NASAKH
Dosen Pembimbing : H. Suryadi Sariyan, MA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Ushul
Fiqih
OLEH KELOMPOK 10:
MUHAMMAD MAULADI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga Kami dapat merampungkan
penyusunan makalah Ushul Fiqih “Nasakh” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin Kami upayakan dan didukung bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam
merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada Kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini
dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan Kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.
Pekanbaru, 27 November 2019
Kelompok 10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................................ 1
C. Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A.
PENGERTIAN NASAKH............................................................................................ 3
B.
SYARAT-SYARAT NASAHK.................................................................................... 5
C.
JENIS-JENIS NASAKH.............................................................................................. 6
D.
MACAM-MACAM NASIKH...................................................................................... 8
E.
BENTUK-BENTUK NASIKH.................................................................................... 9
F.
KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH................................... 11
G.
CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH............................................. 12
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 14
A. KESIMPULAN........................................................................................................... 14
B. SARAN......................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah
kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan
petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di dunia dan di
akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada
pertentangan satu dengan lainnya. Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan
pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma
tmanusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain
lain.
Al Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada yang
dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang
khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas
lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para
ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut.
Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.[1]
B.
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud dengan nasakh?
2)
Apa saja syarat-syarat nasakh?
3)
Apa saja jenis-jenis nasakh?
4)
Apa saja macam-macam nasakh?
5)
Bagaimana bentuk-bentuk dari nasakh?
6)
Bagaimana kedudukan dan hikmah keberadaan nasakh?
7)
Bagaimana cara mengetahui nasikh?
C.
Tujuan
1)
Mengetahui pengertian nasakh.
2)
Mengetahui syarat-syarat nasakh.
3)
Mengetahui jenis-jenis nasakh.
4)
Mengetahui macam-macam nasakh.
5)
Mengetahui bentuk-bentuk dari nasakh.
6)
Mengetahui kedudukan dan hikmah keberadaan nasakh.
7) Memahami cara mengetahui nasikh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN NASAKH
Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an
mengemukakan arti kata nasakh dalam beberapa makna, diantaranya adalah
menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain, mengganti
atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan.[2]. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah
membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan,
secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun
pembatalan sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau: Melahirkan
dalil yang dating kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil
yang lebih dulu.[3]
Adapun menurut
istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
1)
Menurut Manna’
Khalil al-Qaththan adalah:
رفع
الحكم الشرعي بخطاب شرعي
“Mengangkat atau
menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
2)
Menurut Muhammad
‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
“Mengangkat/menghapus
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.[4]
Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H)
memperluas arti Nasikh sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1)
Pembatalan hukum
yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2)
Pengecualian hukum
yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian. Penjelasan
yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
3)
Penetapan syarat terhadap
hukum terdahulu yang belum bersyarat.[5]
Hal yang demikian
luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian (mutaakhkhirin). Menurut
mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna
membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum
yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan
terakhir.[6]
Pengertian mansukh
menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun
disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’, mansukh ialah hukum
syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan
dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.
Tegasnya, dalam
mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan
diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang menghendaki
perubahan dan penggantian hukum.[7]
B.
SYARAT-SYARAT NASAHK
Dalam
pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui syarat-syarat
nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1)
Adanya mansukh
(ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa
hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi dengan
waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka
hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang
demikian itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak
bersifat “ajeg” secara nashshi, dan
ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat yang nasikh
(menghapus).
2)
Adanya mansukh bih
(ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat, datangnya dari Syari’
(Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu
dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat dilakukan
dengan menggunakan ijma’ (konsensus)
ataupun qiyas (analogi).
3)
Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu
Allah. Kadang-kadang ketentuan hukum
yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah.
4)
Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus
itu ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh
atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan atau yang
dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.[8]
Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy
mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila:
a. Adanya
dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat dikompromikan,
serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
b. Ketentuan
hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada ketetapan
hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
Harus
diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga
yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan
kemudiannya sebagai nasikh.[9]
C.
JENIS-JENIS NASAKH
Masalah pertama yang
ingin disoroti dalam bagian ini
ialah adanya naskh antara satu syari'at
dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara
syari'at hukum agama Islam dengan
syari'at Nabi Isa AS yang lebih dulu ada. Dalam
hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan
Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena
syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi
dan semua hukumnya pun
tidak akan kita berlakukan, sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
Jika sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar
syari'at, di dalam satu syari'at terjadi
nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan
hukum yang lainnya. Kembali pada syari'at Islam sendiri,
akan menemui beberapa kasus. Seperti Sesudah
hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas.
Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain. Keharusan
berkiblat ke arah Bait al-Haram[5].
Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus-kasus yang
digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Di bidang lain ada pula
perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri, tentang
minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa
memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern
dalam syari'at Islam. Beberapa
ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian
dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum
lain.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi
formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang
bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimmi).
Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan
mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh
(pengganti) ditetapkan secara jelas.
Sedangkan contoh lain misalnya hukum ziarah kubur.
Didalam hadits disebutkan, pernah dilarang
dalam melakukan ziarah kubur. Selanjutnya, ayat itu ternasikh oleh ayat yang
memperbolehkannya seorang ziarah kubur. Berbeda dengan hal tersebut diatas,
nasikh yang bersifat dlimmi tidak memuat penegasan
didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup
jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.[10]
D.
MACAM-MACAM NASIKH
1)
Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran
Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai
jatuhnya. Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun.
Ayat iddah ini ternasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan
sepuluh hari.
2)
Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:
·
Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist
Ahad. Menurut jumhur tidak diperbolehkan, karena Al-Quran itu mutawatir, harus
diyakini. Sedangkan hadist ahad masih diragukan.
·
Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist
Mutawatir. Hal ini diperbolehkan menurut imam malik, abu hanifah dan ahmad bin
hambal.
3)
Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran
Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul mukaddis
itu ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang
menunjukkan demikian itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.
4)
Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:
a)
Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.
b)
Ahad dinasihkan dengan ahad pula.
c)
Ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.
d)
Mutawatir dinasikhkan dengan ahad.[11]
E.
BENTUK-BENTUK NASIKH
Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk,
yaitu:
1.
Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.
Contoh : Ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan
pernikahan. Aisyah berkata:
كَانَ فِيمَا
أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ
رَسُولُ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ
الْقُرْآنِ.
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di
antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”,
kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang
dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
2.
Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:
يَآأَيُّهَا
النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ
عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para
mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus
orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada
orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”. [Al Anfal
:65]
Kemudian hukum
ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم
مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada
diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” [Al Anfal :66]
3.
Menasikhkan tilawah disamping tetapnya hukum.
Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh
sebagian riwayat dengan bunyi:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا
زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ
حَكِيْمٌ
Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya.
Pembalasan itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha Gagah lagi Maha Bijaksana.
F.
KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH
Masalah naskh
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia
merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan
Ilmu Ushul Fiqh. Dalam kaitan ini Imam Subki
menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan
naskh. naskh berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)[12].
Dilihat dari jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika
ditinjau dari segi formalnya maka fungsi
pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau
dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih
menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya
suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu
interpretasi hukum.
Hikmah Keberadaan Naskh Menurut Manna
Al-Oaththan terdapat empat ketentuan naskh, yaitu:
1)
Menjaga kemaslahatan hamba.
2)
Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada
tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu
sendiri.
3)
Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara
adanya perintah yang kemudian di hapus.
4)
Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti
mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam
nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.[13]
G. CARA
MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat
dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1)
Keterangan tegas dari nabi atau sahabat,
seperti hadis yang artinya:
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang
Muhammad telah.mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini
berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada
hari akhir. (Muslim,
Abu Daud, dan Tirmizi).
2)
Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat
ini nasakh dan ayat itu mansukh.
3)
Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian
turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan
ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak
kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan
faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi,
berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya
terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal
(pokok).[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasikh menurut bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang.
Nasikh mengandung beberapa makna yaitu: menghilangkan, mengganti, memalingkan,
dan menukilkan. Sedangkan menurut istilah, ialah membuang hukum syar’i dengan
kitab syar’i. Ulama’ mutaqoddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar’i yang
ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan-ketentuan hukum, tapi juga
mencakup pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas. Sebaliknya ulama’
mutaakhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam
perbedaan antara nasikh, mukhossim, dan muqoyyid sehingga pengertian naskh
terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian.
Adapun bagaimana cara mengetahui nasikh adalah harus
melalui banyak jalan, diantaranya: naskh yang sharih dari Rosulullah SAW,
keterangan para sahabat, perlawqanan yang tidak dapat dikompromikan, serta
diketahui tarih turunnya ayat-ayat itu. Masalah nasikh bukanlah sesuatu yang
berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu tafsir dan
ilmu ushul fiqih.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang “Nasakh” yang telah Kami paparkan.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang
membangun dari pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami,
semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal. Ulumul Qur’an.
(Surabaya: Dunia Ilmu, 2012)
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah
Press, 1997)
Abu Anwar, Sebuah
Pengantar Ulum Al-quran. (Bekasi:
Media Grafika, 2002)
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh
Ibnu Qoyyim, Belajar
Mudah Ulum Al-quran. (Jakarta:
PT Lentera Basritama 2002)
M. Quraish Shihab. Membumikan
Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994)
Mana’ul Quthan, Pembahasan
Ilmu Al-Quran 2.
(Jakarta: PT Rineka Cipta.
1995)
Muhammad Chirzin. Al Qur’an dan
Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
1998)
http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/
Rosihon
Anwar, Ulum Al-quran. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008)
Usman. Ulumul Qur’an.
(Yogyakarta: TERAS, 2009)
[1] M. Quraish
Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), hlm.
143
[2] Usman. Ulumul
Qur’an. (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm.
256.
[3] Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, (Bandung: Gema
Risalah Press, 1997), hlm. 391.
[4] Academia.edu,
“Hadis Nasikh Mansukh” hal. 3, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 29 November 2019
[5] Referensi
Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ pada tanggal 29 November 2019
[6] Muhammad
Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an.
(Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 40.
[7] Abdul Djalal. Ulumul
Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), hlm.
122.
[8] Usman. Ulumul
Qur’an, hlm. 262.
[9] Academia.edu,
“Hadis Nasikh Mansukh” hal. 5, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 29 November 2019.
[10] Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran. (Jakarta: PT Lentera Basritama 2002), hlm. 172-173.
[11] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 2. (Jakarta: PT Rineka Cipta. 1995), hlm. 36-37.
[12] Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran. (Jakarta: PT Lentera Basritama 2002), hlm. 174.
[13] Rosihon Anwar, Ulum Al-quran. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 179.
[14] Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran. (Bekasi: Media Grafika, 2002), hlm. 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar