IJTIHAD DAN TAQLID
Dosen Pembimbing : H. Suryadi Sariyan, MA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Ushul Fiqih

OLEH KELOMPOK 9:
MUHAMMAD MAULADI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur Kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga Kami dapat merampungkan penyusunan makalah Ushul Fiqih “Ijtihad
dan Taklid” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah
semaksimal mungkin Kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga
dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa Kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam merampungkan
makalah ini.
Namun tidak lepas dari
semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari
segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada Kami
membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun
sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya
dan besar keinginan Kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan
lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Pekanbaru, 27
November 2019
Kelompok 9
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................... i
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C. Tujuan......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 3
A.
IJTIHAD..................................................................................................... 3
B.
TAKLID...................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 15
A. KESIMPULAN........................................................................................ 15
B. SARAN...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ iv
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fiqih merupakan ilmu yang membahas hukum-hukum
syara‟ yang bersifat amali yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.
Berbeda dengan ilmu Ushul Fiqh yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang
bersifat global serta membahas cara/metode pengaplikasian dalil-dalil tersebut
juga keadaan orang-orang yang boleh menggunakan dalil- dalil tersebut. Dalam
kata lain, fiqih lebih bersifat khusus sedangkan Ushul Fiqh memiliki
karakteristik „am yang menaungi segala urusan fiqhiyah.
Salah satu bab dari Ushul Fiqh tahap lanjut
yakni ijtihad. Secara global, ijtihad bisa diartikan sebagai sebuah tindakan
bersungguh-sungguh, berusaha keras atau mengerjakan sesuatu dengan susah payah.[1]
Selanjutnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai
Pengertian Ijtihad, dasar hukum Ijtihad, fungsi dan lapangan ijtihad. Banyak
hikmah yang bisa kita petik dari pembahasan bab ijtihad ini. Niscaya, dengan
kebulatan keimanan kita Insya Allah dengan adanya ijtihad akan semakin
mempertebal iman Islam kita bukan justru membuat kerisauan dalam hati tentang
konsistensi dalil. Semua kembali terhadap pemahaman kaffah/menyeluruh kita
terhadap suatu hal. Apabila kita memahami benar-benar sebuah permasalahan
syar‟i secara detail dan terperinci niscaya akan kita temukan mutiara indah
yang bercahaya didalamnya, sebuah timbal
balik pengetahuan luar biasa untuk kita kuasai.
B.
Rumusan Masalah
1)
Apa pengertian dari ijtihad?
2)
Apa dasar hukum dari ijtihad?
3)
Apa saja fungsi dari ijtihad?
4)
Bagaimana lapangan ijtihad?
5)
Pengertian, Jenis-jenis dan Hukum Taqlid?
6)
Pendapat Empat Imam Tentang Taklid?
C.
Tujuan
1)
Untuk mengetahui pengertian dari ijtihad.
2)
Mengetahui sdasar hukum dari ijtihad.
3)
Mengetahui fungsi dari ijtihad.
4)
Mengetahui lapangan dari ijtihad.
5)
Mengetahui jenis-jenis dan Hukum Taqlid.
6)
Mengetahui pendapat Empat Imam Tentang Taklid.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
IJTIHAD
a)
PENGERTIAN IJTIHAD
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd yang
berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuasaan) atau dari kata al-jahd yang
berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran).[2]
Kata
Ijtihad jika ditinjau dari segi etimologi mempunyai arti:
![]()
Yang berarti, ”Mengerahkan kesungguhan untuk
memperoleh suatu perkara yang berat”
Secara
terminologi:
![]()
"Mengerahkan kesungguhan
untuk mengetahui suatu hukum syar'i." [3]
Sedangkan ijtihad menurut istilah ahli ushul
fiqih dikhususkan untuk mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari
dugaan kuat dari hukum syara.sehingga dia merasa tidak mampu lagi untuk berbuat
lebih dari yang telah diusahakannya.[4]
Adapun
syarat-syaratnya adalah:
1.
Mengetahui dalil-dalil syar‟i yang dibutuhkan
dalam ijtihadnya, seperti ayat- ayat hukum dan
haditsnnya
2.
Ia mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan
keshohihan hadits dan kedho'ifannya, seperti mengetahui sanad-sanadnya dan para
perowinya dan lain- lain.
3.
Ia mengetahui nasikh dan mansukh dan tempat-tempat
terjadinya ijma', sehingga ia tidak
menghukumi dengan suatu hukum yang sudah mansukh atau menyelisihi ijma'.
4.
Ia mengetahui dalil-dalil yang diperselisihkan
hukumnya dari pengkhususan, atau taqyid,
atau yang semisalnya, sehingga ia tidak menghukumi dengan yang menyelisihi hal tersebut.
5.
Ia mengetahui bahasa ('Arab, pent), dan ushul
fiqih yang berhubungan dengan penunjukkan-penunjukkan lafadz, seperti umum,
khusus, muthlaq, muqoyyad, mujmal, mubayyan, dan yang semisal itu, sehingga
ia menghukumi dengan apa yang menjadi konseskuensi penunjukkan penunjukkan tersebut.
6.
Ia memiliki kemampuan untuk kokoh dalam
menggali hukum-hukum (beristimbath)
dari dalil-dalilnya.[5]
Contoh
ijtihad adalah suatu peristiwa di zaman Khalifah Umar
ibn Khattab, di mana para pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa besar
cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di negara
Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci dalam
Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab selanjutnya berijtihad
dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah disamakan
dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh negara asing,
di mana mereka berdagang.[6]
b) Dasar
Hukum Ijtihad
Dasar
hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunah, dan ijmak.
Dalil Alquran adalah surah an-Nisa' ayat 83,
surah asy-Syu'ara' ayat 38, surah al-Hasyr ayat 2, dan surah al-Baqarah ayat
59.
Dasar ijtihad dalam sunah ialah sabda Nabi SAW
yang artinya: "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya
dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala"
(HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka membenarkan
perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia dalam
keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain ialah hadis yang
menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke
Yaman. Pada intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu'az, dengan apa ia akan
memutuskan hukum. Lalu Mu'az menjawab bahwa jika ia tidak menemukan hukumnya di
dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW, ia akan memutuskan hukum dengan jalan ijtihad.
Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat
Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan
telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para
ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena
tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil
hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk
menjawab persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan senantiasa mengalami
perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad banyak dilakukan
dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang-orang yang hanya
bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya
ijtihad yang dipakai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara
ulama-ulama fikih, yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fikih.[7]
c) Fungsi
Ijtihad
Imam syafi‟I ra. (150-204 H) dalam kitabnya
Ar-risalah pernah, ketika menggambarkan
kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa
pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat
petunjuk tentang hukumnya”.
Menurut Satria Efendi, pernyataan Syafi‟i
tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang terkandung oleh Al-Quran yang
bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad.
Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam
upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa
Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti
Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Selanjutnya Satria Efendi menjelaskan bahwa
ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya
1.
Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke
tingkat hadis mutawattir seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami
redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak angsung
dapat dipahami.
2.
Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip
hukum yang terdapat dalam Al- Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan,
dan Maslahah mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum
yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang
terus berkembang dan bertambah denga tidak terbatas jumlahnya ijtihad adalah
untuk mendapatkan solusi hukum jika ada suatu masalah yang harus diterapkan
hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam Al- Quran maupun hadis.[8]
Jadi, jika dilihat dari fungsi ijtihad
tersebut, maka ijtihad mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam.
Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya
orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad.
d) Lapangan Ijtihad
Menurut
Abdul Wahab Khallaf, persoalan yang menjadi lapangan ijtihad adalah semua hal
yang bersifat zhanni (tidak pasti), baik dari segi datangnya dari Nabi maupun
segi maksud yang dikandung suatu ayat atau hadis. Dalam hal ini, lapangan
ijtihad dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :
1) Hadis
ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan seorang atau beberapa orang tetapi jumlah
perawinya tidak sampai ketingkat mutawatir. Keberadaan hadis ahad berasal dari
Nabi sa. Hanya sampai pada tingkat dugaan kuat (zhanni). Ini berarti bahwa
hadis ini mungkin saja palsu, meskipun dugaan tersebut hanya kecil. Untuk
mebuktikan hadis itu berasal dari Nabi, para mujtahid melakukan ijtihad dengan
menguji kebenaran jalur periwayatannya.
2) Redaksi
Al-Quran atau hadis yang mengandung pengertian Zhanni sehingga mungkin saja
mempunyai pengertian lain selain cepat diketahui ketika mendengan bunyi redaksi
itu. Ayat-ayat dan hadis-hadis yang demikian menjadi lapangan ijtihad dalam
rangka memahami maksudnya. Dalam hal ini, ijtihad mengambil peran untuk
menentukan makna mana yang sebenarnya dimaksudkan redaksi itu. Hal ini
berimplikasi pada muncul perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum yang
terkait dengan redaksi itu.
3) Semua
persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah,
semenatara itu tidak ada ijma‟ ulama yang menjelaskan hukum kasus tersebut.
Dalam menghadapi kasus seperti ini, ijtihad mempunyai peranan penting untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Jadi peranan ijtihad untuk meneliti dan menemukan hukum kasus yang terjadi
melalui pendekatan tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah al-
mursalah, „urf, istishab dan saddu al-zari‟ah. Berkaitan dengan hal ini, para
ulama berpeluang untuk berbeda pendapat satu sama lain.[9]
B.
TAKLID
a) Pengertian,
Jenis-jenis dan Hukum Taqlid
Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada,
yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.[10]
Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa
adalah:
الفروع ولافى الاْصول لافى للعلم طريقا وليس حجّّة بغير قبول التّقليد
“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan
tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan
(keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”
Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul
mendefinisikan:
دليل غيربقول الاْخذ هو التّقليد
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”[11]
Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang
perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
a) Menerima
atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b) Perkataan
tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits
tersebut.[12]
Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat :
Ø Yang pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang
awam yang tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal, pent)
dengan kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan firman
Allah SWT:
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)
Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni ‘ulama)
yang ia dapati lebih utama dalam ilmu dan waro '(kehati-hatian) nya, jika hal
ini sama pada dua orang (‘ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang
diantara keduanya.
Ø Yang kedua : terjadi pada seorang Mujtahid suatu kejadian
yang ia harus segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa
melakukan penelitian maka ketika
itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk bolehnya taqlid :
hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam ushuluddin (pokok
agama/aqidah, pent) yang wajib bagi seseorang untuk meyakininya; karena masalah
aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan taqlid hanya memberi faidah dzonn
(persangkaan).
Dan yang rojih (kuat) adalah bahwa yang
demikian bukanlah syarat, berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa
ta’ala :
تَعْلَمُونَ لاَ كُنتُمْ إِن الذِّكْرِ أَهْلَ فَاسْأَلُواْ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)
Ayat ini adalah dalam konteks penetapan
kerasulan yang merupakan ushuluddin, dan karena orang awam tidak mampu untuk
mengetahui (yakni ber-istinbath dan istidlal)1 kebenaran dengan
dalil-dalinya. Maka jika ia memiliki udzur dalam mengetahui kebenaran, tidaklah
tersisa (baginya)
kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
اسْتَطَعْتُمْ مَا اللَّهَ فَاتَّقُوا
“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian.” (QS. at-Taghobun : 16)
Taqlid ada dua
jenis, yakni :
Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab
tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2
dalam semua urusan agamanya.
Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam
masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut
dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur
(tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat
haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak
dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam
kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang
benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan
kesulitan yang sangat.
Adapun Hukum Taqlid terbagi 3 kelompok, yaitu:
1) Taqlid
yang Diharamkan
·
Taqlid yang semata-mata mengikuti adat
kebiasaan atau pendapat nenek moyang
atau orang terdahulu, yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
·
Taqlid kepada
orang aau sesuatu yang tidak diketaui kemampuan dan keahliannya, seperti
orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian
atau kekuatan berhala tersebut.
·
Taqlid kepada perkataan atau pendapat
seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat
itu salah.
2) Taqlid
yang Diperbolehkan
·
Dibolehkan bertaqlid kepada seoramg Mujtahid
dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan
dengan persoalan dan peristiwa, denga syarat yang bersangkutan harus selalu
berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Jadi sifatnya sementara.
·
Golongan awam atau orang yang berpendidikan
wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat Imam Madzhab.
3) Taqlid
yang Diwajibkan
·
Wajiib bertaqlid kepada orang yang perkataannya
dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu
perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.[13]
b) Pendapat
Empat Imam Tentang Taklid
Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid:
Ø Imam Abu
Hanifah (80-150H)
Beliau merupakan akal bakal ulama fiqh. Beliau
mengharamkan orang mengikuti fatwa seseorang jika orang yang berfatwa tersebut
tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
Ø Imam
Malik bin Anas (93-179H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada
seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau menpunyai kelebihan.
Prinsipnya, setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus
diteliti lebih dulu sebelum diamalkan.
Ø Imam As
Syafi’I (150-204H)
Beliau adalah murid Imam Malik. Beliau
mengatakan bahwa “beliau akan meninggalkan pendapatnya pada saat ia mengetahui
bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan Hadits Nabi SAW.
Ø Imam
Hambali (164-241H)
Beliau melarang bertaqlid kepada Imam manapun
dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para
Sahabatnya. Sedangkan yang berasal dari Tabi’in dan orang-orang sesudahnya agar
diselidiki terlebih dahulu. Mana yang benar diikuti, mana yang salah
ditinggalkan.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd yang
berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuasaan) atau dari kata al-jahd yang
berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran).
Sedangkan ijtihad menurut istilah ahli ushul
fiqih dikhususkan untuk mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari
dugaan kuat dari hukum syara.sehingga dia merasa tidak mampu lagi untuk berbuat
lebih dari yang telah diusahakannya. Dasar hukum ijtihad ialah dalil-dalil yang
ada dalam Al-Qur'an, sunah, dan ijmak.
Fungsi ijtihad adalah menguji kebenaran hadis
yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis Ahad dan
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Lapangan ijtihad dapat dikategorikan menjadi 3
macam, yaitu hadis ahad, redaksi Al- Quran atau hadis yang mengandung
pengertian Zhanni, dan Semua persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam
Al-Quran dan Sunnah.
Taqlid adalah mengambil kesimpulan
dari perkataan orang lain tanpa dalil.
Taqlid ada 3 hukum; taqlid yang
diharamkan, yang dibolehkan, dan taqlid yang diwajibkan
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah tentang “Ijtihad
dan Taklid” yang telah Kami paparkan.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang
membangun dari pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami,
semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004)
Atho‟
ibn kholil, Taisir al-Wushul ilal ushul
Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, Terjemah Al- Ushul min ‘ilmil Ushul
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul
Fikih, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).
http://islamicinemaker.blogspot.co.id/2012/01/pendapat-4-imam-madzhab-tentang-sikap_29.html
http://miftahiqtishoduna.blogspot.co.id/2014/05/makalah-ijtihad-ushul-fiqh.html
http://pelajaranfiqih.blogspot.co.id/2009/03/dasar-hukum-ijtihad.html
http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-fungsi-contoh-ijtihad.html
http://zairifblog.blogspot.co.id/2010/11/fungsi-ijtihad.html
[3] Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, Terjemah Al-Ushul min ‘ilmil Ushul (tholib.wordpress.com,
2007) hlm. 130
[4] Atho‟ ibn kholil, Taisir al-Wushul ilal ushul hlm. 499
[5] Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, … hlm 130-131
[10] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 323.
[11] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 324.
[12] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h.132.
[13] Totok Jumantoro dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, ……, h. 326.
[14] http://islamicinemaker.blogspot.co.id/2012/01/pendapat-4-imam-madzhab-tentang-sikap_29.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar