Minggu, 24 Maret 2019

Sejarah Peradaban Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sejarah dan peradaban Islam merupakan bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kaum Muslimin dari masa ke masa. Betapa tidak, dengan memahami sejarah dengan baik dan benar, kaum Muslimin bisa bercermin untuk mengambil banyak pelajaran dan membenahi kekurangan atau kesalahan mereka guna meraih kejayaan dan kemuliaan dunia dan akhirat.
Semoga Allâh Azza wa Jalla meridhai sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu yang mengungkapkan hal ini dalam ucapannya, “Orang yang berbahagia (beruntung) adalah orang yang mengambil nasehat (pelajaran) dari (peristiwa yang dialami) orang lain.”[1]
Dengan adanya perkembangan zaman modern yang mempengaruhi kebudayaan yang ada di Indonesia yang pada akhirnya secara perlahan budaya tersebut akan mulai di lupakan oleh masyarakat, karena lebih memilih sistem modern. Dari kajian tersebut, maka perlu mempelajari sejarah-sejarah masa lampau yang tersebar di nusantara.
Khusus peradaban Islam di Indonesia, sebagian masyarakat Indonesia yang beragama islam tidak mengetahui tentang peradaban tesebut. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang diperoleh. Untuk mengkaji kembali peradaban tersebut, maka perlu di susun suatu tulisan yang membahas tentang masalah peradaban islam di Indonesia. Salah satu bentuk tulisan itu adalah penulisan makalah ini, yang diharapkan mampu memberikan informasi secara singkat tentang peradaban islam di Indonesia. 

B.      Rumusan Masalah
1.       Bagaimana sejarah peradaban Islam pra kemerdekaan?
2.       Siapa saja tokoh yang berperan dalam islam pra kemerdekaan?
3.       Apa saja peninggalan islam pada pra kemerdekaan?
4.       Bagaimana sejarah peradaban Islam pasca kemerdekaan?

C.      Tujuan



BAB II
PEMBAHASAN

A.     SEJARAH PERADABAN ISLAM PRA KEMERDEKAAN
Islam tersebar di Indonesia melalui pedagang yang berdagang ke Indonesia, di mana masyarakat Indonesia sebelum Islam mayoritas memeluk agama Hindu. Islam tersebar di Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh sampai ke delapan Masehi.Daerah yang pertama pertama di kunjungi oleh penyebar Islam adalah sebagai berikut:
·         Pesisir utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara.
·         Pesisir utara pulau Jawa kemudian meluas sampai ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia kita tak lepas dari para wali-wali kita yang di sebut dengan wali sembilan (wali songo) yang dengan ketulusan mereka dan pengorbanan mereka sehinnga Islam dapat tersebar di Indonesia wali songo tersebut adalah:
1)      Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2)      Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3)      Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4)      Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5)      Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6)      Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
7)      Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8)      Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9)      Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)[2]
Ada dua tahapan “masa” yang di lalui atau pergerakan islam sebelum kemerdekaan, yaitu:
1.       Pada Masa Kesultanan
Text Box: Figure 1 Peninggalan Kerajaan Aceh yang pertama serta yang paling terkenal yaitu Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar tahun 1612 Masehi ini terletak di pusat Kota Banda Aceh. Ketika agresi militer Belanda II, masjid inihttps://www.seruni.id/wp-content/uploads/2017/01/kerajaan-aceh.jpgDaerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaitu banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai ke-Islaman, salah satu contohnya berikut:
Dikerajaan Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.
Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Walisongo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan islam di Indonesia terutama terletal di pundak para ulama. Paling tidak, ada dua cara yang dilakukannya. Pertama membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan “Pesantren” di Jawa, “Dayah” di Aceh, dan “Surau” di Minangkabau. Kedua melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh.[3]
Sayed Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan, abad-abad itu menyaksikan suatu kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metafisika, dan teologi rasional yang tidak terdapat tolak bandingnya di mana-mana di zaman apapun di Asia Tenggara.[4]
Ilmuwan muslim terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi terkemuka yang berasal dari Fansur (Barus), Sumatra Utara.[5] Karyanya yang terkenal berjudul Asra-rul- ‘Arifin fi Bayan ila Suluk wa Al-Tauhid, suatu uraian singkat tentang sifat-sifat dan inti ilmu kalam menurut teologi islam. Karyanya yang bersifat mistik (tasawuf) adalah Syair Perahu. Karya-karyanya yang lain, di antaranya adalah Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, dan Syarab al’Asyikin.[6]

2.       Pada Masa Penjajahan
Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori:
a.       Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b.       Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c.       Bidang politik
Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.

B.      SEJARAH PERADABAN ISLAM PASCA KEMERDEKAAN
1.       Departemen Agama
Departeman agama (dulu namanya Kementrian Agama) didirikan pada masa Kabinet Syahrir yang mengambil keputusan tanggal 3 Januari 1946 untuk memberikan sebuah konsesi kepada kaum muslimin.[7] Mentri agama pertama adalah M. Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret 1946. Usaha unntuk mendirikan departemen itu mulanya mendapat halangan dari para perumus UUD 1945, ketika PPKI mengadakan rapat tanggal 19 Agustus 1945. Akan tetapi, Komite Indonesia Nasional Pusat (KNIP), pada tanggal 11 November 1945 mengusulkan pendirinya. Usul itu diprakarsai oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh Su’aidi, dan M. Sukoso Wirjosaputro, semuanya adalah anggota KNIP dari daerah Banyumas. Usul itu mendapat dukungan dari M. Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Madhi, dan M. Kartosudarmo (semuanya anggota KNIP) dan disetujui oleh badan legislatif tersebut.[8]
Setelah kemerdekaan Indonesia, para pemimpin rakyat Indonesia sepakat menerapkan bentuk Republik dalam pemerintahan Indonesia. Dan berdasarkan pada asas pancasila dan UUD 1945.
Sebelum terbentuknya kementrian ini, ada pembahasan mengenai apakah kementrian ini akan dinamakan kementrian agama Islam ataukah kementrian agama saja. Akhirnya diputuskan menjadi kementrian agama, yang pertama-tama mempunyai tiga seksi dan kemudian empat seksi, masing-masing kaum muslimin, umat protestan, umat katholik, dan umat hindu budha (dulu disebut agama Hindu Bali).[9]
Sesuai dengan perkembangan departemen ini strukturnya berkembang dari yang hanya terdiri dari empat seksi, sekarang terdiri dari lima direktorat jendral, yaitu:
1.       Direktorat jendral bimbingan masyarakat Islam dan urusan haji,
2.       Direktorat jendral pembinan kelembagaan agama Islam,
3.       Direktorat jendral bimbingan masyarakat katholik,
4.       Direktorat jendral bimbingan masyarakat protestan, dan
5.       Direktorat jendral bimbingan masyarakat hindu dan budha.
Mentri agama juga dibantu oleh lembaga inspektorat jendral, sekretariat jendral, badan penelitian dan pengembangan (balitbang) agama dan pusat pendidikan dan latihan (pusdiklat) pegawai.[10]

2.       Pendidikan
Setelah berdirinya departemen agama, persoalan pendidikan mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan pekerja komite nasional pusat dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan.[11]
Kurikulum 1975 tercipta setelah melalui perjuangan pihak pengemban madrasah, untuk berusaha menyamakan status dan derajat madrasah yang dikelola oleh departemen agama dengan status dan derajat pendidikan lain yang dikelola oleh departemen pendidikan dan kebudayaan.
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam kaum mukmin di Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud Yunus membuka Islamic College pertama tanggal 9 Desember 1940 di Padang, Sumatra Barat, yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Tujuannya adalah  untuk mendidik Ulama.[12]
Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama, 70% pelajaran umum. Sistem penyelenggaraan sama dengan sekolah umum menggunakan tingkatan sebagai berikut:
·         Madrasah Ibtidaiyyah Negri (MIN) setingkat SD, lama belajar 6 tahun.
·         Madrasah Tsanawiyah Negri (MTsN) setingkat SMP, lama belajar 3 tahun.
·         Madrasah Aliyah Negri (MAN) setingkat SMA, Lama belajar 3 tahun.[13]
Salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga pendidikan islam sudah berkembang beberapa bentuk sejak zaman penjajahan belanda. Salah satu bentuk pendidikan islam tertua di Indonesia adalah pesantren-pesantren yang tersebar dan tertua di berbagai pelosok berikut:
Text Box: Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat. Didirikan oleh Mbah Muqoyyim pada tahun 1715 M.

Hasil gambar untuk Pondok Pesantren BuntetGambar terkait
Text Box: Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen, Jawa Tengah. Didirikan oleh Syekh As-Sayid Abdul Kahfi Al Hasani (ulama besar dari Hadramaut, Yaman) pada 4 Januari 1475 M/879 H. Ini pesantren tertua se-Asia Tenggara.
Dengan berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam islam di awal abad ke-20, persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian beberapa kalangan atau organisasi. Kurikulum mulai jelas. Belajar untuk memahami, dan bukan sekedar menghafal, ditekankan, dan pengertian ditumbuhkan. Itulah yang dinamakan Madrasah.[14]

3.       Hukum Islam
Lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah Hukum atau Syari’at. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat terbatas pada persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan baitul mal.
Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa kolonial belanda. Pada masa pendudukan jepang, pengadilan agama tidak mengalami perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam nampak ketat dan kaku karena hanya berpegang pada madzhab Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan pengadilan Agama di dominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah, sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syari’ah di perguruan-perguruan tinggi didirikan.[15]

4.       Haji
Setelah kemerdekaan, pada tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk menteri, yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci. Bahkan dari kalangan merekalah Amir Al-hajj (pemimpin jama’ah haji) Indonesia ditunjuk.
Sejak zaman penjajahan belanda, umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi selama zaman jajahan keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1950 sebuah yayasan, yaitu perjalanan haji Indonesia, didirikan di Jakarta. Pemerintah memberikan kekuasaan kepada yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, bank haji Indonesia dan sebuah perusahaan kapal, pelayaran Muslim Indonesia (MUSI) didirikan. Tetapi 10 tahun kemudian perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen dalam mencarter kapal dari perusahaan asing dalam artian MUSI tidak mempunyai kapal sendiri.
Cara ini ditempuh samapai tahun 1962, ketika MUSI diperbolehkan oleh pemerintrah, mungkin sekali karena pertimbangan politik. Setahun sebelumnya, pada tahun 1961, petugas haji Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.[16]
Dalam tahun 1961 itu juga, suatu perusahaan pelayaran baru, Perseroan Terbatas “Arafat” didirikan, dengan modal yang berasal dari para jemaah haji atau calon jemaah itu sendiri. Selanjutnya, pada tahun 1964 panitia perbaikan haji diganti dengan badan baru, Dewan Urusan Haji (DUH). Dewan ini mengajak PHI untuk kembali mengurus jemaah haji, akan tetapi campur tangan pemerintah di dalamnya semakin besar, karena tanggung jawab penyelenggaraan haji terletak pada pemerintah setempat. Namun, semua usaha yang dilakukan itu tidak ada yang berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh tahun 1966, organisasi-organisasi swasta mulai lagi melakukan kegiatannya menyelenggarakan perjalanan haji. Banyak diantaranya jemaah ataupun calon haji yang terbengkalai atau dibiarkan begitu saja tanpa ada layanan dalam perjalanan. Ini merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah kemudian memegang monopoli perjanjian haji.[17]

5.       Majelis Ulama’ Indonesia
Cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjalin keamanan. Di jawa barat berdiri pada tanggal 12 juli 1958, diketahui oleh seorang panglima militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961 majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan diluar persoalan keamanan, seperti Da’wah dan Pendidikan.[18]
Pada tanggal 8 September 1969, di Jakarta didirikan Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) yang merupakan badan setengah resmi. Tokoh-tokoh pemerintah, organisasi Islam, serta ilmuwan turut serta dalam badan ini. Organisasi ini di ketuai oleh Letnan Jendral Sudirman dengan maksud meningkatkan kegiatan yang berhubungan dengan dakwah serta bertindak sebagai konsultan dan perantara antara berbagai organisasi yang sudah ada.[19]
Dalam tahun 1975, usaha-usaha dimulai untuk mendirikan majelis ulama yang baru. Majelis-majelis ulama di tiap ibu kota provinsi dibentuk atau dibagi yang masih aktif diteruskan dalam rangka pembentukan majelis ulama yang baru.
Sementara itu, di Jakarta dibentuk panitia Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia. Musyawarah itu sendiri dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975, dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama provinsi. Ketika itulah majelis ulama yang baru dinyatakan berdiri dengan nama Majelis Ulama Indonesia. Piagam berdirinya ditandatangani oleh 26 orang ketua-ketua Majelis Ulama Daerah Tingkat I, 10 orang ulama unsur organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dinas rohani Islam Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU), Angkatan Laut (AL) dan POLRI, dan 13 orang ulama yang di undang secara perorangan.[20]
Dalam pedoman dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres tersebut, disebutkan bahwa, Majelis Ulama Indonesia berfungsi:
1)      Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2)      Mempererat ukhuah-ukhuah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3)      Mewakili umat islam dalam konsultasi antar umat agama.
4)      Penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional.[21]




[1] H. R. Muslim, No. 2645
[2] Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), hlm. 120
[3] Ibid., hlm. 111
[4] Sayed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam Dalam Sejarah Dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 66
[5] Dr. Badri Yatim, M. A. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 301
[6] Taufik Abdullah (Ed), Op. Cit., hlm. 128
[7] B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafitipers, 1985, cetakan pertama), hlm. 110
[8] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 14
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, dirasah Islamiyyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. 15, hlm. 307
[10] Ibid, hlm. 309
[11] Fatah Syukur, Sejarah Peradabab Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010), Cet. 2, hlm. 275
[12] ibid, hlm. 275-276
[13] Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 129
[14] Badri Yatim, Op. Cit, hlm. 309
[15] Badri Yatim, Op. Cit, hlm. 315
[16] Ibid, hlm. 318
[17] Deliar Noer, Op. Cit, hlm. 108
[18] Badri Yatim, Ibid, hlm. 320
[19] Deliar Noer, Op. Cit, hlm. 135
[20] Departemen PeneranganRI, 10 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: 1985), hlm. 19
[21] Ibid, hlm. 39-40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar