ISTINBATH HUKUM MELALUI PENDEKATAN BAHASA
Dosen Pembimbing : H. Suryadi Sariyan, MA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Ushul
Fiqih
OLEH KELOMPOK 11:
Muhammad Mauladi NIM : 11840114094
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga Kami dapat merampungkan
penyusunan makalah Ushul Fiqih “Istinbath Hukum Melalui Pendekatan Bahasa”
tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin Kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu
tidak lupa Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
Kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada Kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini
dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan Kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.
Pekanbaru, 27 November 2019
Kelompok 11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................................ 1
C. Tujuan............................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 2
A.
PENDEKATAN............................................................................................................ 2
B. PENDEKATAN KEBAHASAAN............................................................................... 3
C. BENTUK-BENTUK PENDEKATAN KEBAHASAAN........................................... 4
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 11
A. KESIMPULAN........................................................................................................... 11
B. SARAN......................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah
ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi,
tetapi adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya
berupa prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru
yang belum ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu
mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam
masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam
Al-Qur’an atau Sunnah.
Dengan jalan istinbath itu hukum
Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan terjadinya dinamika
perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan menegakkan ketertiban
dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing
individu yang berkepentingan secara jelas.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana
pendekatan yang dipakai oleh para ahli Fiqih?
2) Bagaimana
pendekatan melalui kebahasaan?
3) Bagaimana
bentuk-bentuk pendekatan dalam kebahasaan?
C. Tujuan
1) Memahami pendekatan
yang dipakai oleh para ahli Fiqih.
2) Memahami
pendekatan melalui kebahasaan.
3) Memahami
bentuk-bentuk pendekatan dari kebahasaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENDEKATAN
Al-Qur’an
dan As-Sunnah merupakan merupakan sumber hukum Islam yang bersifat menyeluruh. Al-Qur’an
juga merupakan sumber dan rujukan pertama bagi syari’at. Karena terdapat
kaidah-kaidah bersifat global beserta rinciannya. Keduanya merupakan obyek
kajian Ushul Fiqih.
Al-Qur’an
diturunkan di Arab dan berbahasa Arab, untuk memahami teks-teks yang berbahasa
Arab para ulama’ menyusun semantik yang digunakan dalam praktik penalaran fiqih
karena bahasa Arab menyampaikan pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai
tingkat kejelasannya.
Sebagaimana
yang dikutib oleh Bahrissalim istinbath berarti mengeluarkan
hukum dan dalil. Jalan istinbath memberikan kaidah-kaidah yang
bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil. Seorang ahli hukum harus
mengetahuii prosedur cara penggalian hukum (thuruq al istinbath).[1]
Menurut
Al-Syatibi ada tiga pendekatan yang
dipakai para mujtahid dalam memahami maqashid al-syari’ah.
·
Pertama, pendekatan
yang berorientasi pada tekstual dan menolak penalaran qiyas.
·
Kedua, pendekatan
yang mendasarkan makna di balik nash dan tidak terikat dengan makna
tekstualnya.
·
Ketiga, penggabungan
kedua pendekatan yakni para mujtahid menemukan maksud dengan tetap
memperhatikan lafal sekaligus tidak mengabaikan makna dan memperhatikan makna
bash tanpa mengabaikan lafal.[2]
Para
ulama’ Ushul membahas masalah bahasa dan pengertian-pengertiannya terlebih
dahulu sebab hal tersebut dapat memberikan pengertian tertentu yang memberikan
pandangan yang lebih tepat.
B.
PENDEKATAN KEBAHASAAN
Istinbath
secara bahasa adalah mengeluarkan, sedangkan menurut istilah mengeluarkan
makna-makna dari nash-nash (yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan
kemampuan (potensi) naluriah.
Nash ada dua macam, yaitu:
a)
Berbentuk bahasa (lafdziyah)
b)
Tidak berbentuk bahasa tetapi
dimaklumi (maknawiyah)
Kaidah
lughowiyah adalah kaidah-kaidah yang dipakai oleh ulama/ushul (ushuliyyin)
berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para
ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari
kesusasteraaan Arab.[3]
Pendekatan melalui kaidah-kaidah
kebahasaan adalah untuk mengetahui dalil-dalil yang am dan khas, muthalaq dan muqayyad
mujmal dan mubayyan, muhkam, mufassar, mutasyabih, nash,
zhahir, nasikh, mansukh, amr, nahy dan sebagainya. Dalam kaidah-kaidah
kebahasaan dikemukakan cara-cara menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan
secara dhahir, sehingga seluruh dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah dapat dipahami serta diamalkan. Persoalan
hukum dalam pendekatan bahasa berhubungan langsung dengan nash-nash dalam
Al-Qur’an dan Sunnah.[4]
C.
BENTUK-BENTUK PENDEKATAN KEBAHASAAN
a)
Amar (perintah)
Menurut
mayoritas ulama’ Ushul Fikih, amar adalah suatu tuntutan
(Perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[5]
Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’ menyatakan
bahwa perintah untuk melakukan suatu perbuatan disampaikan dalam
berbagai gaya bahasa atau redaksi antara lain:
1)
Perintah tegas dengan menggunakan
kata amara dan seakar-akarnya
2)
Perintah dalam bentuk pemberitaan
bahwa perbuatan diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba
3)
Perintah dengan memakai redaksi
pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah.
4)
Perintah dengan memakai kata kerja
perintah secara langsung.
5)
Perintah dengan menggunakan kata
kerja mudhari’ yang disertai oleh lam al amr (huruf
yang berarti perintah.
6)
Perintah dengan menggunaka kata faradha (mewajibkan)
7)
Perintah dalam bentuk penilaian
bahwa perbuatan itu adalah baik.
8)
Perintah dalam bentuk menjanjikan
kebaikan yang banyak atas pelakunya
Hukum-hukum
yang dibentuk dari amr:
1)
Menunjukkan hukum wajib
2)
Menunjukkan kebolehan melakukan
sesduatu
3)
Sebagai anjuran
4)
Untuk melemahkan
5)
Sebagai ejekan dan penghinaan
Kaidah-kaidah[6] yang berhubungan dengan amr antara lain:
·
Pertama, kaidah yang
menyatakan bahwa pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban kecuali
ada indikasi atau dalil yang memalingkan dari hukum semula.
Hal tersebut telah disepakati ahli bahasa dan didasarkan
atas ayat 62 Surat An-Nur yang mengancam akan menyiksa orang-orang yang
menyalahi perintah Allah, adanya ancaman siksaan itu menunjukkan bahwa perintah
itu wajib dilaksanakan.
·
Kedua, دلالة الامر على التكرار او الوحدة Suatu perintah harus dilakukan berulang kali
atau cukup dilakukan sekali saja. Menurut jumhur ulama’ ushul fiqih, pada
dasarnya suatu perintah tidak menunjukkkan harus berulang kali dilakukan
kecuali ada dalil, karena perintah pada dasarnya menunjukkan perlu terwujudnya
perbuatan yang diperintahkan dan perbuatan itu bisa terwujud meskipun
perintahnya hanya dilakukan satu kali.[7]
·
Ketiga, دلالة الامر على الفوز او التراخى Perintah harus dilakukan segera atau boleh ditunda-tunda.
Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama
tidak ada dalil lain yang menunjukkan, karena yang dimaksud dari perintah itu
sendiri adalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.[8]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa amr mengandung
tiga komponen, yaitu Al-Amir (yang
memerintah), Al-Ma’mur alaihi (mukallaf), dan Al-Mubin (aturan).[9]
Jumhur Ulama betpendapat bahwa lafal amr diciptakan
untuk memberi pengertian wajib, selama lafal amr tetap dalam
kemuthlaq-annya menunjuk pada arti haqiqi, yakni wajib. Jika
ada dalil atau qarinah yang memalingkannya dari makna
hakikatnya maka petunjuk lafal amr dapat berubah sesuai
perubahan dalil atau qarinah yang menyertainya.[10]
Contoh
firman Allah yang menunjukkan perintah:
...وا قيموا الصلاة وءاتو الزكاة ...
“...dan dirikanlah solat dan
tunaikanlah zakat...”
Ayat
tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan
zakat.
Amr dalam
Ushul Fiqih merupakan tuntutan dari Allah kepada hamba-Nya untuk memenuhi suatu perbuatan yang pada dasarnya menunjukkan
hukum wajib tanpa terikat dengan waktu dan kuantitas pelaksanaannya. Sehingga
semua perbuatan yang diperintah oleh syari’at bernilai baik.[11]
b)
Nahi (Larangan)
Menurut
bahasa nahi berarti larangan. Sedangkan menurut istilah, nahi adalah larangan
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah tingkatannya.
طلب الكف عن الفعل على جهة الاستعلاء بالصيغة الدال عليه
Larangan
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannnya kepada
pihak yang lebih tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Menurut
al Ghazali dan al Amidi, seperti yang dikutip oleh Wahbah, makna nahi ada
tujuh macam yaitu tahrim, karihah, doa, irsyad, tahkir, bayanul
“aqibah dan al ya’.[12]
Muhammad Khudari Bik menyebutkan bahwa Allah mengggunakan ragam
bahasa untuk menunjukkan suatu larangan.
1)
Larangan secara tegas dengan
memakai kata naha atau kata lain yang seakar. Secara
bahasa naha berarti melarang.
2)
Larangan dengan menjelasakan bahwa
suatu perbuatan diharamkan.
3)
Larangan dengan menegaskan bahwa
perbuatan itu tidak halal dilakukan.
4)
Larangan dengan menggunakan kata
kerja mudhari’ yang disertai huruf lam.
5)
Larangan dengan cara mengancam
pelaku dengan siksaan yang pedih.
6)
larangan dengan mensifati perbuatan
itu dengan keburukan.
7)
Larangan dengan cara meniadakan
wujud perbuatan itu sendiri.
Hukum
yang ditunjukkan dalam bentuk Larangan
1)
Untuk menunjukkan hukum haram
2)
Sebgai anjuran meninggalkan
3)
Penghinaan
4)
Untuk menyatakan permohonan
Pada
dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang
dilarang itu kecuali ada indikasi yang menunjukkkan
hukum lain.
Suatu
larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang
jika dikerjakan. Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh kaedah
tersebut disepakati oleh para ulama’ Ushul Fiqih jika larangan tertuju kepada
zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak di luar
esensi perbuatan. Suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah
terhadap kebalikannya.
Nahi
merupakan suatu larangan mengerjakan sesuatu atau hal, pada dasarnya mempunyai
dampak hukum haram, namun ada beberapa pendapat yang berselisih antara haram
dan makruh. Nahi yang berkaitan dengan masalah fasad menunjukkan
bahwa nahi mengimplikasikan ke fasad an dari
sesuatu yang dilarang.[13]
c)
Takhyir (Memberi pilihan)
Menurut Abd.
Al Karim Zaidan, bahwa yang dimaksud takhyir adalah
ما خير الشارع المكلف بين فعله وتركه
“Syar’i (Allah
dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan”.
Hukum yang
ditunjukkan oleh ayat atau hadis dalam
bentuk takhyir adalah halal atau mubah (boleh
dilakukan), dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika
ditinggalkan.[14]
Menurut
khudari Bik, untuk memberikan pilihan antara melakukan atau tidak, Al-Qur’an memberikan berbagai cara, antara lain:[15]
1)
Menyatakan bahwa suatu
perbuatan halal dilakukan, seperti firman Allah dalam surat Al
Baqarah ayat 187 yang menjelaskan tentang kebolehan “halal” menggauli
istri di malam hari saat bulan ramadhan.
2)
Pembolehan dengan menafikan dosa
dari suatu perbuatan, seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 173.
3)
Pembolehan dengan menafikan
kesalahan dari melakukan suatu perbuatan, seperti dalam firman Allah dalam
surat Al Baqarah ayat 235 tentang pembolehan meminang wanita yang dalam iddah wafat,
tetapi dengan sindiran bukan terus terang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an sebagai sumber hukum mempunyai struktur bahasa yang berbeda dengan
sumber-sumber lain. Dalam mengistinbathkan hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an
harus memperhatikan berbagai struktur bahasa yang dipergunakan. Selain Al-Qur’an
sumber hukum hukum lain adala as Sunnah, Sunnah Rasulullah mendukung dan
menguatkan hukum-ukum yang ada dalam Al-Qur’an.
Dalam
menjelaskan hukum, Al-Qur’an menggunakan sighat yang berbeda, singga diperlukan
metode istinbath kebahsaan dalam menentukan suatu hukum. Adakalanya penjelasan
hukum dalam Al-Qur’an ada yang memerlukan penjelasan lain namun adapula yang
tidak memerlukan penjelasan-penjelasan lain, karena ayat Al-Qur’an bersifat mujmal sehingga memerlukan tafsir
atau ta’wil, dan ada pula yang bersifat mthlak sehingga memerlukan taqyid.
Perbedaan
penetapan hukum hukum oleh para Ulama’ tetap ada, karena sudut pandang para
ulama berbeda-beda namun tetap mengarah untuk mewujudkan tatanan umat yang
hidup dalam naungan rahmatan lil ‘alamin.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah tentang “Istinbath Hukum Melalui
Pendekatan Bahasa”
yang telah Kami paparkan. Kami menyadari
makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari
pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami, semoga makalah ini
dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim, As Sulam Jus 2, (Jakarta:
Sa’adiyah Putra, 2007)
Bahrissalim, Ruang
Lingkup Ushul Fiqih, dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum
Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008)
Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995)
M. Fauzan Zenrif, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008)
M. Mawardi Djalaluddin, Membaca Maksud Tuhan Menurut Syariat, dalam buku
Syamsul Bahri dkk, Metodologi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008)
Nasrun Haroen. Ushul Fiqih 1, (Jakarta: Logos, 1997)
Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2012)
Sofyan, “Sighot Taklif: Al Amr”, dalam Syamsul
Bahrin, Metodologi Hukum
Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008)
Suwarjin, Ushul
Fiqih,(Yogyakarta: Teras, 2012)
Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta:
Teras, 2008)
[1] Bahrissalim, Ruang
Lingkup Ushul Fiqih, dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 55.
[2]
M. Mawardi Djalaluddin, Membaca Maksud Tuhan
Menurut Syariat, dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum
Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 121.
[3]
Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 3.
[4] Nasrun Haroen. Ushul Fiqih 1, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 11.
[5] Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2012), hlm. 178.
[6] Abdul Hamid Hakim, As Sulam Jus
2, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 2007), hlm. 12-14.
[7] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih
Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 43.
[8]
Satria
Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Predana Media Group,
2012), hlm. 186.
[9] Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum
Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 163.
[10] Suwarjin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 196.
[11] Sofyan, “Sighot Taklif: Al Amr”,
dalam Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras,
2008), hlm. 174.
[12] Suwarjin, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Teras,
2012), hlm. 197.
[13] M. Fauzan Zenrif, Metodologi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.185.
[14] Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2012), hlm. 195.
[15] Satria Effendi, Ibid., hlm.
195.