Minggu, 17 Maret 2019

Makalah Masyarakat Madani-Materi Kuliah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Banyaknya fenomena penindasan rakyat yang dilakukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa merupakan realitas yang sering kita lihat dan kita dengar dalam setiap pemberitaan pers, baik melalui media elektronik maupun media cetak. Sebut saja kasus penindasan yang terjadi di Indonesia yang ketika Orba masih berkuasa, yakni penindasan terhadap keberadaan hak tanah rakyat yang diambil penguasa dengan alas an pembangunan. Atau jagu realitas pengekangan dan pembungkaman kebebasan pers dengan adanya pemberedalan beberapa media masssa oleh penguasa, serta pembantaian para ulama (kiayi) dengan dalil dukun santet sekitar tahun 1999 yang dilakukan oleh kelompok oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini merupakan bagian kecil dari fenomena kehidupan yang sangat tidak menghargai terhadap posisi rakyat di hadapan penguasa dan bagian dari fenomena kehidupan yang tidak menghargai kebebasan berserikat dan berpendapat.
Melihat bagian kecil dari realitas tersebut, apa yang saudara pikirkan ketika saudara mendengar atu melihat fenomena pembantaian massal? Apa yang saudara pikirkan ketika mendengar dan mengetahui penculikan para aktivis demokrasi diberbagai Negara, termasuk Indonesia? Apa yang saudara lakuan ketika menyaksikan pembatasan ruang public untuk mengemukakan pendapat di muka umum?
Pertanyaan-pertantaan tersebut pada akhirnya akan bermuara pada perlunya dikaji kembali kekuatan rakyat / masyarakat dalam konteks interaksi-relationship, baik antara rakyat dengan Negara, maupun antara rakyat dengan rakyat. Kedua pola hubungan interaksi tersebut akan memposisikan rakyat sebagai bagian integral dalam komunitas Negara yang memiliki kekuatan bargaining dan menjadi komunitas masyarakat sipil yang memiliki kecerdasan, analisi kritis yang tajam serta mampu berinteraksi di lingkungannya secara demokratis dan berkeadaban.
Kemungkinan akan adanya kekuatan masyarakat sebagai dari komunitas bangsa ini akan menghantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembangan, yakni Masyarakat madani. Masyarakat madani muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feudal menuju masyarakat barat modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud masyarakat madani?
2.      Bagaimana sejarah dan perkembangan masyarakat madani?
3.      Bagaimana karakteristik masyarakat madani?
4.      Bagaimana pilar penegak masyarakat madani?
5.      Bagaimana masyarakat madani dan demokratisasi?
6.      Bagaimana masyarakat madani indonesia?

C.    TUJUAN
1.      Memahami pengertian masyarakat madani
2.      Memahami sejarah dan perkembangan masyarakat madani
3.      Memahami karakteristik masyarakat madani
4.      Memahami pilar penegak masyarakat madani
5.      Memahami masyarakat madani dan demokratisasi
6.      Memahami masyarakat madani di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI
Kata Madani berasal dari bahasa Arab مدن yang artinya menempati suatu tempat. Dari kata inilah kemudian dibentuk kata مدينة yang berarti kota atau tempat tinggal sekelompok orang, sehingga lawan kata المدن adalah البادية yang berarti kehidupan yang masih nomaden. Bentuk jamaknya adalah مدائن atau مدن Kata مدني merupakan bentuk dari mashdar shina’iy, yang menunjukkan arti yang memiliki orang kota (المدينة أهل من) [1]
Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja.[2]
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah[3]
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q. S. Saba’ (34) ayat 15:
لَقَدۡ كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُورٞ
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Istilah masyarakat madani diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC.[4]

B.     SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI
Masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan telah jadi, namun masyarakat madani tersebut merupakan wacana yang dipahami sebagai suatu proses. oleh karena itu dalam  memahaminya perlu dianalisis secara historis.
Adapun sejarah perkembangan masyarakat madani ini adalah:

Fase Pertama:
Fase ini pertama kali dikemukakan oleh ahli filusuf yunani yakini Aristoteles (384 – 322 SM), dan dikembangkan oleh para ahli yang lain seperti, Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM), Thomas Hobbes (1588 – 1679 SM), dan John Locke (1632 – 1704 SM).[5]
Aristoteles memandang bahwa masyarakat madani (civil society) itu sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. pada masa ini civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan istilah Koinonia Politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga bisa langsung terlibat dalam berbagai percaturan ekonomi – politik dan pengambilan keputusan. istilah itu digunakan oleh Aristoteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis, dimana warga negaranya berkedudukan sama di depan hukum, tidak dibeda-bedakan.
hukum sendiri dianggap sebagai seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, namun juga sebagai subtansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi diantara warga Negara.
Marcus Tullius Cicero, meng’istilahkan Masyarakat Sipil dengan Societies Civilies, yakni sebuah komunitas yang mendominasi yang lain. Cicero lebih menekankan pada konsep Masyarakat Kota, yakni untuk mnggabarkan Kerajaan, Kota dan dan bentuk kooperasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. rumusan Cicero ini lebih pada konsep Civility atau kewargaan di satu pihak, dan urbanity atau kebudayaan kota dilain pihak, yang mana Kota bukan hanya sebuah konsentrasi penduduk tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.
Thomas Hobbes, menurutnya Civil Society mempunyai peran sebagai peredam konflik dalam masyarakat, sehingga mampu mengntrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (Perilaku Politik) setiap warga negara.
sedangkan John Locke, menganggap kehadiran Civil Society ini yakni untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara dengan sifat yang demikian maka, Civic Society ini tidaklah absolute dan harus membatasi perannya dalam wilayah yang tidak dapat dikelolah masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proposional.

Fase Kedua:
Fase ini ada pada tahun 1767, yang dikemukakan oleh Adam Ferguson, yang man Ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industry dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara public dan individu.
Menurutnya perbedaan atau ketimpangan sosial tersebut harus dihilangkan, Ia yakin bahwa public memiliki semangat solidaritas sosial dan sentiment moral yang dapat menghalangi munculnya kembali despotism. kekhawatiran Ferguson tentang sikap individualism dan kurangnya tanggung jawab sosial oleh masyarakat mewarnai pandangannya tentang Civil Society.

Fase Ketiga:
Fase ini muncul pada tahun 1792, yang dikemukakan oleh Thomas Paine. Fase ini berbeda dengan pendahulunya. Ia memaknai Civil Society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga negara. bahakan dianggap sebagai anti tesis negara. dengan demikian, maka negara sudah saatnya dibatasi sampai sekecil-kecilnya. negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. konsep negara yang absah, menurut pemikiran ini merupakan perwujudtan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. semakin sempurna suatu masyarakat sipil, semkain besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri.
Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan member peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Ruang gerak pada masyarakat madani menurut Paine ini, suatu ruang gerak masyarakat tanpa campur tangan negara. maka sesuai dengan pandangan ini Civil Society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya.

Fase Keempat:
Wacana Civil Society ini selanjutnya di kemukakan oleh GWF Hegel (1770 – 1851 M), Karl Marx (1818 – 1883 M), dan Antonio Gramsci (1891 – 1837 M). ketiga tokoh tersebut menekankan  Masyarakat Madani sebagai elemen ideology kelas dominan. pemahaman ini merupakan sebuah reaksi dari pemahaman yang dilakukan oleh Paine yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari negara. menurut Ryaas Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuis eropa yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari nagara.
GWF Hegel mengatakan bahwa, struktur sosial terbagai atas 3 entitas sosial. yakni keluarga, masyarakat madani, dan negara. keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. masyarakat madani (masyarakat sispil) merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. sedangkan Negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap masyarakat madani.
Dari pandangan ini, maka intevensi negara terhadap wilayah masyarakat madani tidaklah dianggap sebagai tindakan melanggar hukum mengingat posisi negara sebagai pemilik ide universal dan hanya pada level negaralah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh. menurut Hegel masyarakan madani mempunyai kelemahan karena pada kenyataannya masyarakat madani tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri dan tidak mampu mempertahankan keberadaannya tanpa adanya suatu negara.[6]
Menurut Hegel masyarakat madani dan negara adalah dua komponen yang saling memperkuat satu sama lain.
Karl Marx, menurutnya masyarakat madani sebagai “masyarakat Borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis. keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. karenanya maka ia harus dilenyapakan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Antonio Gramsci, berbeda dengan Karl Marx yang memandang bahwa masyarakat madani itu dipandang dalam konteks relasi produksi, menurut Gramsci masyarakat madani lebih pada sisi ideologis, dia meletakkannya pada superstruktur yang berdampingan dengan negara yang disebut Political Society.
Menurut Gramsci Civil Society merupakan tempat perebutan posisi hegemoni di luar kekuatan negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk consensus dalam masyarakat.

Fase Kelima:
Wacana Civil Societi ini sebagai reaksi tehadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis De Toqueville (1805 - 1859).
Menurut Alexis De Toquevile, Masyarkat Madani sebagai entitas penyeimbangan kekuatan negara. bagi de Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara. Lebih lanjut Tocquevile menegaskan, bahwa karakter civil society dapat menjadi sumber legimitasi kekuasaan Negara dan pada saat bersamaan ia bias menjadi kekuatan kritis untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat dari proses modernisasi. Dapat disimpulkan bahwa pandangan civil society ala Tocquevile ini merupakan model masyarakat sipil yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan individual, tetapi juga komitmen terhadap kepentingan politik.[7]


C.     KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Secara umum masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi yang mempunyai ciri-ciri antara lain : Kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain dan menjujung tinggi norma dan etika yang telah disepakati bersama-sama.[8]
Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan persyaratan-pesyaratan yanag menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani. Karakteristik tersebut antara lain adanya Free Publik Sphere, Demokratis, Toleransi, Pluralisme, Keadilan Sosial (social justice), dan berkeadaban[9]
1.      Free Public Sphere
Yang dimaksud dengan free public sphere adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publikyanag bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorasi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakan oleh Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik shpere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2.      Demokratis
Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya,termasuk dalam berinteraksi dalam lingkunganya. Demokratis berarti derngan masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasayart demokratis ini banyak dikemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegak masyarakat madani, penekanan demokrasi (Demokratis) di sini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.[10] 
3.      Toleran
Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesabaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok masyrakat lain yang berbeda. Toleransi menurut Nurcholis Madjid merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi, masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan tamaddun (civility). Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
4.      Pluralisme
Sebagai sebuah prasyarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehiduapn yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanyadengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat dan mejemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang mejemuk, yakniu masyarakat yang tidak monolitik. Apalagi sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama dan sebangun dalam segal segi. 
5.      Keadilan Sosial (Socialn Justice)
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhdap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini, memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang ditetapkan oleh pemerintah (Penguasa).[11] 
6.      Partisipasi social
Yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain.
7.      Supremasi hokum
Yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.
8.      Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan.
9.      Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan.
10.  Menjadi kelompok kepentingan atau kelompok penekan.
11.  Pilar Penegak Masyarakt Madani
Pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
12.  Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
13.  Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
14.  Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
15.  Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
16.  Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
17.  Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
18. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.[12]

D.    PILAR PENEGAK MASYARAKAT MADANI
Pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari sosial kontrol yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Pilar-pilar tersebut antara lain:
Lembaga Swadaya Masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas utamanya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. LSM dalam konteks masyarakat madani bertugas mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengadakan pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
2.      Pers
Pers adalah institusi yang berfungsi untuk mengkritisi dan menjadi bagian dari sosial kontrol yang dapat menganalisis serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan warga negaranya. Selain itu, pers juga diharapkan dapat menyajikan berita secara objektif dan transparan.
3.      Supremasi Hukum
Setiap warga negara, baik yang duduk dipemerintahan atau sebagai rakyat harus tunduk kepada aturan atau hukum. Sehingga dapat mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dan antar warga negara dengan pemerintah melalui cara damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Supremasi hukum juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia.
4.      Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan tempat para aktivis kampus (dosen dan mahasiswa) yang menjadi bagian kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak melalui jalur moral porce untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, setiap gerakan yang dilakukan itu harus berada pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada real dan realitas yang betul-betul objektif serta menyuarakan kepentingan masyarakat. Sebagai bagian dari pilar penegak masyarakat madani, maka Perguruan Tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide-ide alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi oleh masyarakat.
5.      Partai Politik
Partai Politik merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Partai politik menjadi sebuah tempat ekspresi politik warga negara sehingga partai politik menjadi prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani.[13]

E.     MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRATISASI
Masyarakat madani dan demokratisasi menjadi satu sistem yang dianut mayoritas negara-negara di dunia meskipun isi dan cara perwujudannya bisa berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Dalam sistem demokrasi, hak-hak untuk membuat keputusan-keputusan politik digunakan secara langsung oleh setiap warga negara. Dalam pandangan struktural, demokrasi adalah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus.
Karena itu, demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat persaingan dan pertentangan di antara individu, di antara berbagai kelompok, di antara individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah. Akan tetapi, demokrasi hanya akan menoleransi konflik yang tidak menghancurkan sistem.
Sistem politik demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik sampai pada penyelesaian dalam bentuk kesepakatan. Prinsip ini pula yang mendasari pembentukan identitas bersama, hubungan kekuasaan legitimasi kewenangan, dan hubungan politik dengan ekonomi. Sistem ini pula yang berlaku di Indonesia.
Konsepnya masyarakat madani merupakan penerjemah konsep civil society. Sebuah masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan masyarakat (Anwar Ibrahim). Sistem yang melindungi warga negara dari perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan.
Masyarakat madani merupakan tiang utama dalam kehidupan politik berdemokrasi. Wajib bagi setiap masyarakat madani yang tidak hanya melindungi warga negara dalam berhadapan dengan negara, tetapi masyarakat madani juga dapat merumuskan dan menyuarakan aspirasi masyarakat.[14]

F.      MASYARAKAT MADANI INDONESIA
Berbicara mengenai kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasusu-kasus pelangaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, bersikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control.
Secara esensial Indonesia membutuhkan peberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi manusia. Untuk itu maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaan sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Secara historis kelembagaan civil society muncul ketika proses proses tranformasi akibat modernisasi terjadi dan menghasilkan pembentukan sosial baru yang berbeda dengan masyarakat tradisional. Hal ini dapat ditelaah ulang ketika terjadi perubahan sosial pada masa kolonial, utamanya ketika kapitalisme mulai di kenalkan oleh Belanda. Hal itu telah mendorong terjadinya pembentukan sosial lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Pada akhirnya muncul kesadaran dikalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi sosial modern di awal abad ke-XX, gejala ini menandai mulai berseminya masyarakat madani.[15] Pada awal ini gerakan-gerakan organisasi melibatkan pekerja dan intelektual yang masih muda dan ditandai juga dengan timbulnya kesadaran para buruh tentang kebutuhan mereka untuk berorganisasi dalam rangka menuju ke-arah yang lebih baik.
Sebenarnya pekerja Eropa yang memperkenalkan semangat persyarikatan kepada para pekerja Indonesia, dan pada bulan Oktober 1905 pertama kali didirikan serikat buruh oleh pekerja Eropa diperumka Bandung. Pada tahun 1980-an terjadi perubahan politik yang cukup signifikan yang dipandang sebagai proses demokratisasi dan perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Kalangan muslim yang sebelumnya berada dimargin politik mulai berani masuk ketengah kekuasaan dan pada saat yang sama proses demokratisasi menemukan hal yang baru dan katup yang membendung proses demokratisasi mulai terbuka terbukti dengan maraknya gerakan prodemokrasi.
Turunnya rezim Soeharto dan munculnya orde baru menunjukkan proses rekonstruksi politik, ekonomi, sosial dan membawa dampak bagi perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Pada tataran sosial ekonomi akselerasi pembangunan melalui industrialisasi telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mendorong terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat Indonesia yang diandai dengan bergesernya pola-pola kehidupan masyarakat agraris.[16]
Berakhirnya rezim orde baru dibawah pimpinan Soeharto yang memerintah dengan memperkuat posisi negara disegala bidang yang menyebabkan merosotnya kemandirian dan partisipasi masyarakat sehingga menyebabkan kondisi dan pertumbuhan masyarakat madani menampilkan beberapa produk. Misalnya dengan semakin berkembangnya kelas menengah seharusnya semakin mandiri sebagai keseimbangan kekuatan negara sebagaimana yang terdapat dinegara kapatalis Barat, tetapi kenyataannya kelas menengah yang tumbuh masih bergantung kepada negara. Tumbangnya pemerintahan Soeharto dengan cepat dan dramatis pada Mei 1998 dan diikuti dengan perubahan-perubahan sosial dan politik sangat penting dan potensial bagi terciptanya masyarakat madani. Secara umum politik represi (menekan) yang menandai pemerintahan Soeharto berakhir dan digantikan dengan politik yang lebih bebas dan demokratis. Berakhirnya era 3 parpol yaitu PPP, PDI, dan GOLKAR dengan pemberian kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai, sehingga pada akhirnya terdapat lebih dari 100 partai, namun setelah melalui seleksi tim 11 hanya ada 48 partai yang dinyatakan berhak mengikuti pemilu serta berakhirnya era asas tunggal Pancasila dan memberikan kebebasan memilih asas lain termasuk asas agama.[17]
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Masyarakat madani dan demokrasi memiliki keterkaitan yang sangat erat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Layaknya dua mata sisi koin yang saling melengkapi, ibarat rumah dengan penghuninya, dan juga seperti obat yang paling mujarab, karena hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah masyarakat madani dapat berkembang secara wajar. Berbagai strategi dan cara harus diterapkan secara konsisten serta sungguh-sungguh agar substansi dari masyarakat madani dan demokrasi yang sesungguhnya dapat terwujud di Indonesia
Masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan telah jadi, namun masyarakat madani tersebut merupakan wacana yang dipahami sebagai suatu proses. oleh karena itu dalam  memahaminya perlu dianalisis secara historis.
Secara umum masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi yang mempunyai ciri-ciri antara lain: Kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain dan menjujung tinggi norma dan etika yang telah disepakati bersama-sama.
Pilar-pilar tersebut antara lain:
2.      Pers
3.      Supremasi Hukum
4.      Perguruan Tinggi
5.      Partai Politik
Masyarakat madani dan demokratisasi menjadi satu sistem yang dianut mayoritas negara-negara di dunia meskipun isi dan cara perwujudannya bisa berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Dalam sistem demokrasi, hak-hak untuk membuat keputusan-keputusan politik digunakan secara langsung oleh setiap warga negara. Dalam pandangan struktural, demokrasi adalah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus.
Berbicara mengenai kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasusu-kasus pelangaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, bersikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control.
Secara esensial Indonesia membutuhkan peberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi manusia. Untuk itu maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaan sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.

B.     KRITIK DAN SARAN
Demikianlah makalah tentang “Masyarakat Madani” yang telah saya paparkan. Saya menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat saya harapkan untuk perbaikan. Harapan saya, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA

Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Tafsiran Al-Qur’an, Jakarta)
Larry Diamond. Developing Democracy Toward Consolidation. (Yogyakarta: IRE Press, 2003) A. Syafi’I Ma’arif, Dkk, Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991)
Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
Kunawi Basyir, Civic Education, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011)
Dede Rosyada, Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003)
M Din Syamsuddin. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Cet I
Azyumari Azra, “Demokrasi, Hak Asasi Manusai dan Masyarakat Madani”, (Jakarta: ICCE UIN Hidayatullah, 2004)
Komaruddin Hidayat dan Azyumari Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta : ICCE UIN Hidayatullah Jakarta dan The Asia Foundation, 2006)
Muhammad AS Hikam. Demokrasi dan civil Society. (Jakarta: Pustaka, 1999)
Azyumardi Azra, 1999, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta dan Kenyataan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya)


[1] Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Tafsiran Al-Qur’an, Jakarta), hlm. 414
[2] Larry Diamond. Developing Democracy Toward Consolidation. (Yogyakarta: IRE Press, 2003), hlm. 278
[3] A. Syafi’I Ma’arif, Dkk, Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 84
[4] Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 180-181
[5] Kunawi Basyir, Civic Education, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 143- 146
[6] Dede Rosyada, Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003), hlm. 238-239
[7] Ibid, hlm. 239
[8] M Din Syamsuddin. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Cet I, hlm. 7
[9] Azyumari Azra, “Demokrasi, Hak Asasi Manusai dan Masyarakat Madani”, (Jakarta: ICCE UIN Hidayatullah, 2004), hlm. 247
[10] Ibid, h. 248
[11] Ibid, h. 249-250
[13] Komaruddin Hidayat dan Azyumari Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta : ICCE UIN Hidayatullah Jakarta dan The Asia Foundation, 2006), hlm. 302-325.
[15] Muhammad AS Hikam. Demokrasi dan civil Society. (Jakarta: Pustaka, 1999), hlm. 5
[16] Ibid, hlm. 5
[17] Azyumardi Azra, 1999, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta dan Kenyataan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), hlm. 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar