Rabu, 13 Mei 2020

Ijtihad dan Taqlid - Makalah Ushul Fiqih

IJTIHAD DAN TAQLID

 

Dosen Pembimbing : H. Suryadi Sariyan, MA

 

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Ushul Fiqih

 

 

 

 

 

 

 

 

OLEH KELOMPOK 9:

 

MUHAMMAD MAULADI

 

 

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2019/2020


KATA PENGANTAR

 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga Kami dapat merampungkan penyusunan makalah Ushul Fiqih “Ijtihad dan Taklid” tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin Kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada Kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan Kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

 

 

Pekanbaru, 27 November 2019

 

 

Kelompok 9

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1

A.    Latar Belakang........................................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 2

C.    Tujuan......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 3

A.     IJTIHAD..................................................................................................... 3

B.      TAKLID...................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP.............................................................................................. 15

A.    KESIMPULAN........................................................................................ 15

B.     SARAN...................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ iv


BAB 1

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Fiqih merupakan ilmu yang membahas hukum-hukum syara‟ yang bersifat amali yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Berbeda dengan ilmu Ushul Fiqh yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang bersifat global serta membahas cara/metode pengaplikasian dalil-dalil tersebut juga keadaan orang-orang yang boleh menggunakan dalil- dalil tersebut. Dalam kata lain, fiqih lebih bersifat khusus sedangkan Ushul Fiqh memiliki karakteristik „am yang menaungi segala urusan fiqhiyah.

Salah satu bab dari Ushul Fiqh tahap lanjut yakni ijtihad. Secara global, ijtihad bisa diartikan sebagai sebuah tindakan bersungguh-sungguh, berusaha keras atau mengerjakan sesuatu dengan susah payah.[1]

Selanjutnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai Pengertian Ijtihad, dasar hukum Ijtihad, fungsi dan lapangan ijtihad. Banyak hikmah yang bisa kita petik dari pembahasan bab ijtihad ini. Niscaya, dengan kebulatan keimanan kita Insya Allah dengan adanya ijtihad akan semakin mempertebal iman Islam kita bukan justru membuat kerisauan dalam hati tentang konsistensi dalil. Semua kembali terhadap pemahaman kaffah/menyeluruh kita terhadap suatu hal. Apabila kita memahami benar-benar sebuah permasalahan syar‟i secara detail dan terperinci niscaya akan kita temukan mutiara indah yang bercahaya didalamnya, sebuah timbal balik pengetahuan luar biasa untuk kita kuasai.

 

B.     Rumusan Masalah

1)    Apa pengertian dari ijtihad?

2)    Apa dasar hukum dari ijtihad?

3)    Apa saja fungsi dari ijtihad?

4)    Bagaimana lapangan ijtihad?

5)    Pengertian, Jenis-jenis dan Hukum Taqlid?

6)    Pendapat Empat Imam Tentang Taklid?

 

C.     Tujuan

1)      Untuk mengetahui pengertian dari ijtihad.

2)      Mengetahui sdasar hukum dari ijtihad.

3)      Mengetahui fungsi dari ijtihad.

4)      Mengetahui lapangan dari ijtihad.

5)      Mengetahui jenis-jenis dan Hukum Taqlid.

6)      Mengetahui pendapat Empat Imam Tentang Taklid.

 


BAB II

PEMBAHASAN

A.     IJTIHAD

a)      PENGERTIAN IJTIHAD

Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuasaan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran).[2]

Kata Ijtihad jika ditinjau dari segi etimologi mempunyai arti:


Yang berarti, ”Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh suatu perkara yang berat”

Secara terminologi:


"Mengerahkan kesungguhan untuk mengetahui suatu hukum syar'i." [3]

Sedangkan ijtihad menurut istilah ahli ushul fiqih dikhususkan untuk mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat dari hukum syara.sehingga dia merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakannya.[4]

Adapun syarat-syaratnya adalah:

1.                Mengetahui dalil-dalil syar‟i yang dibutuhkan dalam ijtihadnya, seperti ayat- ayat hukum dan haditsnnya

2.                Ia mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan keshohihan hadits dan kedho'ifannya, seperti mengetahui sanad-sanadnya dan para perowinya dan lain- lain.

3.                Ia mengetahui nasikh dan mansukh dan tempat-tempat terjadinya ijma',  sehingga ia tidak menghukumi dengan suatu hukum yang sudah mansukh atau menyelisihi ijma'.

4.                Ia mengetahui dalil-dalil yang diperselisihkan hukumnya dari pengkhususan, atau taqyid, atau yang semisalnya, sehingga ia tidak menghukumi dengan yang menyelisihi hal tersebut.

5.                Ia mengetahui bahasa ('Arab, pent), dan ushul fiqih yang berhubungan dengan penunjukkan-penunjukkan lafadz, seperti umum, khusus, muthlaq, muqoyyad, mujmal, mubayyan, dan yang semisal itu, sehingga ia menghukumi dengan apa yang menjadi konseskuensi penunjukkan penunjukkan tersebut.

6.                Ia memiliki kemampuan untuk kokoh dalam menggali hukum-hukum (beristimbath) dari dalil-dalilnya.[5]

Contoh ijtihad adalah suatu peristiwa di zaman Khalifah Umar ibn Khattab, di mana para pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa besar cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di negara Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci dalam Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab selanjutnya berijtihad dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah disamakan dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh negara asing, di mana mereka berdagang.[6]

b)      Dasar Hukum Ijtihad

Dasar hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunah, dan ijmak.

Dalil Alquran adalah surah an-Nisa' ayat 83, surah asy-Syu'ara' ayat 38, surah al-Hasyr ayat 2, dan surah al-Baqarah ayat 59.

Dasar ijtihad dalam sunah ialah sabda Nabi SAW yang artinya: "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka membenarkan perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain ialah hadis yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu'az, dengan apa ia akan memutuskan hukum. Lalu Mu'az menjawab bahwa jika ia tidak menemukan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW, ia akan memutuskan hukum dengan jalan ijtihad.

Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah.

Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk menjawab persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang-orang yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang dipakai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama-ulama fikih, yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fikih.[7]

c)      Fungsi Ijtihad

Imam syafi‟I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah pernah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.

Menurut Satria Efendi, pernyataan Syafi‟i tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.

Selanjutnya Satria Efendi menjelaskan bahwa ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya

1.       Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.

2.       Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al- Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak terbatas jumlahnya ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum jika ada suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam Al- Quran maupun hadis.[8]

Jadi, jika dilihat dari fungsi ijtihad tersebut, maka ijtihad mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam. Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad.

d)      Lapangan Ijtihad

Menurut Abdul Wahab Khallaf, persoalan yang menjadi lapangan ijtihad adalah semua hal yang bersifat zhanni (tidak pasti), baik dari segi datangnya dari Nabi maupun segi maksud yang dikandung suatu ayat atau hadis. Dalam hal ini, lapangan ijtihad dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :

1)      Hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan seorang atau beberapa orang tetapi jumlah perawinya tidak sampai ketingkat mutawatir. Keberadaan hadis ahad berasal dari Nabi sa. Hanya sampai pada tingkat dugaan kuat (zhanni). Ini berarti bahwa hadis ini mungkin saja palsu, meskipun dugaan tersebut hanya kecil. Untuk mebuktikan hadis itu berasal dari Nabi, para mujtahid melakukan ijtihad dengan menguji kebenaran jalur periwayatannya.

2)      Redaksi Al-Quran atau hadis yang mengandung pengertian Zhanni sehingga mungkin saja mempunyai pengertian lain selain cepat diketahui ketika mendengan bunyi redaksi itu. Ayat-ayat dan hadis-hadis yang demikian menjadi lapangan ijtihad dalam rangka memahami maksudnya. Dalam hal ini, ijtihad mengambil peran untuk menentukan makna mana yang sebenarnya dimaksudkan redaksi itu. Hal ini berimplikasi pada muncul perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum yang terkait dengan redaksi itu.

3)      Semua persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah, semenatara itu tidak ada ijma‟ ulama yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Dalam menghadapi kasus seperti ini, ijtihad mempunyai peranan penting untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. Jadi peranan ijtihad untuk meneliti dan menemukan hukum kasus yang terjadi melalui pendekatan tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah al- mursalah, „urf, istishab dan saddu al-zari‟ah. Berkaitan dengan hal ini, para ulama berpeluang untuk berbeda pendapat satu sama lain.[9]

 

B.     TAKLID

a)      Pengertian, Jenis-jenis dan Hukum Taqlid

Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.[10]

Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:

الفروع ولافى الاْصول لافى للعلم طريقا وليس حجّّة بغير قبول التّقليد

“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”

Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:

دليل غيربقول الاْخذ هو التّقليد

“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”[11]

Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:

a)      Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang

b)      Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.[12]

Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat :

Ø  Yang pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal, pent) dengan kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan firman Allah SWT:

 “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)

Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni ‘ulama) yang ia dapati lebih utama dalam ilmu dan waro '(kehati-hatian) nya, jika hal ini sama pada dua orang (‘ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang diantara keduanya.

Ø  Yang kedua : terjadi pada seorang Mujtahid suatu kejadian yang ia harus segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian maka ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk bolehnya taqlid : hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam ushuluddin (pokok agama/aqidah, pent) yang wajib bagi seseorang untuk meyakininya; karena masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan taqlid hanya memberi faidah dzonn (persangkaan).

Dan yang rojih (kuat) adalah bahwa yang demikian bukanlah syarat, berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala :

تَعْلَمُونَ لاَ كُنتُمْ إِن الذِّكْرِ أَهْلَ فَاسْأَلُواْ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)

Ayat ini adalah dalam konteks penetapan kerasulan yang merupakan ushuluddin, dan karena orang awam tidak mampu untuk mengetahui (yakni ber-istinbath dan istidlal)1 kebenaran dengan dalil-dalinya. Maka jika ia memiliki udzur dalam mengetahui kebenaran, tidaklah tersisa (baginya)
kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

اسْتَطَعْتُمْ مَا اللَّهَ فَاتَّقُوا

“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian.” (QS. at-Taghobun : 16)

Taqlid ada dua jenis, yakni :

Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua urusan agamanya.

Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.

Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

Adapun Hukum Taqlid terbagi 3 kelompok, yaitu:

1)      Taqlid yang Diharamkan

·         Taqlid yang semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau  pendapat nenek moyang atau orang terdahulu, yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

·         Taqlid kepada  orang aau sesuatu yang tidak diketaui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian atau kekuatan berhala tersebut.

·         Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

2)      Taqlid yang Diperbolehkan

·         Dibolehkan bertaqlid kepada seoramg Mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan persoalan dan peristiwa, denga syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Jadi sifatnya sementara.

·         Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat Imam Madzhab.

3)      Taqlid yang Diwajibkan

·         Wajiib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu  perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.[13]

b)      Pendapat Empat Imam Tentang Taklid

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid:

Ø  Imam Abu Hanifah (80-150H)

Beliau merupakan akal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa seseorang jika orang yang berfatwa tersebut tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.

Ø  Imam Malik bin Anas (93-179H)

Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau menpunyai kelebihan. Prinsipnya, setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dulu sebelum diamalkan.

Ø  Imam As Syafi’I (150-204H)

Beliau adalah murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “beliau akan meninggalkan pendapatnya pada saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan Hadits Nabi SAW.

Ø  Imam Hambali (164-241H)

Beliau melarang bertaqlid kepada Imam manapun dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para Sahabatnya. Sedangkan yang berasal dari Tabi’in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki terlebih dahulu. Mana yang benar diikuti, mana yang salah ditinggalkan.[14]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuasaan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran).

Sedangkan ijtihad menurut istilah ahli ushul fiqih dikhususkan untuk mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat dari hukum syara.sehingga dia merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakannya. Dasar hukum ijtihad ialah dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur'an, sunah, dan ijmak.

Fungsi ijtihad adalah menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis Ahad dan mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.

Lapangan ijtihad dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu hadis ahad, redaksi Al- Quran atau hadis yang mengandung pengertian Zhanni, dan Semua persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah.

Taqlid adalah mengambil kesimpulan dari perkataan orang lain tanpa dalil.

Taqlid ada 3 hukum; taqlid yang diharamkan, yang dibolehkan, dan taqlid yang diwajibkan

 

B.     Kritik dan Saran

 

Demikianlah makalah tentang “Ijtihad dan Taklid” yang telah Kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)

Atho‟ ibn kholil, Taisir al-Wushul ilal ushul

Muhammad     bin       Sholeh al-Utsaimin, Terjemah            Al- Ushul         min      ‘ilmil    Ushul

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).

http://islamicinemaker.blogspot.co.id/2012/01/pendapat-4-imam-madzhab-tentang-sikap_29.html

http://miftahiqtishoduna.blogspot.co.id/2014/05/makalah-ijtihad-ushul-fiqh.html

http://pelajaranfiqih.blogspot.co.id/2009/03/dasar-hukum-ijtihad.html

http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-fungsi-contoh-ijtihad.html

http://zairifblog.blogspot.co.id/2010/11/fungsi-ijtihad.html

 

 



[3] Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, Terjemah Al-Ushul min ‘ilmil Ushul (tholib.wordpress.com, 2007) hlm. 130

[4] Atho‟ ibn kholil, Taisir al-Wushul ilal ushul hlm. 499

[5] Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, … hlm 130-131

[10] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 323.

[11] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 324.

[12] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.132.

[13] Totok Jumantoro dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, ……, h. 326.

[14] http://islamicinemaker.blogspot.co.id/2012/01/pendapat-4-imam-madzhab-tentang-sikap_29.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar