BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Otonomi Daerah
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu
authos yang berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan.
Oleh karena itu secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau
undang-undang sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri.
Otonomi Daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara proposional
yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Pengertian otonomi dalam
makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih
luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti
kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan mengenai
kepentingan daerahnya sendiri.[1]
Menurut pendapat yang
lain, bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang
dimaksud dengan daerah otonom sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Salah satu aspek penting
otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat
berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakkan, dan
pengawasan dalam pengelolaan pemerintahan daerah dalam penggunaan sumber daya
pengelola dan memberikan pelayanan prima kepada publik.
Uraian diatas menunjukkan
peranan administrasi negara dalam penyelengaraan otonomi daerah. Kebutuhan akan
pentingnya administrasi negara terutama posisinya dalam penyelenggaraan otonomi
daerah menjadi penting pada saat kita memasuki otonomi daerah yang dicanangkan
pada tanggal 1 Januari 2001. Sehingga otonomi daerah semakin dituntut dalam
pelayanan kepada masyarakat dan kesejahteraan umum.[3]
Berbagai
definisi tentang Otonomi Daerah telah banyak dikemukakan oleh para pakar. Dan
dapat disimpulkan bahwa Otonomi Daerah yaitu kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
(inisiatif) sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[4]
B. Arti penting
otonomi daerah
Otonomi daerah
sebagai amanat dari reformasi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi daerah
otonom untuk mengembangkan potensi daerahnya. Asas desentralisasi merupakan
otonomi yang sangat dibutuhkan oleh daerah otonom.
Daerah otonom
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Ada beberapa hal yang mengakibatkan
otonomi daerah ini sangat dibutuhkan dan juga menjadi agenda reformasi
diantaranya:
1) Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di
Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
2) Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata.
3) Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah
dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang
pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan
terbengkalai.
Sementara itu,
ada alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan
landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintah daerah (desentralisasi)
sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie sebagai berikut.[5]
1)
Dari
sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk
mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat
menimbulkan tirani.
2)
Dalam
bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih
diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3)
Dari
sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah
(desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang
efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat,
pengurusannya diserahkan pada daerah.
4)
Dari
sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian sepenuhnya
ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan
penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5)
Dari
sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena
pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung dapat membantu
pembangunan tersebut.
C. Model
Desentralisasi
Desentralisasi dalam kerangka sistem
penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur baur
(interchangeably). Desentralisas sebagai mana didefinisikan perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) adalah: “Penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi
urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya
dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia”. dengan adanya
desentralisasi maka munculah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam
keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan pardigma pemerintahan
diIndonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung
jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatar belakanginya adalah
keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan
mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang
dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara
pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap
mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan
nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin
digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk
memenuhi kebutuhan lokal.
Lebih
luas Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab
dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat
dan agen-agenya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah
level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas
fungsional atau regional dalam wilayah yang luas atau lembaga privat non
pemerintah dan organisasi[6]
Desentralisasi
terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di
ibu kota negara baik melalui secara dekonsentrasi, misalnya pendelegrasian,
kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau
perwakilan daerah. Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat
diartikan sebagai ”Mandiri ”.
Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai ”Berdaya”.
Otonomi daerah engan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Namun demikian,
pelaksanan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara
teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintah dan politik mengajukan
sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat
dipertanggung jawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di
antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
a)
Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas
penyelenggara pemerintah.
b)
Sebagai sarana pendidikan politik.
c)
Pemerintahdaerah sebagai persiapan untuk karir
politik lanjutan.
d)
Stabilitas politik.
e)
Kesetaraan politik(politicalequlity).
Kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung dan dapat
dipertanggung jawabkan
kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara langsung dalam
penyelenggaraan pemerintah malalui proses pemilihan secara langsung.
D. Sejarah Otonomi
Daerah Di Indonesia
Undang-Undang
ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan masyarakat melalui pengaturan
pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-Undang ini
ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan
kota. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang
susunan pemerintah daerah yang demokratis. Mengacu pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah
telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonom kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang
pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan
pemerintah tentang penyerahan sebagian usrusan pemerintahan tertentu kepada
daerah.
Perjalanan
sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu di tandai dengan lahirnya suatu
produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan
tersebut pada satu sisi menadai dinamika orientasi pembangunan daerah di
Indonesia dari masa ke masa. Tapi disisi lain hal ini dapat pula di pahami
sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahin 1984
diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1
tahun 1957 (sebagian pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk
seluruh Indonesia), UU Nomor 18 tahun 1965 (yang menganut system otonomi yang
seluas-luasnya), UU Nomor 5 tahun 1974.[8]
Undang-undang
yang di sebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang
menjadi tugas pemerintah pusat di daerah.Prinsip yang di pakai dalam pemberian
otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi
“Otonomi yang nyata dar bertanggung jawab”.Alasannya pandangan
otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menumbulkan kecendrungan pemikiran yang
dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan
prinsip-prinsip yang di gariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan
dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan
baru di ganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor
25 tahun 1999 setelah
tuntutan reformasi dikomandangkan.
Kehadiran
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang
terjadi pada masa itu, di mana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak
berkehendak untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara Satu hal yang paling menonjol dan pergantian Undang-undang Nomor 5
tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan
mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi.
Perubahan
tersebut dapat di amati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal
demi pasal pada undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam
kedua undang-undang tersebut (UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999)
secara teoritis menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam
undang-undang nomor 25 tahun 1974 lebih cenderung pada corakdekonsentrasisedangkan
dekonsentrasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung pada
corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika di kaitkan dengan kedudukan
kepala daera.
Berdasarkan
Undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah
yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan
pemerintah di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang
melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih dominan di banding sebagai kepala
daerah.Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan kepada DPRD sebagai
representasi dan rakyat di daerah yang memilihnya.[9]
Momentum otonmi
daerah di Indonesia semakin mendapatkan tepatnya setelah MPR RI melakukan
amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahana kedua yang secara tegas dan
eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonimi dan
desentralisasi kekuasaan politik.
E. Prinsip-Prinsip
Otonomi Daerah Dalam Undang-Undang
Prinsip-prinsip
pemberian otonomi daerah yang di jadikan pedoman dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No.22 Tahun 1999, yaitu:
1) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2)
Pelaksanaan
otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3)
Pelaksanaan
otonomi daerah yang luas dan utuuh di letakkan pada daerah kabupaten dan daerah
kota, sedang pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4)
Pelaksanaan
otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
5)
Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi daerah administrasi.[10]
Sedangkan Berdasarkan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004, otonomi daerah Indonesia diselenggarakan atas prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1)
Pelaksanaan
otonomi daerah harus berdasarkan aspek demokrasi, keadilan, dan pemerataan
potensi yang dimiliki daerah sesuai dengan keragaman dan ciri khas daerah
tersebut.
2)
Pelaksanaan
otonomi daerah harus mencakup otonomi yang nyata, luas, dan bertanggung jawab.
3)
Pelaksanaan
otonomi daerah secara luas dan utuh hanya berlaku pada wilayah daerah dan kota,
sementara otonomi di ranah provinsi masih terbatas, yang artinya masih menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat.
4)
Pelaksanaan
otonomi daerah harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
agar keharmonisan antara pemerintah pusat dan daerah tetap terjaga.
5)
Otonomi
daerah harus berlandaskan pada tujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah
kabupaten, sedangkan daerah kota tidak termasuk ke dalam wilayah administrasi.
Hal tersebut juga berlaku bagi wilayah-wilayah yang mendapatkan pembinaan
khusus dari pemerintah.
6)
Pelaksanaan
otonomi daerah juga harus mencakup peningkatan kualitas dan pelayanan badan
legislatif daerah dalam menjalankan fungsinya sebagai legislatif, pengawasan,
dan pelaksana anggaran penyelenggaraan otonomi daerah.
7)
Penyelenggaraan
dekonsentrasi dilimpahkan pada pemerintah provinsi yang memiliki kedudukan
sebagai wilayah administratif dan mendapatkan tugas dari pemerintah pusat untuk
melaksanakan kewenangan tertentu yang tugasnya dilaksanakan oleh gubernur
sebagai wakil pemerintah.
8)
Penyelenggaraan
otonomi daerah dilakukan oleh pemerintah daerah kepada desa dengan disertai
pembiayaan, serta pembentukan sarana dan prasarana juga sumber daya manusia.
Pihak yang dilimpahi wewenang tersebut memiliki kewajiban untuk memberikan
laporan pertanggungjawaban atas tugas yang dilimpahkan kepadanya.[11]
F. Pembagian
Kekuasaan Antara Pusat Dan Daerah Dalam Undang-Undang
Dalam bidang lingkungan hidup kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah sangat
menentukan akan tetapi dengan adanya UU No 22 tentang Otonomi daerah maka
kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menjadi terbagi dua hal ini dapat
dicermati dalam pasal 7 UU NO 22 tahun 1999, yaitu:
1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2)
Kewenangan
bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.[12]
Dalam UU nomor 22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat
yang ingin dibagi kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2
sangat terlihat pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7
ayat 2 harus diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain
yang diatur oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan
terlihat kewenangan pemerintah pusat yang masih besar.[13]
Pembagian kekuasan antara pusat daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara
kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. jenis kekuasaan yang di tangani
pusat hampir sama dengan yang di tangani oleh pemerintah di negara federal,
yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan
agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara
sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijaksanaan makro ekonmi, stndarisasi
nasional, administrasi pemerintah, badan usaha milik negara, dan pengembangan
sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat di
sebutkan secara sfesifik dalam UU tersebut.
Terdapat 11 jenis kewenangan wajib
yang diserahkan kepada Daerah Otonom Kabupaten dan Daerah Otonom Kota, yaitu:
1)
Pertahanan, 7) Pekerjaan umum
2)
Pertanian 8) Perhubungan
3)
Pendidikan
dan kebudayaan 9) Perdagangan dan
industri
4)
Tenaga
kerja 10) Penanaman modal, dan
5)
Kesehatan 11) Koperasi
6)
Lingkungan
hidup
Pemerintah pusat hanya menangani 6
urusan saja:
1)
Politik
luar negeri 4) Yustisi
2)
Pertahanan 5) Moneter dan
fiscal nasional, dan
3)
Keamanan 6) Agama.
G. Otonomi Daerah
Dan Demokratisasi
Ekstensi
kebijakan ekonomi daerah kiranya sangat penting dipahami sebagai sebagian dari
agenda demokratisasi kehidupan bangsa. Dengan kata lain, keberadaan kebijakan
otonomi daerah tidak boleh di pandang sebagai a final des
tination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan demokratisasi
penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya dapat dimengerti apabila Mawhood
kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijakan otonmi daerah sebagai upaya
untuk mewujudkan political equality, local accountability dan local
responsovenessr.
Diantara
prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah
harus memiliki teral readeritorial kekuasaan yang jelas (local own
income), memiliki badan perwakilan (local refresentative body) yang
mampu mengontrol eksekutipdaerah; dan adanya kepala daerah yang pilih sendiri
oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader executive by election)
Dengan rumusan
dan tujuan ekonomi daerah semacam ini, keberadaan kebijakan ekonomi daerah akan
mampu menciptakan sistem pemerintah yang demokratis. Argumen dasarnya adalah,
dengan konsep tersebut diasumsikan masyarakat akan memiliki akses yang
lebih besar dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintah didaerah. Sementara,
pada sisi lain, pemerintah daerah sendiri, akan lebih responsif terhadap
berbagai tuntutan yang datang dari komunitasnya. Dengan demikian, agenda
demkratisasi merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan dalam pelaksanakan
otonomi daerah apabila keadilan dan kesejahteraan yang lebih bagi masyarakat
daerah menjadi target pencapaian.[14]
Keterkaitan
otnomi daerah dengan demokratisasi pernah di ungkapkan oleh Mohammad Hatta,
proklamator RI, dalam suatu kesempatan.
“Memberikan
otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorng
berkembangnya auto-aktiviteit. Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri,
berkembangnya auto-aktiviteit tercapilah apa yang di maksud dengan demokrasi, yaitu
pemerintah yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan
terutamamemperbaiki nasibnya”.
Pentingnya agenda demkratisasi dalam rangka otnomi daerah antara
lain bertolak dan asumsi bahwa cita-cita demokrasi, keadilan dan
kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa tidak semata-mata ditentukan bentuk neg ara
(negara kesatuan dan negara fedaral), melainkan melalui sistem politik yang
menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan
secara sehat dan fair adanya akuntabilitas pemerintah an,
tegaknya supremasi kerakyatan. Kesemua itu jauh lebih penting dari
“sekadar” bentuk negara.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Otonomi Daerah yaitu kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
(inisiatif) sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada beberapa hal yang mengakibatkan
otonomi daerah ini sangat dibutuhkan dan juga menjadi agenda reformasi
diantaranya:
4) Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di
Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
5) Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata.
6) Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah
dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang
pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan
terbengkalai.
Desentralisasi dalam kerangka sistem
penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur baur
(interchangeably). Desentralisas sebagai mana didefinisikan perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) adalah: “Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia”. dengan adanya desentralisasi maka munculah otonomi bagi suatu
pemerintahan daerah.
Di antara
berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
g)
Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas
penyelenggara pemerintah.
h)
Sebagai sarana pendidikan politik.
i)
Pemerintahdaerah sebagai persiapan untuk karir
politik lanjutan.
j)
Stabilitas politik.
k)
Kesetaraan politik(politicalequlity).
l)
Akuntabilitas public
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1974,
kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepanjangan tangan
dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintah di daerah, kenyataan
menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas
dekonsentrasi lebih dominan di banding sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan
kepada DPRD sebagai representasi dan rakyat di daerah yang memilihnya
Momentum otonmi daerah di Indonesia semakin mendapatkan
tepatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam
perubahana kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara
Indonesia memakai prinsip otonimi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Prinsip-prinsip
pemberian otonomi daerah yang di jadikan pedoman dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No.22 Tahun 1999, yaitu:
6) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
7)
Pelaksanaan
otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
8)
Pelaksanaan
otonomi daerah yang luas dan utuuh di letakkan pada daerah kabupaten dan daerah
kota, sedang pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
9)
Pelaksanaan
otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
10)
Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam
daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi daerah administrasi.
Dalam UU nomor
22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat yang ingin dibagi
kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2 sangat terlihat
pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7 ayat 2 harus
diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain yang diatur
oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan terlihat
kewenangan pemerintah pusat yang masih besar
Pembagian kekuasan antara pusat daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara
kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. jenis kekuasaan yang di tangani
pusat hampir sama dengan yang di tangani oleh pemerintah di negara federal,
yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan
agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara
sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijaksanaan makro ekonmi, stndarisasi
nasional, administrasi pemerintah, badan usaha milik negara, dan pengembangan
sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat di
sebutkan secara sfesifik dalam UU tersebut.
B. KRITIK DAN SARAN
Demikianlah makalah tentang “Otonomi Daerah” yang telah saya paparkan. Saya menyadari
makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan kami, semoga makalah ini
dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :
Indonesia Center for Civic Education, 2000)
Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia, (Rajawali, Jakarta. 2005)
Prof. Drs. HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah
Otonom, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Prof. Drs. HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di
Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005)
Sugeng Priyanto, Pendidikan Kewarganegaraan, (Semarang: Aneka Ilmu, 2008)
Rondinelli dennis a dan cheema G. sabir, decantralitation and
devalopment policy implementation in developing countris (California: 1998)
Tim penyusun MKD iain Sunan Ampel, Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education, (surabaya: Iain Sunan Ampel pers, 2011)
Komaruddin Hidayat, Pendidikan
Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Cet:
III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008)
Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Jakarta: Graha Ilmu, 2009
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti,
1988)
Hasbullah, OTONOMI
PENDIDIKAN. Kebijakan
Otonomi Daerah dan Imlpikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2006)
[1] A. Ubaedillah,dkk, Demokrasi,HAM,dan
Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000),
hlm.170
[2] Prof. Drs. HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah
Otonom, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 76
[3] Prof. Drs. HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di
Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 7
[5] Kaho,
Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Rajawali, Jakarta. 2005). hlm. 8
[6] Rondinelli dennis a dan cheema G. sabir, decantralitation and
devalopment policy implementation in developing countris (California: 1998), hlm. 56
[7] Tim penyusun MKD iain Sunan Ampel, Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education, (surabaya: Iain Sunan Ampel pers, 2011), hlm. 23
[8] Komaruddin Hidayat, Pendidikan
Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Cet:
III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 165-166
[11] https://www.sayanda.com/otonomi-daerah/
(Diakses pada tanggal 13-03-2019/14:51)
[13] M.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti, 1988), hlm. 256
[14] Hasbullah, OTONOMI PENDIDIKAN. Kebijakan Otonomi Daerah dan Imlpikasinya
Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.
7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar