Rabu, 13 Mei 2020

Istinbath Hukum Melalui Pendekatan Bahasa - Makalah Ushul Fiqih

ISTINBATH HUKUM MELALUI PENDEKATAN BAHASA

 

Dosen Pembimbing : H. Suryadi Sariyan, MA

 

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Ushul Fiqih

 

 

 

 

 

 

 

 

 

OLEH KELOMPOK 11:

 

Muhammad Mauladi                      NIM : 11840114094

 

 

 

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2019/2020


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga Kami dapat merampungkan penyusunan makalah Ushul Fiqih “Istinbath Hukum Melalui Pendekatan Bahasa” tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin Kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada Kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan Kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

 

 

Pekanbaru, 27 November 2019

 

 

Kelompok 11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1

A.    Latar Belakang.............................................................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah........................................................................................................ 1

C.    Tujuan............................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 2

A.     PENDEKATAN............................................................................................................ 2

B.      PENDEKATAN KEBAHASAAN............................................................................... 3

C.     BENTUK-BENTUK PENDEKATAN KEBAHASAAN........................................... 4

BAB III PENUTUP................................................................................................................. 11

A.    KESIMPULAN........................................................................................................... 11

B.     SARAN......................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv

 


 


BAB I
PENDAHULAN

A.    Latar Belakang

Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, tetapi adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah.

Dengan jalan istinbath itu hukum Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang berkepentingan secara jelas.

 

B.     Rumusan Masalah

1)      Bagaimana pendekatan yang dipakai oleh para ahli Fiqih?

2)      Bagaimana pendekatan melalui kebahasaan?

3)      Bagaimana bentuk-bentuk pendekatan dalam kebahasaan?

 

C.     Tujuan

1)      Memahami pendekatan yang dipakai oleh para ahli Fiqih.

2)      Memahami pendekatan melalui kebahasaan.

3)      Memahami bentuk-bentuk pendekatan dari kebahasaan.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    PENDEKATAN

Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan merupakan sumber hukum Islam yang bersifat menyeluruh. Al-Qur’an juga merupakan sumber dan rujukan pertama bagi syari’at. Karena terdapat kaidah-kaidah bersifat global beserta rinciannya. Keduanya merupakan obyek kajian Ushul Fiqih.

Al-Qur’an diturunkan di Arab dan berbahasa Arab, untuk memahami teks-teks yang berbahasa Arab para ulama’ menyusun semantik yang digunakan dalam praktik penalaran fiqih karena bahasa Arab menyampaikan pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya.

Sebagaimana yang dikutib oleh Bahrissalim istinbath berarti mengeluarkan hukum dan dalil. Jalan istinbath memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil. Seorang ahli hukum harus mengetahuii prosedur cara penggalian hukum (thuruq al istinbath).[1]

Menurut Al-Syatibi ada tiga pendekatan yang dipakai para mujtahid dalam memahami maqashid al-syari’ah

·         Pertama, pendekatan yang berorientasi pada tekstual dan menolak penalaran qiyas. 

·         Kedua, pendekatan yang mendasarkan makna di balik nash dan tidak terikat dengan makna tekstualnya. 

·         Ketiga,  penggabungan kedua pendekatan yakni para mujtahid menemukan maksud dengan tetap memperhatikan lafal sekaligus tidak mengabaikan makna dan memperhatikan makna bash tanpa mengabaikan lafal.[2]

Para ulama’ Ushul membahas masalah bahasa dan pengertian-pengertiannya terlebih dahulu sebab hal tersebut dapat memberikan pengertian tertentu yang memberikan pandangan yang lebih tepat.

 

B.     PENDEKATAN KEBAHASAAN

Istinbath secara bahasa adalah mengeluarkan, sedangkan menurut istilah mengeluarkan makna-makna dari nash-nash (yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan (potensi) naluriah.

Nash ada dua macam, yaitu:

a)      Berbentuk bahasa (lafdziyah)

b)      Tidak berbentuk bahasa tetapi dimaklumi (maknawiyah)

Kaidah lughowiyah adalah kaidah-kaidah yang dipakai oleh ulama/ushul (ushuliyyin) berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraaan Arab.[3]

Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan adalah untuk mengetahui dalil-dalil yang am dan khas, muthalaq dan muqayyad mujmal dan mubayyan, muhkam, mufassar, mutasyabih, nash, zhahir, nasikh, mansukh, amr, nahy dan sebagainya. Dalam kaidah-kaidah kebahasaan dikemukakan cara-cara menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan secara dhahir, sehingga seluruh dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an  dan Sunnah dapat dipahami serta diamalkan. Persoalan hukum dalam pendekatan bahasa berhubungan langsung dengan nash-nash dalam Al-Qur’an  dan Sunnah.[4]

 

C.     BENTUK-BENTUK PENDEKATAN KEBAHASAAN

a)      Amar (perintah)

Menurut mayoritas ulama’ Ushul Fikih, amar adalah suatu tuntutan (Perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[5]

Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’ menyatakan bahwa perintah untuk melakukan suatu perbuatan disampaikan dalam berbagai gaya bahasa atau redaksi antara lain:

1)      Perintah tegas dengan menggunakan kata amara dan seakar-akarnya

2)      Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba

3)      Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah.

4)      Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung.

5)      Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai oleh lam al amr (huruf yang berarti perintah.

6)      Perintah dengan menggunaka kata faradha (mewajibkan)

7)      Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik.

8)      Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya

Hukum-hukum yang dibentuk dari amr:

1)      Menunjukkan hukum wajib

2)      Menunjukkan kebolehan melakukan sesduatu

3)      Sebagai anjuran

4)      Untuk melemahkan

5)      Sebagai ejekan dan penghinaan

Kaidah-kaidah[6] yang berhubungan dengan amr antara lain:

·         Pertama, kaidah yang menyatakan bahwa pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkan dari hukum semula.

Hal tersebut telah disepakati ahli bahasa dan didasarkan atas ayat 62 Surat An-Nur yang mengancam akan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah, adanya ancaman siksaan itu menunjukkan bahwa perintah itu wajib dilaksanakan.

·         Kedua, دلالة الامر على التكرار او الوحدة   Suatu perintah harus dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja. Menurut jumhur ulama’ ushul fiqih, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil, karena perintah pada dasarnya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan dan perbuatan itu bisa terwujud meskipun perintahnya hanya dilakukan satu kali.[7]

·         Ketiga, دلالة الامر على الفوز او التراخى   Perintah harus dilakukan segera atau boleh ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan, karena yang dimaksud dari perintah itu sendiri adalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.[8]

Dengan demikian dapat dipahami bahwa amr mengandung tiga komponen, yaitu Al-Amir (yang memerintah), Al-Ma’mur alaihi (mukallaf), dan Al-Mubin (aturan).[9]

Jumhur Ulama betpendapat bahwa lafal amr  diciptakan untuk memberi pengertian wajib, selama lafal amr tetap dalam kemuthlaq-annya menunjuk pada arti haqiqi, yakni wajib. Jika ada dalil atau qarinah yang memalingkannya dari makna hakikatnya maka petunjuk lafal amr dapat berubah sesuai perubahan dalil atau qarinah yang menyertainya.[10]

Contoh firman Allah yang menunjukkan perintah:

...وا قيموا الصلاة وءاتو الزكاة ...

“...dan dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat...”

Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan zakat.

Amr dalam Ushul Fiqih merupakan tuntutan dari Allah kepada hamba-Nya untuk memenuhi suatu perbuatan yang pada dasarnya menunjukkan hukum wajib tanpa terikat dengan waktu dan kuantitas pelaksanaannya. Sehingga semua perbuatan yang diperintah oleh syari’at bernilai baik.[11]

b)      Nahi (Larangan)

Menurut bahasa nahi berarti larangan. Sedangkan menurut istilah, nahi adalah larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.

طلب الكف عن الفعل على جهة الاستعلاء بالصيغة الدال عليه

Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannnya kepada pihak yang lebih tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

 

Menurut al Ghazali dan al Amidi, seperti yang dikutip oleh Wahbah, makna nahi ada tujuh macam yaitu  tahrim, karihah, doa, irsyad, tahkir, bayanul “aqibah dan al ya’.[12]

Muhammad Khudari Bik menyebutkan bahwa Allah mengggunakan ragam bahasa untuk menunjukkan suatu larangan.

1)      Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau kata lain yang seakar. Secara bahasa naha berarti melarang.

2)      Larangan dengan menjelasakan bahwa suatu perbuatan diharamkan.

3)      Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan.

4)      Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf lam.

5)      Larangan dengan cara mengancam pelaku dengan siksaan yang pedih.

6)      larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan.

7)      Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri.

Hukum yang ditunjukkan dalam bentuk Larangan

1)      Untuk menunjukkan hukum haram

2)      Sebgai anjuran meninggalkan

3)      Penghinaan

4)      Untuk menyatakan permohonan

Pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu kecuali ada indikasi yang menunjukkkan hukum lain.

Suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang jika dikerjakan. Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh kaedah tersebut disepakati oleh para ulama’ Ushul Fiqih jika larangan tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak di luar esensi perbuatan. Suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.

Nahi merupakan suatu larangan mengerjakan sesuatu atau hal, pada dasarnya mempunyai dampak hukum haram, namun ada beberapa pendapat yang berselisih antara haram dan makruh. Nahi yang berkaitan dengan masalah fasad  menunjukkan bahwa nahi mengimplikasikan ke fasad an dari sesuatu yang dilarang.[13]

c)      Takhyir (Memberi pilihan)

Menurut Abd. Al Karim Zaidan, bahwa yang dimaksud takhyir adalah

ما خير  الشارع المكلف بين فعله وتركه

“Syar’i (Allah dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.

Hukum yang ditunjukkan oleh ayat atau hadis dalam bentuk takhyir  adalah halal atau mubah (boleh dilakukan), dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.[14]

Menurut khudari Bik, untuk memberikan pilihan antara melakukan atau tidak, Al-Qur’an  memberikan berbagai cara, antara lain:[15]

1)      Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan, seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 187 yang menjelaskan tentang kebolehan “halal” menggauli istri di malam hari saat bulan ramadhan.

2)      Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan, seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 173.

3)      Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan, seperti dalam firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 235 tentang pembolehan meminang wanita yang dalam iddah wafat, tetapi dengan sindiran bukan terus terang.

 

 

 


 

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Al-Qur’an sebagai sumber hukum mempunyai struktur bahasa yang berbeda dengan sumber-sumber lain. Dalam mengistinbathkan hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an harus memperhatikan berbagai struktur bahasa yang dipergunakan. Selain Al-Qur’an sumber hukum hukum lain adala as Sunnah, Sunnah Rasulullah mendukung dan menguatkan hukum-ukum yang ada dalam Al-Qur’an.

Dalam menjelaskan hukum, Al-Qur’an menggunakan sighat yang berbeda, singga diperlukan metode istinbath kebahsaan dalam menentukan suatu hukum. Adakalanya penjelasan hukum dalam Al-Qur’an ada yang memerlukan penjelasan lain namun adapula yang tidak memerlukan penjelasan-penjelasan lain, karena ayat Al-Qur’an bersifat mujmal sehingga memerlukan tafsir atau ta’wil, dan ada pula yang bersifat mthlak sehingga memerlukan taqyid.

Perbedaan penetapan hukum hukum oleh para Ulama’ tetap ada, karena sudut pandang para ulama berbeda-beda namun tetap mengarah untuk mewujudkan tatanan umat yang hidup dalam naungan rahmatan lil ‘alamin.

 

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah tentang “Istinbath Hukum Melalui Pendekatan Bahasa” yang telah Kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat Kami harapkan untuk perbaikan. Harapan Kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.


 


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Hakim, As Sulam Jus 2, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 2007)

Bahrissalim, Ruang Lingkup Ushul Fiqih, dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008)

Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995)

M. Fauzan Zenrif, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008)

M. Mawardi Djalaluddin, Membaca Maksud Tuhan Menurut Syariat, dalam buku

Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008)

Nasrun Haroen. Ushul Fiqih 1, (Jakarta: Logos, 1997)

Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2012)

Sofyan, “Sighot Taklif: Al Amr”, dalam Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum

Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008)

Suwarjin, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Teras, 2012)

Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008)

 



[1] Bahrissalim, Ruang Lingkup Ushul Fiqih, dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 55.

[2] M. Mawardi Djalaluddin, Membaca Maksud Tuhan Menurut Syariat, dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 121.

[3] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 3.

[4] Nasrun Haroen. Ushul Fiqih 1, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 11.

[5] Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2012), hlm. 178.

[6] Abdul Hamid Hakim, As Sulam Jus 2, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 2007), hlm. 12-14.

[7] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 43.

[8] Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2012), hlm. 186.

[9] Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 163.

[10] Suwarjin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 196.

[11] Sofyan, “Sighot Taklif: Al Amr”, dalam Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 174.

[12] Suwarjin, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 197.

[13] M. Fauzan Zenrif, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.185.

[14] Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2012), hlm. 195.

[15] Satria Effendi, Ibid., hlm. 195.