Rabu, 13 Mei 2020

Nasakh - Makalah Ushul Fiqih

NASAKH

 

Dosen Pembimbing : H. Suryadi Sariyan, MA

 

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Ushul Fiqih

 

 

 

 

 

 

 

 

 

OLEH KELOMPOK 10:

 

MUHAMMAD MAULADI

 

 

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2019/2020


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga Kami dapat merampungkan penyusunan makalah Ushul Fiqih “Nasakh” tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin Kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada Kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan Kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

 

 

Pekanbaru, 27 November 2019

 

 

Kelompok 10

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1

A.    Latar Belakang.............................................................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah........................................................................................................ 1

C.    Tujuan............................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3

A.     PENGERTIAN NASAKH............................................................................................ 3

B.      SYARAT-SYARAT NASAHK.................................................................................... 5

C.     JENIS-JENIS NASAKH.............................................................................................. 6

D.     MACAM-MACAM NASIKH...................................................................................... 8

E.      BENTUK-BENTUK NASIKH.................................................................................... 9

F.      KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH................................... 11

G.     CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH............................................. 12

BAB III PENUTUP................................................................................................................. 14

A.    KESIMPULAN........................................................................................................... 14

B.     SARAN......................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma tmanusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain.

Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.[1]

 

B.     Rumusan Masalah

1)      Apa yang dimaksud dengan nasakh?

2)      Apa saja syarat-syarat nasakh?

3)      Apa saja jenis-jenis nasakh?

4)      Apa saja macam-macam nasakh?

5)      Bagaimana bentuk-bentuk dari nasakh?

6)      Bagaimana kedudukan dan hikmah keberadaan nasakh?

7)      Bagaimana cara mengetahui nasikh?

 

C.     Tujuan

1)      Mengetahui pengertian nasakh.

2)      Mengetahui syarat-syarat nasakh.

3)      Mengetahui jenis-jenis nasakh.

4)      Mengetahui macam-macam nasakh.

5)      Mengetahui bentuk-bentuk dari nasakh.

6)      Mengetahui kedudukan dan hikmah keberadaan nasakh.

7)      Memahami cara mengetahui nasikh.


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    PENGERTIAN NASAKH

Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata nasakh dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan.[2]. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang dating kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.[3]

Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:

1)      Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:

رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي

“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”

2)      Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:

رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر

“Mengangkat/menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.[4]

Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1)      Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang ditetapkan kemudian.

2)      Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.

3)      Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[5]

Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian (mutaakhkhirin).  Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[6]

Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum.[7]

 

B.     SYARAT-SYARAT NASAHK

Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui syarat-syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1)      Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat yang nasikh (menghapus).

2)      Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat, datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi).

3)      Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah.

4)      Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.[8]

Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila:

a.       Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.

b.      Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.

Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.[9]

 

C.     JENIS-JENIS NASAKH

Masalah pertama yang ingin  disoroti  dalam  bagian  ini ialah  adanya naskh  antara  satu  syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat  kita  amati  antara syari'at hukum agama Islam  dengan syari'at  Nabi Isa  AS yang lebih dulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita katakan bilamana  kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan  sendirinya  kita mengaku   adanya   naskh,   karena syari'at-syari'at  sebelumnya  tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak  akan  kita  berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.

Jika   sudah   melihat  adanya  nasikh-mansukh  antar syari'at,  di dalam satu syari'at terjadi nasikh-mansukh  antara  hukum  yang  satu dengan hukum yang lainnya. Kembali pada syari'at Islam sendiri, akan menemui  beberapa  kasus. Seperti  Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain. Keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram[5]. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.

 Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa memang  terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan  hukum  yang  sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain. 

Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut  segi formalnya.  Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif  (sharih)  dan  inklusif  (dlimmi). Untuk  yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum  kiblat.  Ketentuan yang  nasikh (pengganti)  ditetapkan  secara  jelas.

Sedangkan contoh lain misalnya hukum ziarah kubur. Didalam  hadits  disebutkan,  pernah dilarang dalam melakukan ziarah kubur. Selanjutnya, ayat itu ternasikh oleh ayat yang memperbolehkannya seorang ziarah kubur. Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh  yang  bersifat   dlimmi   tidak   memuat  penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.[10]

 

D.    MACAM-MACAM NASIKH

1)      Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran

Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai jatuhnya. Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat iddah ini ternasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.

2)      Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah

Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:

·         Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad. Menurut jumhur tidak diperbolehkan, karena Al-Quran itu mutawatir, harus diyakini. Sedangkan hadist ahad masih diragukan.

·         Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini diperbolehkan menurut imam malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.

3)      Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran

Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul mukaddis itu ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang menunjukkan demikian itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.

4)      Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah

Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:

a)      Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.

b)      Ahad dinasihkan dengan ahad pula.

c)      Ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.

d)      Mutawatir dinasikhkan dengan ahad.[11]

 

E.     BENTUK-BENTUK NASIKH

Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:

1.      Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.

Contoh : Ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:

 

كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]

2.      Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.

Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal :66]

3.      Menasikhkan tilawah disamping tetapnya hukum.

Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya. Pembalasan itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha Gagah lagi Maha Bijaksana.

 

F.      KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH

Masalah naskh bukanlah  sesuatu  yang  berdiri  sendiri.  Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu  Ushul  Fiqh.  Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan  pendapat tentang kedudukan naskh.  naskh berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)[12]. Dilihat  dari jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari  segi  formalnya maka  fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari  segi  materinya,  maka  fungsi   penjelasannya   lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu  fungsi  pokok bahwa  naskh  merupakan   salah   satu interpretasi hukum.

Hikmah Keberadaan Naskh Menurut Manna Al-Oaththan terdapat empat ketentuan naskh, yaitu:

1)      Menjaga kemaslahatan hamba.

2)      Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.

3)      Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian di hapus.

4)      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.[13]

 

G.     CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH

Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.

1)      Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:

Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah.mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).

2)      Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.

3)      Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.

Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.

Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).[14]

 

 


 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Nasikh menurut bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Nasikh mengandung beberapa makna yaitu: menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan menukilkan. Sedangkan menurut istilah, ialah membuang hukum syar’i dengan kitab syar’i. Ulama’ mutaqoddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan-ketentuan hukum, tapi juga mencakup pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas. Sebaliknya ulama’ mutaakhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh, mukhossim, dan muqoyyid sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian.

Adapun bagaimana cara mengetahui nasikh  adalah harus melalui banyak jalan, diantaranya: naskh yang sharih dari Rosulullah SAW, keterangan para sahabat, perlawqanan yang tidak dapat dikompromikan, serta diketahui tarih turunnya ayat-ayat itu. Masalah nasikh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul fiqih.

 

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah tentang “Nasakh” yang telah Kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.


 


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Djalal. Ulumul Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012)

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah

Press, 1997)

Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran. (Bekasi: Media Grafika, 2002)

https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh

Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran. (Jakarta: PT Lentera Basritama 2002)

M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994)

Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 2. (Jakarta: PT Rineka Cipta. 1995)

Muhammad Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,

1998)

http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/

Rosihon Anwar, Ulum Al-quran. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008)

Usman. Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: TERAS, 2009)

 



[1] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), hlm. 143

[2] Usman. Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 256.

[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997), hlm. 391.

[4] Academia.edu, “Hadis Nasikh Mansukh” hal. 3, diakses dari https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 29 November 2019

[5] Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ pada tanggal 29 November 2019

[6] Muhammad Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 40.

[7] Abdul Djalal. Ulumul Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), hlm. 122.

[8] Usman. Ulumul Qur’an, hlm. 262.

[9] Academia.edu, “Hadis Nasikh Mansukh” hal. 5, diakses dari https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 29 November 2019.

[10] Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran. (Jakarta: PT Lentera Basritama 2002), hlm. 172-173.

[11] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 2. (Jakarta: PT Rineka Cipta. 1995), hlm. 36-37.

[12] Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran. (Jakarta: PT Lentera Basritama 2002), hlm. 174.

[13] Rosihon Anwar, Ulum Al-quran. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 179.

[14] Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran. (Bekasi: Media Grafika, 2002), hlm. 53.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar