BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya
sejarah intelektual Barat selalu dimulai dari Yunani klasik. Tetapi hal itu
bukan berarti bahwa tidak ada satu pun yang mempunyai pemikiran mendalam
dibandingkan para pemikir Yunani klasik. Filosof Yunani klasik meletakkan
kategori-kategori dasar filsafat yang menjadi asal mula metafisika. Metafisika
merupakan bagian filsafat yang mempertanyakan “Bagaimana dunia ini dibuat”
dan “Apa yang menjadi substansi tertinggi dari semua relitas?” Selain itu,
sejarah kemenangan Yunani atas serangan-serangan bangsa lain seperti Persia,
membuat rakyat Yunani bisa terus berpetualang untuk menghasilkan jenis
pemikiran-pemikiran besarnya.
Salah satu
pemikiran yang dihasilkannya adalah mengenai ilmu jiwa atau yang sering kita
sebut psikologi. Sebelum psikologi berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan pada
tahun 1879, psikologi (atau tepatnya gejala-gejala kejiwaan) dipelajari
oleh filsafat dan ilmu faal. Filsafat sudah mempelajari gejala-gejala kejiwaan
sejak 500-600 tahun SM, yaitu melalui filsuf-filsuf Yunani Kono. Melalui
makalah ini, diharapkan bisa mengetahui sejarah dan pemikiran-pemikiran para
filosof Yunani Kuno mengenai psikologi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya psikologi?
2. Siapakah tokoh-tokoh filosof besar yang berperan dalam perkembangan
psikologi di zaman klasik tersebut?
C. Tujuan
1. Memahami sejarah lahirnya psikologi
2. Memahami siapakah tokoh-tokoh filosof besar yang berperan dalam perkembangan
psikologi di zaman klasik
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH LAHIRNYA PSIKOLOGI DI ZAMAN KLASIK
Psikologi
adalah ilmu yang sudah berkembang sejak abad 17 dan 18 serta tampak pesat
kemajuannya pada abad 20. Pada awalnya, ilmu ini adalah bagian dari ilmu
filsafat, namun kemudian memisahkan diri menjadi sebuah disiplin ilmu lain, tetapi tetap
ada hubungannya dengan filsafat.[1]
Dalam garis besarnya,
sejarah psikologi dapat dibagi dalam dua tahap utama, yaitu sebelum dan
sesudah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Kedua tahap itu dibatasi oleh
berdirinya laboratorium psikologi yang pertama di Leipzig pada tahun 1879 yang
didirikan oleh Wilhem Wundt. Sebelum tahun 1879, psikologi dianggap sebagai
bagian dari filsafat, Karena psikologi masih dibicarakan oleh sarjana-sarjana
dari kedua bidang ilmu itu. Pada awalnya, ahli-ahli filsafat dari zaman Yunani
Kuno lah yang mulai memikirkan tentang gejala-gejala kejiwaan. Ketika itu belum
ada pembuktian-pembuktian nyata atau empiris, melainkan segala teori
dikemukakan berdasarkan argumentasi-argumentasi logis belaka. Dan setelah Wundt
berhasil mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, para sarjana mulai
menyelidiki gejala-gejala kejiwaan secara lebih sistematis dan objektif.[2]
B.
TOKOH-TOKOH
PSIKOLOGI DI ZAMAN KLASIK
Adapun tokoh-tokoh filsafat Yunani
Kuno yang banyak mengemukakan teori-teori psikologi adalah Plato, Aristoteles,
dan Rene Descartes. Mereka mempunyai minat untuk menyelidiki gejala-gejala
kejiwaan yang terdapat pada manusia.
1.
PLATO (384-322)
Plato dilahirkan pada 29 Mei 429 SM di Athena. Sewaktu berumur
20 tahun, filsuf Yunani yang dikabarkan terlahir dikalangan
keluarga terhormat ini, menjadi murid Socrates yang dapat memberi kepuasan
sepenuhnya pada hasratnya terhadap pengetahuan dan kebijaksanaan. Menurut Plato, psikologi
berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat, hakikat, dan hidup
jiwa manusia (psyche = jiwa ; logos = ilmu pengetahuan).[3]
Ajaran Plato yang paling terkenal adalah tentang “idea”.
Plato menyebut jiwa sebagai sesuatu yang bersifat immaterial.
Ini karena sebelum masuk ke tubuh kita jiwa sudah ada terlebih dahulu di
alam para sensoris. Hal ini terkenal sebagai pre-eksistensi jiwa dari Plato. Jadi, menurut Plato, jiwa
menempati dua dunia, yaitu sensoris (penginderaan) dan dunia idea
(yang sifat aslinya adalah berfikir).
Jiwa adalah daya hidup rohaniyah yang bersifat abstrak yang menjadi
penggerak dan pengatur bagi seluruh perbuatan-perbuatan pribadi dari hewan
tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai
hasil proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan
jasmani, rohani, sosial,dan lingkungan.[4]
Manusia tersusun atas jiwa dan badan. Ini merupakan suatu konsep
klasik yang berulang kali dinyatakan kembali dalam tulisan-tulisan filsafat.
Plato menekankan perbedaan itu sedemikian rupa, sehingga kita berbicara tentang
dualisme dalam pandangan Plato. Dualisme antara jiwa dan badan
bersifat etis-religius. Jiwa ialah bagian manusia yang tidak dapat mati setelah
berulang kali di penjarakan dalam badan lewat inkarnasi. Akhirnya jiwa
itu, setelah disucikan dari kesalahannya sendiri, akan mencapai
dunia yang lebih luhur yaitu dunia tempat kita memandang ide-ide yang
murni dan abadi.
Teori-teori
tentang idea-idea (plato’s theory of ideal forms) pada dasarnya meliputi dua
alam, yaitu:
a)
Alam
Transenden
(nounmenal) yang
absolute dan sempurna merupakan bentuk-bentuk ideal yang
tidak dapat berubah di mana yang baik merupakan yang
utama dan biasanya ditafsirkan sebagai keindahan dan
kebenaran sebagai sumber dari segala sesuatu yang lain, seperti
keadilan, ketentraman, dan semangat.
b)
Alam
Fenomenal (dunia
tampak) yang tersusun dari segala sesuatu yang berupaya berubah, tapi
selalu gagal untuk meniru bentuk ideal.[5]
2.
ARISTOTELES
(384-322 SM)
Aristoteles lahir di sebuah koloni kecil Yunani yang bernama
Stagira di daerah Thrace. Ia adalah murid Plato yang terkenal dengan
pemikirannya sendiri yang berbeda dari gurunya. Aristoteles menulis
buku pertamanya tentang psikologi (sebagai topik terpisah dari filsafat).[6]
Buku itu layak disebut sebagai Para Psyche (tentang pikiran atau
jiwa), dan dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan “De Anima”. Di
dalam buku ini, Aristoteles membahas tentang
pikiran atau jiwa sebagai “entelechy” pertama tubuh,
kausa dan prinsip tubuh, dan realisasi tubuh.[7]
Adapun kausa yang memberi andil pada gerak entelechy tubuh antara
lain:
a.
Kausa
material : Sesuatu itu
dibuat dari apa.
b.
Kausa
efisien : Gerak atau
energi itu mengubah materi.
c.
Kausa
formal : Bentuk definisi
atau esensi dari segala sesuatu.
d.
Kausa
final : Alasan, tujuan
atau maksud yang terkandung dalam sesuatu.[8]
Seperti halnya
Plato, Aristoteles mempostulatkan bentuk jiwa ke dalam tiga tingkatan
taraf hidup secara sistematis, yaitu:
1)
Anima
Vegetativa (plant), yaitu taraf hidup terendah yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan.
Pada taraf ini, makhluk hidup yang bersangkutan hanya mampu melakukan
reaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar dan tujuannya
semata-mata hanyalah mempertahankan hidup dan tumbuh. Salah satu contoh reaksi
pada taraf ini adalah gerakan menguncup dari daun putri malu jika trsentuh oleh
suatu benda. Selain itu, pada taraf anima vegetative ini belum terdapat kesadaran
pada makhluk yang bersangkutan.
2)
Anima
Sensitiva (animal), yaitu taraf hidup yang terdapat pada hewan. Pada
taraf ini, makhluk hidup yang bersangkutan sudah mempunyai alat-alat
indera sehingga mampu memilih rangsang-rangsang mana yang perlu didekati ataupun
dijauhi. Hal ini menunjukkan bahwa hewan sudah mempunyai kesadaran, tetapi
belum bisa berbicara tentang hati nurani, karena makhluk pada taraf ini belum
mengenl norma-norma atau tata tertib sebagaimana yang dikenal manusia. Dan
tingkahlakunya pun masih terikat pada kesadaran sesaat dan setempat.
3) Anima Intelektiva (rasional), yaitu taraf hidup tertinggi yang
terdapat pada manusia. Selain bertingkahlaku vegetatif dan sensitif, manusia
juga bertingkah laku secara rasional (menggunakan akalnya). Pada taraf ini
terdapat kehidupan yang lebih dari kehidupan sadar, misalnya terdapat potensi
kecerdasan, terdapat kemampuan untuk menyimpan rangsang yang kemudian timbul
sebagai jejak-jejak dalam kesadaran.[9]
Jika orang-orang sofis banyak yang menganggap bahwa manusia tidak
akan mampu memperoleh kebenaran. Aristoteles dalam Metaphysics menyatakan
bahwa manusia dapat mencapai kebenaran. Salah satu teori
metafisika Aristoteles yang paling penting adalah mengenai pendapatnya
yang menyatakan bahwa matter dan form itu bersatu. Matter memberikan substansi
tertentu, dan form memberikan pembungkusnya.[10]
Dengan
kata lain, segala sesuatu yang berbentuk kejiwaan (form) harus menempati suatu
wujud tertentu (metter). Wujud ini pada hakekatnya merupakan pernyataan atau
ekspresi dari jiwa. Dan fungsi dari jiwa tersebut dibagi menjadi dua, yaitu
kemampuan untuk mengenal dan kemampuan berkehendak. Pandangan inilah yang
dikenal sebagai dichotomy.[11]
3.
RENE DESCARTES (1596-1650)
Descartes lahir di La Haye, Perancis. Dia adalah seorang
filosof, matematikawan, dan seorang ilmuwan terkenal. Kontribusi utamanya,
sehingga ia dikenal sebagai bapak filsafat modern, adalah mengenai “metode
keraguan”. Dalam bukunya Meditations, dia memutuskan untuk memulai
filsafat dari keragu-raguan terhadap segala sesuatu, baik berupa benda, Tuhan,
diri, ataupun gereja, sampai dia menemukan sesuatu yang tidak membuatnya ragu
lagi sehingga bisa dibangun sebuah filsafat baru di atasnya. Kesimpulannya
adalah, bahwa ada satu hal yang tidak bisa diragukan, yaitu fakta bahwa
dia ada dan sedang melakukan sesuatu yang penuh dengan keraguan! Seperti
ungkapannya ”Cogito Ergo Sum” yang artinya “aku berfikir maka aku ada”, karena
menurut beliau, segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang dapat dipastikannya,
kecuali pikirannya sendiri.[12]
Dari ungkapannya itu, Descartes menyimpulkan bahwa ada hal yang
sama-sama pastinya yaitu Tuhan, ruang dan waktu, dunia, serta matematika.
Berbagai hal ini menurut Descartes adalah bawaan yang terlahir untuk
akal.Dan kita akan mendapatkan hal itu bukan dari pengalaman, melainkan dari alam
pikiran kita sendiri.
Sedangkan dalam konsepnya mengenai psikologi, ia mengatakan bahwa
psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kesadaran. Jadi kesadaran adalah
faktor yang paling menentukan dalam psikologinya. Tokoh yang cukup penting
dalam sejarah psikologi ini menerangkan tingkah laku hewan dalam
prinsip-prinsip mekanistis. Ia mengemukakan konsep “reflex arc” yang berarti
bahwa hewan dan sebagaian besar pada manusia bereaksi terhadap rangsang yang
datang dari lingkungannya atas dasar prinsip reflex. Suatu rangsang tersebut
diterima oleh alat indera dan disalurkan melalui salurran syaraf tertentu ke
otak, dan otak mengimplus yang masuk untuk memberi instruksi-instruksi kepada otot-otot
anggota tubuh. Tetapi Descartes sendiri berpendapat bahwa tingkah laku
manusia berbeda dari tingkah laku hewan. Manusia mempunyi kebebasan memiih
(self initiated
behavior), sedangkan hewan tergantung pada situasi atau rangsang yang datang
dari lingkungan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Descartes berpendapat ada
dua tingkah laku, yaitu:
a) Tingkah laku
Rasional yang hanya terdapat pada manusia, Tingkah laku rasional erat
hubungannya dengan jiwa (Unextended Substance), karena dikuasai oleh jiwa,
seseorang dapat merencanakan atau dapat meninjau kembali suatu tingkah laku.
b) Tingkah laku
Mekanis yang terdapat pada hewan dan sebagian dari tingkah laku manusia. Tingkah laku ini berhubungan dengan badan (Extended
Substance), sehingga menimbulkangerakan otomatis seperti
refleks-refleks. Menurut Descartes psikis merupakan dunia mental dan badan
atau jasmani merupakan dunia material (material world), dua hal yang
mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Persoalalannya adalah bagaimana
hubungannya. Apakah yang satu mempengaruhi yang lain, ataukah msing-masing
independen
Teori lainnya adalah mengenai hubungan antara badan (material
world) yang merupakan dunia material dan psikis atau jiwa (mind)
yang merupakan dunia mental. Dua hal tersebut mempunyai sifat-sifat yang
berbeda. Persoalannya adalah bagaimana hubungannya, apakah yang satu
mempengaruhi yang lain, ataukah masing-masing bekerja secara independen.[13] Teori
ini dikenal dengan paham interaksionalisme, yaitu hubungan antara badan
dan jiwa yang terletak di dalam satu kelenjar yang berbeda dengan kelenjar yang
lain yang berpasang-pasangan, yaitu “kelenjar pinealis”. Kelenjar ini
terletak pada dasar otak. Meskipun Descartes tidak tahu
bagaimana jiwa dan tubuh itu berinteraksi, tapi dia meyakini bahwa kita
mempunyai jiwa.[14]
Dalam berbagai tulisan Descartes, gambaran tentang
jiwa dan badan atau tubuh, lebih bersifat teoritis-filsafati. Jiwa ialah unsur
yang mengatakan “aku” dalam diri manusia. “Aku” itu mempunyai kesadaran dalam
arti kata yang luas. Descartes lalu menggunakan istilah “substansi berfikir”.
Jiwa berdiri atas dirinya sendiri (tentu saja dengan selalu ditopang oleh
Tuhan). Sedangkan badan ialah “substansi luasa”, substansi yang terbentangdan
dapat dideskripsikan secara tersendiri, yaitu sebagai sebuah mesin yang rumit.
Descartes menggambarkan dengan sebuah tangan bila dipandang secara tersendiri,
dapat didefinisikan sebagai substansi lengkap. Tetapi bila dipandang dalam
keseluruhan badan, jelas merupakansubstansi yang tidak lengkap. Itulah
sebabnya, dalam pandangan Descartes, tidak hanya jiwa dan badan yang merupakan
substansi-substansi, melainkan juga manusia selaku dwitunggal antara jiwa dan
badan.[15]
Saat ini, setiap orang berbicara tentang persoalan psikologis
dengan menggunakan computer analogis dan berbagai model pemprosesan informasi
yang lain. Sedangkan pada masa Descartes, masih menggunakan mekanika kerja
jam dan system hidrolik yang menggunting sisi teknologi. Jadi, Descartes
dan yang lain pada dasarnya menunjukkan bahwa hidup manusia adalah mekanis,
yaitu ditentukan oleh hukum berbagai alam seperti yang terjadi pada berbagai
entitas fisik.[16]
Selangkah
lebih maju, Descartes juga membuat hipotesis deist yang menyatakan bahwa di
luar jiwa manusia dan kebebasan berkehendak, semua penciptaan bekerja secara
otomatis. Dan dia juga menyatakan bahwa Tuhan mendesain dan membentuk semuanya
dalam gerak, tetapi tentu Tuhan tidak punya keinginan untuk turun tangan dan
mengintervensi setiap hal yang sudah ada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Psikologi merupakan suatu ilmu yang berkembang di Yunani Kuno sejak
abad 17 dan 18, serta tampak pesat kemajuannya pada abad ke 20. Pada zaman
tersebut, psikologi lebih tepat disebut sebagai ilmu jiwa. Ilmu ini masih
sangat kental dengan aliran-aliran filsafat. Dan ketika pada tahun 1879, ilmu
jiwa melepaskan diri dari filsafat, dan menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri
yang disebut sebagai psikologi. Hal itu ditandai dengan didirikannya
laboratorium psikologi yang pertama oleh Wilhem Wundt di Leipzin. Walaupun
telah memisahkan diri, psikologi masih ada hubungannya dengan filsafat sampai
sekarang.
Menurut Plato, manusia tersusun atas jiwa dan badan. Ini merupakan
suatu konsep klasik yang berulang kali dinyatakan kembali dalam tulisan-tulisan
filsafat. Plato menekankan perbedaan itu sedemikian rupa, sehingga kita
berbicara tentang dualisme dalam pandangan plato. Dualisme antara jiwa dan
badan bersifat etis-religius.
Dalam bukunya yang berjudul “De Anima”, Aristoteles membahas
tentang pikiran atau jiwa manusia sebagai “entelechy”
pertama tubuh, kausa dan prinsip tubuh, dan realisasi tubuh. seorang
filsuf besar ini membagi jiwa kedalam tiga tingkatan taraf hidup secara
sistematis, yaitu anima vegetative (plant), anima sensitive (animal), dan anima
intelektiva (rasional).
Descartes merupakan seorang filosof, matematikawan, dan ilmuwan
terkenal yang telah memberikan konstribusi besar mengenai teori keraguan
dalam ungkapannya yang berbunyi “Cogito Ergo Sum”, artinya aku berfikir, maka
aku ada. Sedangkan dalam konsepnya mengenai psikologi, ia mengatakan bahwa
psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kesadaran, yaitu hubungan
(relasi) antara jiwa sebagai substansi berfikir dengan badan sebagai
substansi luasa.
B. Kritik dan
Saran
Demikianlah
makalah tentang “SEJARAH
PSIKOLOGI SECARA UMUM” yang telah kami paparkan. Kami
menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang
membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan kami,
semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Boeree, C. George. 2005. Sejara Psikologi dari Masa Kelahiran
sampai Masa Modern. Jogjakarta: Prismasophie.
Fauzi, Ahmad. 1997. Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Kartono, Kartini. 1996. Psikologi Umum. Bandung:Mandar Maju.
Shalahuddin, Mahfudh. 1991. Pengantar Psikologi Umum.
Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Sarwono, Sarlito Wirawan, 1978, Berkenalan dengan
Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2010. Pengantar Psikologi
Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Shalahuddin, Mahfudh. 1991. Pengantar Psikologi Umum.
Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung:Pustaka Setia.
Walgito, Bimo. 1998. Pengantar
Psiklogi Ilmu. Jogjakarta: CV. Andi Offset.
[1] Mahfudh
Shalahuddin, Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1991), hlm. 31
[2] Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan
Tokoh-tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 23
[4]
Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 9
[5] Alex
Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2003), hlm. 74-76
[6] Sarlito
Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan tokoh-tokoh
Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 47
[7] C. George
Boeree, Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern,
(Jogjakarata: Prismasophie, 2005), hlm. 50
[8] Ibid., hlm. 49
[9] Sarlito
Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan tokoh-tokoh
Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 20-21
[10] Alex
Sobur, Psikologi Umum, (Bandung:Pustaka Setia, 2003), h. 77
[11] Op.Cit., hlm. 36
[12] Ibid, hlm. 4
[13]
Bimo Walgito, Pengantar Psiklogi Umum, (Jogjakarta: CV.
Andi Offset, 1998), hlm. 54
[14] Sarlito
Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan tokoh-tokoh
Psikologi, hlm. 43
[15] Alex
Sobur, Psikologi Umum, hlm. 79
[16] C. George
Boeree, Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, hlm.
125
Great article
BalasHapus