yang terjadi disekitar mereka bukti yang mendukung pandangan bahwa hal-hal yang eksis atau yang terjadi adalah tipikal dunia. Bagi mereka, suatu situasi sosial adalah sebuah pelajaran, dan suatu pola dibangun padanya dengan menggunakan pengetahuan akal sehat.

Dengan pengetahuan akal sehat itu pula, jarak-jarak perbedaan persepsi tentang suatu kejadian diisi atau didekatkan dengan cara yang sama oleh pendengar-pendengar yang berbeda untuk meyakinkan diri mereka kembali bahwa sesuatu yang terjadi itu adalah sebagaimana nampaknya, dan merupakan kemampuan praktikal yang dilakuakan individu atas dasar kapasitas kreasi dan akal sehat.[15]


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Etnometodologi jelas memiliki cara pandang yang berbeda dengan teori struktural dan interaksionis dalam melihat realita sosial. Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa teori struktural melihat gambaran yang paling signifikan dari kehidupan sosial manusia adalah dalam kekuatan-kekuatan eksternal yang bersifat memaksa individu. Sehingga dalam memahami perilaku sosial harus dibangun pemahaman atas determinasi struktural dalam kehidupan manusia. Sementara bagi kalangan interaksionis, pelaku (individu) ditempatkan sebagai objek perioritas. Sehingga teori ini membangun pemahaman dengan terlebih dahulu memahami tindakan-tindakan sosial individu.

Bagi etnometodologi, minat dan kepentingannya berbeda. Satu-satunya yang dapat dideskripsikan dengan pasti dalam kehidupan sosial adalah semua yang dilakukan individu secara bersama dalam kesehariannya yang berpangkal pada akal dan kreasi. Akahirnya, etnometodologi sampai pada sebuah keyakinan bahwa pendekatan ini mampu menunjukkan kebenaran tentang apa yang individu bangun melalui upaya mereka sendiri.

 

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah tentang “Teori Etnometodologi” yang telah Kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.


 


DAFTAR PUSTAKA

Arief, Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. (Surabaya: Usaha

Nasional, 1992).

George Ritzer dan Douglass J Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta:

Kencana, 2010).

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana. 2007).

Heritage, J., Garfinkel and Ethnomethodology, (Cambridge: Polity Press, 1984).

Muhammad Zeitlin, 1998. Memahami kembali Sosiologi. (Yogyakarta: Gadjah

MadaUniversity Press. 1998).

Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Grafindo

Persada, 1994).

Raho, B., Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007).

Reigeluth, C.M. dan Garfinkel, R.J. Systemic Change in Education, (New Jersey: Educational Technology Publications Englewood Cliffs. 1994).

http://al-fikar.blogspot.co.id/2014/01/etnometodologi.html, diakses di Pekanbaru

pukul 21:21 WIB pada tanggal 01 November 2019.

 



[1]  George Ritzer dan Douglass J Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta : Kencana. 2010), hlm. 322.

[2] Ibid., hlm. 322-333.

[3] Heritage, J., Garfinkel and Ethnomethodology, (Cambridge: Polity Press, 1984), hlm. 4.

[4] Muhammad Zeitlin, 1998. Memahami kembali Sosiologi. (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press. 1998), hlm. 123-133.

[5] Reigeluth, C.M. dan Garfinkel, R.J. Systemic Change in Education, (New Jersey: Educational Technology Publications Englewood Cliffs. 1994), hlm. 11.

[6] George Ritzer, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana. 2007), hlm. 323-324.

[7] Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1994), hlm. 281.

[8] Arief, Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hlm. 39-40.

[9] Arief, Furchan, Ibid., hlm. 39.

[10] Raho, B., Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007), hlm. 257.

[11] Raho, B., Ibid., hlm. 156.

[12] Raho, B., Ibid., hlm. 158.

[13] http://al-fikar.blogspot.co.id/2014/01/etnometodologi.html, diakses di Pekanbaru pukul 21:21 WIB pada tanggal 01 November 2019.

[14] George Ritzer. Teori Sosiologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 326-327.

[15] George Ritzer dan Douglass J Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 673-675.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar