Rabu, 13 Maret 2019

Otonomi Daerah - Pendidikan Kewarganegaraan


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Oleh karena itu secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.[1]
Menurut pendapat yang lain, bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakkan, dan pengawasan dalam pengelolaan pemerintahan daerah dalam penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan pelayanan prima kepada publik.
Uraian diatas menunjukkan peranan administrasi negara dalam penyelengaraan otonomi daerah. Kebutuhan akan pentingnya administrasi negara terutama posisinya dalam penyelenggaraan otonomi daerah menjadi penting pada saat kita memasuki otonomi daerah yang dicanangkan pada tanggal 1 Januari 2001. Sehingga otonomi daerah semakin dituntut dalam pelayanan kepada masyarakat dan kesejahteraan umum.[3]
Berbagai definisi tentang Otonomi Daerah telah banyak dikemukakan oleh para pakar. Dan dapat disimpulkan bahwa Otonomi Daerah yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa (inisiatif) sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[4]

B.     Arti penting otonomi daerah
Otonomi daerah sebagai amanat dari reformasi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi daerah otonom untuk mengembangkan potensi daerahnya. Asas desentralisasi merupakan otonomi yang sangat dibutuhkan oleh daerah otonom.
Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Ada beberapa hal yang mengakibatkan otonomi daerah ini sangat dibutuhkan dan juga menjadi agenda reformasi diantaranya:
1)      Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
2)      Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata.
3)      Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.
Sementara itu, ada alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintah daerah (desentralisasi) sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie sebagai berikut.[5]
1)      Dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2)      Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3)      Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan pada daerah.
4)      Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5)      Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung dapat membantu pembangunan tersebut.

C.     Model Desentralisasi
Desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur baur (interchangeably). Desentralisas sebagai mana didefinisikan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) adalah: “Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka munculah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan pardigma pemerintahan diIndonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatar belakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

Lebih luas Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agenya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas fungsional atau regional dalam wilayah yang luas atau lembaga privat  non pemerintah dan organisasi[6]
Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui secara dekonsentrasi, misalnya pendelegrasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan daerah. Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai Mandiri ”. Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai Berdaya”. Otonomi daerah engan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Namun demikian, pelaksanan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintah dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
a)      Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas penyelenggara pemerintah.
b)      Sebagai sarana pendidikan politik.
c)      Pemerintahdaerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
d)      Stabilitas politik.
e)      Kesetaraan politik(politicalequlity).
f)       Akuntabilitas public.[7]
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintah malalui proses pemilihan secara langsung.

D.    Sejarah Otonomi Daerah Di Indonesia
Undang-Undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan masyarakat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-Undang ini ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintah daerah yang demokratis. Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonom kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintah tentang penyerahan sebagian usrusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu di tandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menadai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi disisi lain hal ini dapat pula di pahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahin 1984 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 (sebagian pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU Nomor 18 tahun 1965 (yang menganut system otonomi yang seluas-luasnya), UU Nomor 5 tahun 1974.[8]
Undang-undang yang di sebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah.Prinsip yang di pakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “Otonomi yang nyata dar bertanggung jawab”.Alasannya pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menumbulkan kecendrungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang di gariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru di ganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 setelah tuntutan reformasi dikomandangkan.
Kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu, di mana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Satu hal yang paling menonjol dan pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi.
Perubahan tersebut dapat di amati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam kedua undang-undang tersebut (UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999) secara teoritis menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam undang-undang nomor 25 tahun 1974 lebih cenderung pada corakdekonsentrasisedangkan dekonsentrasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika di kaitkan dengan kedudukan kepala daera.
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintah di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih dominan di banding sebagai kepala daerah.Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan kepada DPRD sebagai representasi dan rakyat di daerah yang memilihnya.[9]
Momentum otonmi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tepatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahana kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonimi dan desentralisasi kekuasaan politik.

E.     Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam Undang-Undang
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang di jadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No.22 Tahun 1999, yaitu:
1)      Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2)      Pelaksanaan otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3)      Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuuh di letakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4)      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
5)      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi daerah administrasi.[10]
Sedangkan Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, otonomi daerah Indonesia diselenggarakan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)      Pelaksanaan otonomi daerah harus berdasarkan aspek demokrasi, keadilan, dan pemerataan potensi yang dimiliki daerah sesuai dengan keragaman dan ciri khas daerah tersebut.
2)      Pelaksanaan otonomi daerah harus mencakup otonomi yang nyata, luas, dan bertanggung jawab.
3)      Pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan utuh hanya berlaku pada wilayah daerah dan kota, sementara otonomi di ranah provinsi masih terbatas, yang artinya masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
4)      Pelaksanaan otonomi daerah harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku agar keharmonisan antara pemerintah pusat dan daerah tetap terjaga.
5)      Otonomi daerah harus berlandaskan pada tujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah kabupaten, sedangkan daerah kota tidak termasuk ke dalam wilayah administrasi. Hal tersebut juga berlaku bagi wilayah-wilayah yang mendapatkan pembinaan khusus dari pemerintah.
6)      Pelaksanaan otonomi daerah juga harus mencakup peningkatan kualitas dan pelayanan badan legislatif daerah dalam menjalankan fungsinya sebagai legislatif, pengawasan, dan pelaksana anggaran penyelenggaraan otonomi daerah.
7)      Penyelenggaraan dekonsentrasi dilimpahkan pada pemerintah provinsi yang memiliki kedudukan sebagai wilayah administratif dan mendapatkan tugas dari pemerintah pusat untuk melaksanakan kewenangan tertentu yang tugasnya dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah.
8)      Penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan oleh pemerintah daerah kepada desa dengan disertai pembiayaan, serta pembentukan sarana dan prasarana juga sumber daya manusia. Pihak yang dilimpahi wewenang tersebut memiliki kewajiban untuk memberikan laporan pertanggungjawaban atas tugas yang dilimpahkan kepadanya.[11]

F.      Pembagian Kekuasaan Antara Pusat Dan Daerah Dalam Undang-Undang
Dalam bidang lingkungan hidup kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah sangat menentukan akan tetapi dengan adanya UU No 22 tentang Otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menjadi terbagi dua hal ini dapat dicermati dalam pasal 7 UU NO 22 tahun 1999, yaitu:
1)      Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2)      Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.[12]
Dalam UU nomor 22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat yang ingin dibagi kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2 sangat terlihat pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7 ayat 2 harus diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain yang diatur oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan terlihat kewenangan pemerintah pusat yang masih besar.[13]
Pembagian kekuasan antara pusat daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. jenis kekuasaan yang di tangani pusat hampir sama dengan yang di tangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijaksanaan makro ekonmi, stndarisasi nasional, administrasi pemerintah, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat di sebutkan secara sfesifik dalam UU tersebut.
Terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada Daerah Otonom Kabupaten dan Daerah Otonom Kota, yaitu:
1)      Pertahanan,                                                     7) Pekerjaan umum
2)      Pertanian                                                         8) Perhubungan
3)      Pendidikan dan kebudayaan                           9) Perdagangan dan industri
4)      Tenaga kerja                                                    10) Penanaman modal, dan
5)      Kesehatan                                                       11) Koperasi
6)      Lingkungan hidup
Pemerintah pusat hanya menangani 6 urusan saja:
1)      Politik luar negeri                                           4) Yustisi
2)      Pertahanan                                                      5) Moneter dan fiscal nasional, dan
3)      Keamanan                                                       6) Agama.


G.    Otonomi Daerah Dan Demokratisasi
Ekstensi kebijakan ekonomi daerah kiranya sangat penting dipahami sebagai sebagian dari agenda demokratisasi kehidupan bangsa. Dengan kata lain, keberadaan kebijakan otonomi daerah tidak boleh di pandang sebagai a final des tination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya dapat dimengerti apabila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijakan otonmi daerah sebagai upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability dan local responsovenessr. 
Diantara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah harus memiliki teral readeritorial kekuasaan yang jelas (local own income), memiliki badan perwakilan (local refresentative body) yang mampu mengontrol eksekutipdaerah; dan adanya kepala daerah yang pilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader executive by election)
Dengan rumusan dan tujuan ekonomi daerah semacam ini, keberadaan kebijakan ekonomi daerah akan mampu menciptakan sistem pemerintah yang demokratis. Argumen dasarnya adalah, dengan konsep tersebut diasumsikan masyarakat akan memiliki akses yang lebih besar dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintah didaerah. Sementara, pada sisi lain, pemerintah daerah sendiri, akan lebih responsif terhadap berbagai tuntutan yang datang dari komunitasnya. Dengan demikian, agenda demkratisasi merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan dalam pelaksanakan otonomi daerah apabila keadilan dan kesejahteraan yang lebih bagi masyarakat daerah menjadi target pencapaian.[14]
Keterkaitan otnomi daerah dengan demokratisasi pernah di ungkapkan oleh Mohammad Hatta, proklamator RI, dalam suatu kesempatan.
“Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorng berkembangnya auto-aktiviteit. Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, berkembangnya auto-aktiviteit tercapilah apa yang di maksud dengan demokrasi, yaitu pemerintah yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutamamemperbaiki nasibnya.
Pentingnya agenda demkratisasi dalam rangka otnomi daerah antara lain bertolak  dan asumsi bahwa cita-cita demokrasi, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa tidak semata-mata ditentukan bentuk neg ara (negara kesatuan dan negara fedaral), melainkan melalui sistem politik yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan secara sehat dan  fair adanya akuntabilitas pemerintah an, tegaknya supremasi  kerakyatan. Kesemua itu jauh lebih penting dari “sekadar” bentuk negara.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Otonomi Daerah yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa (inisiatif) sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada beberapa hal yang mengakibatkan otonomi daerah ini sangat dibutuhkan dan juga menjadi agenda reformasi diantaranya:
4)      Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
5)      Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata.
6)      Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.
Desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur baur (interchangeably). Desentralisas sebagai mana didefinisikan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) adalah: “Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia”. dengan adanya desentralisasi maka munculah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
g)      Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas penyelenggara pemerintah.
h)      Sebagai sarana pendidikan politik.
i)       Pemerintahdaerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
j)       Stabilitas politik.
k)      Kesetaraan politik(politicalequlity).
l)       Akuntabilitas public
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintah di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih dominan di banding sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan kepada DPRD sebagai representasi dan rakyat di daerah yang memilihnya
Momentum otonmi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tepatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahana kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonimi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang di jadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No.22 Tahun 1999, yaitu:
6)      Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
7)      Pelaksanaan otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
8)      Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuuh di letakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
9)      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
10)  Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi daerah administrasi.
Dalam UU nomor 22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat yang ingin dibagi kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2 sangat terlihat pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7 ayat 2 harus diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain yang diatur oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan terlihat kewenangan pemerintah pusat yang masih besar
Pembagian kekuasan antara pusat daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. jenis kekuasaan yang di tangani pusat hampir sama dengan yang di tangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijaksanaan makro ekonmi, stndarisasi nasional, administrasi pemerintah, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat di sebutkan secara sfesifik dalam UU tersebut.
B.     KRITIK DAN SARAN
Demikianlah makalah tentang “Otonomi Daerah” yang telah saya paparkan. Saya menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA

A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000)
Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Rajawali, Jakarta. 2005)
Prof. Drs. HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Prof. Drs. HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005)
Sugeng Priyanto, Pendidikan Kewarganegaraan, (Semarang: Aneka Ilmu, 2008)
Rondinelli dennis a dan cheema G. sabir, decantralitation and devalopment policy implementation in developing countris (California: 1998)
Tim penyusun MKD iain Sunan Ampel, Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education, (surabaya: Iain Sunan Ampel pers, 2011)
Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Cet: III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008)
Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Jakarta: Graha Ilmu, 2009
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti, 1988)
Hasbullah, OTONOMI PENDIDIKAN. Kebijakan Otonomi Daerah dan Imlpikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006)


[1] A. Ubaedillah,dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000), hlm.170
[2] Prof. Drs. HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 76
[3] Prof. Drs. HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 7
[4] Sugeng Priyanto, Pendidikan Kewarganegaraan, (Semarang: Aneka Ilmu, 2008), hlm. 40
[5] Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Rajawali, Jakarta. 2005). hlm. 8
[6] Rondinelli dennis a dan cheema G. sabir, decantralitation and devalopment policy implementation in developing countris (California: 1998), hlm. 56
[7] Tim penyusun MKD iain Sunan Ampel, Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education, (surabaya: Iain Sunan Ampel pers, 2011), hlm. 23
[8] Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Cet: III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 165-166
[9] Ibid, hlm. 166
[10] Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Jakarta: Graha Ilmu, 2009, hal.179
[11] https://www.sayanda.com/otonomi-daerah/ (Diakses pada tanggal 13-03-2019/14:51)
[12] UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah
[13] M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti, 1988), hlm. 256
[14] Hasbullah, OTONOMI PENDIDIKAN. Kebijakan Otonomi Daerah dan Imlpikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar