BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Banyaknya
fenomena penindasan rakyat yang dilakukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa
merupakan realitas yang sering kita lihat dan kita dengar dalam setiap
pemberitaan pers, baik melalui media elektronik maupun media cetak. Sebut saja
kasus penindasan yang terjadi di Indonesia yang ketika Orba masih berkuasa,
yakni penindasan terhadap keberadaan hak tanah rakyat yang diambil penguasa
dengan alas an pembangunan. Atau jagu realitas pengekangan dan pembungkaman
kebebasan pers dengan adanya pemberedalan beberapa media masssa oleh penguasa,
serta pembantaian para ulama (kiayi) dengan dalil dukun santet sekitar tahun
1999 yang dilakukan oleh kelompok oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini
merupakan bagian kecil dari fenomena kehidupan yang sangat tidak menghargai
terhadap posisi rakyat di hadapan penguasa dan bagian dari fenomena kehidupan
yang tidak menghargai kebebasan berserikat dan berpendapat.
Melihat bagian
kecil dari realitas tersebut, apa yang saudara pikirkan ketika saudara
mendengar atu melihat fenomena pembantaian massal? Apa yang saudara pikirkan
ketika mendengar dan mengetahui penculikan para aktivis demokrasi diberbagai
Negara, termasuk Indonesia? Apa yang saudara lakuan ketika menyaksikan
pembatasan ruang public untuk mengemukakan pendapat di muka umum?
Pertanyaan-pertantaan tersebut pada akhirnya akan bermuara pada perlunya dikaji
kembali kekuatan rakyat / masyarakat dalam konteks interaksi-relationship,
baik antara rakyat dengan Negara, maupun antara rakyat dengan rakyat. Kedua
pola hubungan interaksi tersebut akan memposisikan rakyat sebagai bagian
integral dalam komunitas Negara yang memiliki kekuatan bargaining dan
menjadi komunitas masyarakat sipil yang memiliki kecerdasan, analisi kritis
yang tajam serta mampu berinteraksi di lingkungannya secara demokratis dan
berkeadaban.
Kemungkinan
akan adanya kekuatan masyarakat sebagai dari komunitas bangsa ini akan menghantarkan
pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembangan, yakni Masyarakat madani.
Masyarakat madani muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada
saat terjadi transformasi dari masyarakat feudal menuju masyarakat barat
modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang
dimaksud masyarakat madani?
2. Bagaimana sejarah
dan perkembangan masyarakat madani?
3. Bagaimana karakteristik
masyarakat madani?
4. Bagaimana pilar
penegak masyarakat madani?
5. Bagaimana masyarakat
madani dan demokratisasi?
6. Bagaimana masyarakat
madani indonesia?
C. TUJUAN
1. Memahami
pengertian masyarakat madani
2. Memahami sejarah
dan perkembangan masyarakat madani
3. Memahami karakteristik
masyarakat madani
4. Memahami pilar
penegak masyarakat madani
5. Memahami masyarakat
madani dan demokratisasi
6. Memahami
masyarakat madani di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
MASYARAKAT MADANI
Kata Madani berasal dari bahasa Arab مدن
yang artinya menempati suatu tempat. Dari kata inilah kemudian dibentuk kata مدينة yang berarti kota atau tempat tinggal sekelompok orang,
sehingga lawan kata المدن
adalah البادية
yang berarti kehidupan yang masih nomaden. Bentuk jamaknya adalah مدائن atau مدن
Kata مدني merupakan bentuk dari mashdar
shina’iy, yang menunjukkan arti yang memiliki orang kota (المدينة أهل من) [1]
Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep
“civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar
Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil
society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil
society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan
masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata
“societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama
kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society
berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga
orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan
otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja.[2]
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil
society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan
pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan
ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan
masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan
modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang
meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang
rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam
buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan
masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran
atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu
Allah[3]
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi.
Allah SWT
memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q. S. Saba’
(34) ayat 15:
لَقَدۡ كَانَ لِسَبَإٖ
فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ كُلُواْ مِن رِّزۡقِ
رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُورٞ
Sesungguhnya bagi kaum
Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah
kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun”.
Istilah masyarakat madani diterjemahkan
dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib
Al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC.[4]
B. SEJARAH DAN
PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI
Masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan telah
jadi, namun masyarakat madani tersebut merupakan wacana yang dipahami sebagai
suatu proses. oleh karena itu dalam memahaminya perlu dianalisis secara
historis.
Adapun sejarah perkembangan masyarakat madani ini adalah:
Fase Pertama:
Fase ini
pertama kali dikemukakan oleh ahli filusuf yunani yakini Aristoteles (384 – 322
SM), dan dikembangkan oleh para ahli yang lain seperti, Marcus Tullius Cicero
(106 – 43 SM), Thomas Hobbes (1588 – 1679 SM), dan John Locke (1632 – 1704 SM).[5]
Aristoteles memandang
bahwa masyarakat madani (civil society) itu sebagai sistem kenegaraan atau
identik dengan negara itu sendiri. pada masa ini civil society dipahami sebagai
sistem kenegaraan dengan istilah Koinonia Politike, yakni sebuah komunitas
politik tempat warga bisa langsung terlibat dalam berbagai percaturan ekonomi –
politik dan pengambilan keputusan. istilah itu digunakan oleh Aristoteles untuk
menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis, dimana warga negaranya
berkedudukan sama di depan hukum, tidak dibeda-bedakan.
hukum sendiri
dianggap sebagai seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan
dengan prosedur politik, namun juga sebagai subtansi dasar kebijakan dari
berbagai bentuk interaksi diantara warga Negara.
Marcus Tullius
Cicero, meng’istilahkan Masyarakat Sipil dengan Societies Civilies, yakni
sebuah komunitas yang mendominasi yang lain. Cicero lebih menekankan pada
konsep Masyarakat Kota, yakni untuk mnggabarkan Kerajaan, Kota dan dan bentuk
kooperasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. rumusan Cicero ini
lebih pada konsep Civility atau kewargaan di satu pihak, dan urbanity atau
kebudayaan kota dilain pihak, yang mana Kota bukan hanya sebuah konsentrasi
penduduk tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.
Thomas
Hobbes, menurutnya Civil Society mempunyai peran sebagai peredam konflik
dalam masyarakat, sehingga mampu mengntrol dan mengawasi secara ketat pola-pola
interaksi (Perilaku Politik) setiap warga negara.
sedangkan John
Locke, menganggap kehadiran Civil Society ini yakni untuk melindungi
kebebasan dan hak milik setiap warga negara dengan sifat yang demikian
maka, Civic Society ini tidaklah absolute dan harus membatasi perannya dalam
wilayah yang tidak dapat dikelolah masyarakat dan memberikan ruang yang
manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan
proposional.
Fase Kedua:
Fase ini ada pada tahun 1767, yang dikemukakan oleh Adam Ferguson,
yang man Ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan
bermasyarakat. pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial
yang diakibatkan oleh revolusi industry dan munculnya kapitalisme serta
mencoloknya perbedaan antara public dan individu.
Menurutnya perbedaan atau ketimpangan sosial tersebut harus
dihilangkan, Ia yakin bahwa public memiliki semangat solidaritas sosial dan
sentiment moral yang dapat menghalangi munculnya kembali despotism.
kekhawatiran Ferguson tentang sikap individualism dan kurangnya tanggung jawab
sosial oleh masyarakat mewarnai pandangannya tentang Civil Society.
Fase Ketiga:
Fase ini muncul pada tahun 1792, yang dikemukakan oleh Thomas Paine. Fase
ini berbeda dengan pendahulunya. Ia memaknai Civil Society sebagai suatu yang
berlawanan dengan lembaga negara. bahakan dianggap sebagai anti tesis negara.
dengan demikian, maka negara sudah saatnya dibatasi sampai sekecil-kecilnya.
negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. konsep negara yang absah,
menurut pemikiran ini merupakan perwujudtan dari delegasi kekuasaan yang
diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. semakin sempurna
suatu masyarakat sipil, semkain besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan
warganya sendiri.
Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut paine ini adalah ruang
dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan member peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Ruang gerak pada masyarakat madani menurut Paine ini, suatu ruang gerak
masyarakat tanpa campur tangan negara. maka sesuai dengan pandangan ini Civil
Society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan
kebutuhan anggotanya.
Fase Keempat:
Wacana Civil Society ini selanjutnya di kemukakan oleh GWF Hegel (1770 –
1851 M), Karl Marx (1818 – 1883 M), dan Antonio Gramsci (1891 – 1837 M). ketiga
tokoh tersebut menekankan Masyarakat Madani sebagai elemen ideology kelas
dominan. pemahaman ini merupakan sebuah reaksi dari pemahaman yang dilakukan
oleh Paine yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari
negara. menurut Ryaas Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial
masyarakat borjuis eropa yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan
melepaskan diri dari nagara.
GWF Hegel mengatakan bahwa, struktur sosial terbagai atas 3 entitas
sosial. yakni keluarga, masyarakat madani, dan negara. keluarga merupakan ruang
sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan.
masyarakat madani (masyarakat sispil) merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya
percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan
ekonomi. sedangkan Negara merupakan representasi dari ide universal yang
bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh untuk
melakukan intervensi terhadap masyarakat madani.
Dari pandangan ini, maka intevensi negara terhadap wilayah masyarakat
madani tidaklah dianggap sebagai tindakan melanggar hukum mengingat posisi
negara sebagai pemilik ide universal dan hanya pada level negaralah politik
bisa berlangsung secara murni dan utuh. menurut Hegel masyarakan madani
mempunyai kelemahan karena pada kenyataannya masyarakat madani tidak bisa
mengatasi masalahnya sendiri dan tidak mampu mempertahankan keberadaannya tanpa
adanya suatu negara.[6]
Menurut Hegel masyarakat madani dan negara adalah dua komponen yang saling
memperkuat satu sama lain.
Karl Marx, menurutnya masyarakat madani sebagai “masyarakat Borjuis”
dalam konteks hubungan produksi kapitalis. keberadaannya merupakan kendala bagi
pembebasan manusia dari penindasan. karenanya maka ia harus dilenyapakan untuk
mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Antonio Gramsci, berbeda dengan Karl Marx yang memandang bahwa
masyarakat madani itu dipandang dalam konteks relasi produksi, menurut Gramsci
masyarakat madani lebih pada sisi ideologis, dia meletakkannya pada
superstruktur yang berdampingan dengan negara yang disebut Political Society.
Menurut Gramsci Civil Society merupakan tempat perebutan posisi hegemoni di
luar kekuatan negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk consensus
dalam masyarakat.
Fase Kelima:
Wacana Civil Societi ini sebagai reaksi tehadap mazhab Hegelian yang
dikembangkan oleh Alexis De Toqueville (1805 - 1859).
Menurut Alexis De Toquevile, Masyarkat Madani sebagai entitas
penyeimbangan kekuatan negara. bagi de Tocqueville, kekuatan politik dan
masyarakat madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan.
Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam
masyarakat madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol
kekuatan negara. Lebih lanjut Tocquevile menegaskan, bahwa karakter civil
society dapat menjadi sumber legimitasi kekuasaan Negara dan pada saat
bersamaan ia bias menjadi kekuatan kritis untuk mengurangi frekuensi konflik
dalam masyarakat sebagai akibat dari proses modernisasi. Dapat disimpulkan
bahwa pandangan civil society ala Tocquevile ini merupakan model masyarakat
sipil yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan individual, tetapi juga
komitmen terhadap kepentingan politik.[7]
C. KARAKTERISTIK
MASYARAKAT MADANI
Secara umum masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakat atau
institusi yang mempunyai ciri-ciri antara lain : Kemandirian, toleransi,
keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain dan menjujung tinggi norma dan
etika yang telah disepakati bersama-sama.[8]
Penyebutan karakteristik masyarakat
madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana
masyarakat madani diperlukan persyaratan-pesyaratan yanag menjadi nilai
universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama
lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan
yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani.
Karakteristik tersebut antara lain adanya Free Publik Sphere, Demokratis,
Toleransi, Pluralisme, Keadilan Sosial (social justice), dan berkeadaban[9]
1. Free Public Sphere
Yang dimaksud dengan free public
sphere adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan
pendapat. Pada ruang publikyanag bebaslah individu dalam posisinya yang setara
mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami
distorasi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakan oleh Arendt
dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa
diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses
penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan
secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta
mempublikasikan informasi kepada publik.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk
mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat,
maka free publik shpere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat
madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara
dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh
penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis
Demokratis
merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana
dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya,termasuk dalam berinteraksi dalam
lingkunganya. Demokratis berarti derngan
masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi masyarakat
sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasayart
demokratis ini banyak dikemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena
masyarakat madani. Bahkan fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi
merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegak masyarakat madani, penekanan
demokrasi (Demokratis) di sini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan
seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.[10]
3.
Toleran
Toleran merupakan sikap yang
dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai
dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini
memungkinkan akan adanya kesabaran masing-masing individu untuk menghargai dan
menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok masyrakat
lain yang berbeda. Toleransi menurut Nurcholis Madjid merupakan persoalan
ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan
adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang
berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat”
dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa
masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar gerakan-gerakan pro
demokrasi, masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan
tamaddun (civility). Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan
individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial
yang berbeda.
4.
Pluralisme
Sebagai sebuah prasyarat penegakan
masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan
menciptakan sebuah tatanan kehiduapn yang menghargai dan menerima kemajemukan
dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanyadengan
sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat dan mejemuk, tetapi harus
disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu
sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang mejemuk, yakniu masyarakat yang tidak monolitik. Apalagi sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama dan sebangun dalam segal segi.
Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang mejemuk, yakniu masyarakat yang tidak monolitik. Apalagi sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama dan sebangun dalam segal segi.
5.
Keadilan
Sosial (Socialn Justice)
Keadilan dimaksudkan untuk
menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhdap hak dan
kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini,
memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan
pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang
ditetapkan oleh pemerintah (Penguasa).[11]
6.
Partisipasi
social
Yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa,
intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain.
7.
Supremasi
hokum
Yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.
8.
Sebagai
pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan.
9.
Sebagai
advokasi bagi masyarakt yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan
kepentingan.
10.
Menjadi
kelompok kepentingan atau kelompok penekan.
11.
Pilar
Penegak Masyarakt Madani
Pilar penegak masyarakat madani
adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang
berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta
mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan
masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi
terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut yaitu Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai
Politik.
12.
Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
13.
Menyebarnya
kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat
dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
14.
Dilengkapinya
program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program
pembangunan yang berbasis masyarakat.
15.
Terjembataninya
kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
16.
Tumbuh
kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
17.
Meluasnya
kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
18. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.[12]
18. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.[12]
D. PILAR PENEGAK
MASYARAKAT MADANI
Pilar penegak
masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari sosial
kontrol yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang
diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.
Pilar-pilar tersebut antara lain:
Lembaga Swadaya
Masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang
tugas utamanya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat yang tertindas. LSM dalam konteks masyarakat madani bertugas
mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengadakan pelatihan dan sosialisasi
program-program pembangunan masyarakat.
Pers adalah institusi yang berfungsi
untuk mengkritisi dan menjadi bagian dari sosial kontrol yang dapat
menganalisis serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang
berhubungan dengan warga negaranya. Selain itu, pers juga diharapkan dapat
menyajikan berita secara objektif dan transparan.
Setiap warga negara, baik yang duduk
dipemerintahan atau sebagai rakyat harus tunduk kepada aturan atau
hukum. Sehingga dapat mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dan
antar warga negara dengan pemerintah melalui cara damai dan sesuai dengan hukum
yang berlaku. Supremasi hukum juga memberikan jaminan dan perlindungan
terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar
norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia.
Perguruan tinggi merupakan tempat para aktivis kampus (dosen dan mahasiswa) yang menjadi bagian kekuatan sosial dan
masyarakat madani yang bergerak melalui jalur moral porce untuk menyalurkan
aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan
pemerintah. Namun, setiap gerakan yang dilakukan
itu harus berada pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada real dan
realitas yang betul-betul objektif serta menyuarakan kepentingan
masyarakat. Sebagai bagian dari pilar penegak masyarakat madani, maka
Perguruan Tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide-ide
alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi oleh
masyarakat.
Partai Politik merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan
aspirasi politiknya. Partai politik menjadi sebuah tempat ekspresi politik
warga negara sehingga partai politik menjadi prasyarat bagi tegaknya masyarakat
madani.[13]
E. MASYARAKAT
MADANI DAN DEMOKRATISASI
Masyarakat madani dan demokratisasi menjadi satu
sistem yang dianut mayoritas negara-negara di dunia meskipun isi dan cara
perwujudannya bisa berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lainnya.
Dalam sistem demokrasi, hak-hak untuk membuat keputusan-keputusan politik
digunakan secara langsung oleh setiap warga negara. Dalam pandangan struktural,
demokrasi adalah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan
konsensus.
Karena itu,
demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat persaingan dan
pertentangan di antara individu, di antara berbagai kelompok, di antara
individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan
di antara lembaga-lembaga pemerintah. Akan tetapi, demokrasi hanya akan
menoleransi konflik yang tidak menghancurkan sistem.
Sistem politik
demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan
konflik sampai pada penyelesaian dalam bentuk kesepakatan. Prinsip ini pula
yang mendasari pembentukan identitas bersama, hubungan kekuasaan legitimasi
kewenangan, dan hubungan politik dengan ekonomi. Sistem ini pula yang berlaku
di Indonesia.
Konsepnya masyarakat
madani merupakan penerjemah konsep civil society. Sebuah masyarakat yang
beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Sistem sosial
yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan individu dan kestabilan masyarakat (Anwar Ibrahim). Sistem yang
melindungi warga negara dari perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan.
Masyarakat
madani merupakan tiang utama dalam kehidupan politik berdemokrasi. Wajib bagi
setiap masyarakat madani yang tidak hanya melindungi warga negara dalam
berhadapan dengan negara, tetapi masyarakat madani juga dapat merumuskan dan
menyuarakan aspirasi masyarakat.[14]
F. MASYARAKAT
MADANI INDONESIA
Berbicara mengenai kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia
diawali dengan kasusu-kasus pelangaran HAM dan pengekangan kebebasan
berpendapat, bersikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dimuka umum
kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah
yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control.
Secara esensial
Indonesia membutuhkan peberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif
agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung
tinggi nilai hak-hak asasi manusia. Untuk itu maka diperlukan pengembangan
masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaan sekaligus agar proses
pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Secara historis
kelembagaan civil society muncul ketika proses proses tranformasi akibat
modernisasi terjadi dan menghasilkan pembentukan sosial baru yang berbeda
dengan masyarakat tradisional. Hal ini dapat ditelaah ulang ketika terjadi
perubahan sosial pada masa kolonial, utamanya ketika kapitalisme mulai di
kenalkan oleh Belanda. Hal itu telah mendorong terjadinya pembentukan sosial
lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Pada akhirnya
muncul kesadaran dikalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong
terbentuknya organisasi sosial modern di awal abad ke-XX, gejala ini menandai
mulai berseminya masyarakat madani.[15]
Pada awal ini gerakan-gerakan organisasi melibatkan pekerja dan intelektual
yang masih muda dan ditandai juga dengan timbulnya kesadaran para buruh tentang
kebutuhan mereka untuk berorganisasi dalam rangka menuju ke-arah yang lebih
baik.
Sebenarnya
pekerja Eropa yang memperkenalkan semangat persyarikatan kepada para pekerja
Indonesia, dan pada bulan Oktober 1905 pertama kali didirikan serikat buruh
oleh pekerja Eropa diperumka Bandung. Pada tahun 1980-an terjadi perubahan
politik yang cukup signifikan yang dipandang sebagai proses demokratisasi dan
perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Kalangan muslim yang sebelumnya
berada dimargin politik mulai berani masuk ketengah kekuasaan dan pada saat
yang sama proses demokratisasi menemukan hal yang baru dan katup yang
membendung proses demokratisasi mulai terbuka terbukti dengan maraknya gerakan
prodemokrasi.
Turunnya rezim
Soeharto dan munculnya orde baru menunjukkan proses rekonstruksi politik,
ekonomi, sosial dan membawa dampak bagi perkembangan masyarakat madani di
Indonesia. Pada tataran sosial ekonomi akselerasi pembangunan melalui
industrialisasi telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang belum
pernah terjadi sebelumnya dan mendorong terjadinya perubahan struktur sosial
masyarakat Indonesia yang diandai dengan bergesernya pola-pola kehidupan
masyarakat agraris.[16]
Berakhirnya rezim orde baru dibawah pimpinan Soeharto yang memerintah
dengan memperkuat posisi negara disegala bidang yang menyebabkan merosotnya
kemandirian dan partisipasi masyarakat sehingga menyebabkan kondisi dan
pertumbuhan masyarakat madani menampilkan beberapa produk. Misalnya dengan semakin berkembangnya kelas menengah seharusnya
semakin mandiri sebagai keseimbangan kekuatan negara sebagaimana yang terdapat
dinegara kapatalis Barat, tetapi kenyataannya kelas menengah yang tumbuh masih
bergantung kepada negara. Tumbangnya pemerintahan Soeharto dengan cepat dan
dramatis pada Mei 1998 dan diikuti dengan perubahan-perubahan sosial dan
politik sangat penting dan potensial bagi terciptanya masyarakat madani. Secara
umum politik represi (menekan) yang menandai pemerintahan Soeharto berakhir dan
digantikan dengan politik yang lebih bebas dan demokratis. Berakhirnya era 3
parpol yaitu PPP, PDI, dan GOLKAR dengan pemberian kebebasan kepada masyarakat
untuk mendirikan partai-partai, sehingga pada akhirnya terdapat lebih dari 100
partai, namun setelah melalui seleksi tim 11 hanya ada 48 partai yang
dinyatakan berhak mengikuti pemilu serta berakhirnya era asas tunggal Pancasila
dan memberikan kebebasan memilih asas lain termasuk asas agama.[17]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masyarakat madani dan demokrasi memiliki keterkaitan yang sangat erat yang
tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Layaknya dua mata sisi koin yang saling
melengkapi, ibarat rumah dengan penghuninya, dan juga seperti obat yang paling
mujarab, karena hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat
ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah masyarakat madani
dapat berkembang secara wajar. Berbagai strategi dan cara harus diterapkan
secara konsisten serta sungguh-sungguh agar substansi dari masyarakat madani
dan demokrasi yang sesungguhnya dapat terwujud di Indonesia
Masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan telah
jadi, namun masyarakat madani tersebut merupakan wacana yang dipahami sebagai
suatu proses. oleh karena itu dalam memahaminya perlu dianalisis secara
historis.
Secara umum masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakat atau
institusi yang mempunyai ciri-ciri antara lain: Kemandirian, toleransi,
keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain dan menjujung tinggi norma dan
etika yang telah disepakati bersama-sama.
Pilar-pilar tersebut antara lain:
Masyarakat madani dan demokratisasi menjadi satu sistem yang dianut mayoritas negara-negara di dunia
meskipun isi dan cara perwujudannya bisa berbeda-beda antara negara yang satu
dengan yang lainnya. Dalam sistem demokrasi, hak-hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik digunakan secara langsung oleh setiap warga negara.
Dalam pandangan struktural, demokrasi adalah sistem politik yang memelihara
keseimbangan antara konflik dan konsensus.
Berbicara mengenai kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia
diawali dengan kasusu-kasus pelangaran HAM dan pengekangan kebebasan
berpendapat, bersikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dimuka
umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non
pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control.
Secara esensial
Indonesia membutuhkan peberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif
agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung
tinggi nilai hak-hak asasi manusia. Untuk itu maka diperlukan pengembangan
masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaan sekaligus agar proses
pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
B. KRITIK DAN
SARAN
Demikianlah makalah tentang “Masyarakat Madani” yang telah saya paparkan. Saya menyadari makalah
ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca
sangat saya harapkan untuk
perbaikan. Harapan saya,
semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. H.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Tafsiran
Al-Qur’an,
Jakarta)
Larry
Diamond. Developing Democracy Toward Consolidation. (Yogyakarta: IRE Press, 2003) A. Syafi’I
Ma’arif, Dkk, Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991)
Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan
Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
Kunawi Basyir, Civic Education, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press, 2011)
Dede Rosyada, Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani,
(Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003)
M Din Syamsuddin. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani.
Cet I
Azyumari Azra, “Demokrasi, Hak Asasi Manusai dan Masyarakat
Madani”, (Jakarta: ICCE UIN Hidayatullah, 2004)
Komaruddin Hidayat dan Azyumari
Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta : ICCE UIN Hidayatullah
Jakarta dan The Asia Foundation, 2006)
Muhammad AS Hikam. Demokrasi dan civil Society. (Jakarta: Pustaka, 1999)
Azyumardi Azra, 1999, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta
dan Kenyataan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya)
[1] Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab
Indonesia, (Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Tafsiran Al-Qur’an, Jakarta), hlm. 414
[2] Larry Diamond. Developing Democracy Toward
Consolidation. (Yogyakarta: IRE Press, 2003), hlm. 278
[3] A.
Syafi’I Ma’arif, Dkk, Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 84
[4]
Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat
Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 180-181
[6]
Dede Rosyada, Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, (Jakarta:
ICCE UIN Jakarta, 2003), hlm.
238-239
[9]
Azyumari Azra, “Demokrasi, Hak Asasi Manusai dan Masyarakat Madani”, (Jakarta:
ICCE UIN Hidayatullah, 2004), hlm.
247
[12] https://prasetiorumondor.wordpress.com/2015/05/13/karakteristik-masyarakat-madani/ (diakses 13-03-2019/20:45)
[13] Komaruddin Hidayat dan Azyumari
Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta : ICCE UIN Hidayatullah Jakarta
dan The Asia Foundation, 2006), hlm. 302-325.
[17]
Azyumardi Azra, 1999, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta dan Kenyataan, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya), hlm. 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar