Sabtu, 09 November 2019

Sejarah dan Perekonomian BPJS - Ekonomi Kesehatan


EKONOMI KESEHATAN
SEJARAH DAN PEREKONOMIAN BPJS



Disusun oleh:
 Kelompok 6
MUHAMMAD MAULADI

Dosen Pengampu:



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PEKANBARU
2019



KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah dan Perekonomian BPJS” ini. Tak lupa shalawat dan salam kita hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita.
            Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah Ekonomi Kesehatan yang sedang diikuti oleh penyusun dalam perkuliahan di Stikes HangTuah Pekanbaru. Penyusun juga ingin berterima kasih kepada dosen mata kuliah  Ekonomi Kesehatan ini atas bimbingannya.
            Namun, penyusun menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran pembaca sangat diperlukan guna melengkapi makalah ini. Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.


Pekanbaru, 20 September 2019


Penyusun





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG.......................................................................... 1
B.     RUMUSAN MASALAH...................................................................... 2
C.    TUJUAN................................................................................................ 2
D.    MANFAAT........................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.    SEJARAH BPJS................................................................................... 3
B.     CARA PEMBIAYAAN BPJS.............................................................. 6
C.    PEMBAYARAN BPJS......................................................................... 8
D.    PERMASALAHAN BPJS................................................................... 9
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN..................................................................................... 13
B.     SARAN.................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada tanggal 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan telah menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan. Bagi Tenaga Kerja yang mengikuti program JPK (Jaminan Pemelihara Kesehatan) PT Jamsostek (Persero) akan dialihkan ke BPJS Kesehatan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).
BPJS Kesehatan akan memberikan manfaat perlindungan sesuai dengan hak dan ketentuan yang berlaku. Hak dapat diperoleh setelah perusahaan dan tenaga kerja menyelesaikan kewajiban untuk membayar iuran.
Dalam pelaksanaan BPJS, masih ditemukan banyak masalah yang menyebabkan munculnya keluhan-keluhan dari masyarakat diantaranya, proses registrasi yang rumit, pelayanan yang kurang memuaskan, ruang perawatan yang tidak sesuai dengan jenis iuran BPJS, dan masih banyak lainnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya persiapan dalam pelaksanaan BPJS. Tidak hanya itu, banyak dari pihak masyarakat yang belum tahu prosedur registrasi dan cara kerja BPJS.
Untuk itu, kita perlu mengenal BPJS lebih dalam agar kita tidak hanya terikut dengan keluhan-keluhan yang ada tetapi juga bisa ikut membantu menyelesaikan masalah secara bersama. Melihat masih banyaknya masalah BPJS yang belum diketahui penyebabnya maka, dalam makalah ini penyusun tertarik untuk membahas pengenalan terhadap BPJS, bagaimana struktur organisasinya dan lain-lain. Karena untuk masuk dan ikut dalam sebuah program pemerintah maupun program-program lainnya setidaknya kita sudah mengetahui mengenai cara kerja program tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini, yaitu :
1.      Bagaimana Perjalanan/Sejarah BPJS?
2.      Bagaimana Pembiayaan dari BPJS?
3.      Bagaimana Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan?
4.      Permasalahan BPJS?

C.    Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini, yaitu :
1.      Untuk mengetahui sejarah singkat BPJS
2.      Untuk mengetahui pembiayaan BPJS
3.      Untuk mengetahui Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan
4.      Untuk mengetahui Permasalahan BPJS

D.    Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini, yaitu :
1.      Dapat mengetahui sejarah singkat BPJS
2.      Dapat mengetahui pembiayaan BPJS
3.      Dapat mengetahui Cara pembayaran fasilitas kesehatan
4.      Dapat mengetahui Permasalahan BPJS


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Sejarah BPJS
Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan pendapatan seseorang dari pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit, obat-obatan, operasi, dan lain lain. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga. Sehingga munculah istilah “SADIKIN”, sakit sedikit jadi miskin. Dapat disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan namun mungkin saja terjadi kapan saja dimana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun kematian karenanya kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun permanen.
Belum lagi menyiapkan diri pada saat jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang semakin bertambah. Pada tahun 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang. 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2030 terdapat 25%  penduduk Indonesia adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami berbagai penyakit degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai dampak lainnya. Apabila tidak ada yang menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang besar.
Seperti menemukan air di gurun, ketika Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap tudingan Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur dan menjawab permasalahan di atas.
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hingga disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).  Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001.Setelah resmi menjadi undang-undang, 4 bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada bulan Januari 2005, kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.  Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial. 4 bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).
Tahun berganti. DPR mengambil alih perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan bertambah, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tengah berseteru menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS.  Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit.
Pro dan kontra keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya berakhir pada 29 Oktober 2011, ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi Undang-Undang. Setelah melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya. Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.
B.     Pembiayaan BPJS
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkanjumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatankepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’sadalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FasilitasKesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepadapengelompokan diagnosis penyakit.
a.      Pembayar Iuran
1)      Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
2)      Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
3)      Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
4)      Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
b.      Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan palinglambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya.
Iuran premi kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pekerja informal. Besaran iuran bagi pekerja bukan penerima upah itu adalah Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I.
C.    Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan

BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s.
Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan Kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna.
Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.
D.    Permasalahan Mendasar BPJS
BPJS Kesehatan diharapkan dapat menyelenggarakan program jaminan sosial kesehatan yang berkualitas dan berkesinambungan. Faktanya, terdapat permasalahan mendasar bahwa premi yang harus dibayarkan peserta belum sesuai dengan hitungan para ahli atau belum sesuai hitungan akturia yang lazim digunakan dalam program seperti ini. Kondisi ini menimbulkan situasi underfunded program yang secara terstruktur akan berpengaruh terhadap kesinambungan (sustainabilitas) terhadap program jaminan kesehatan. Tantangan pelaksanaan program JKN-KIS saat ini dihadapkan pada persoalan tingkat kesehatan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS), yang mengalami defisit karena besaran iuran yang belum memadai dibandingkan dengan luasnya manfaat yang ditetapkan. Penetapan iuran oleh pemerintah belum sesuai dengan besaran iuran yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam policy brief penyesuaian besaran iuran JKN-KIS tahun 2015 (mismatch). Dalam bahasa sederhana, dapat dikatakan bahwa penetapan manfaat belum disesuaikan dengan kemampuan pendanaan program. Hal di atas kemudian diperparah dengan terjadinya adverse selection, insurance effect, lemahnya regulasi dalam kendali tingkat utilisasi dan potensi fraud yang terjadi. Untuk beberapa kondisi terakhir ini, setelah program berjalan selama 3 tahun, upaya untuk mengatasinya sudah semakin optimal, khususnya kemungkinan overconsume atas pemanfaatan program ini oleh masyarakat sudah mulai dikendalikan.
Tabel 1: Perbandingan antara Angka Ideal Besarnya Iuran Program Berdasarkan Perhitungan Aktuaria dan Besarnya Penetapan Iuran oleh Pemerintah
(Dalam Rupiah)
Segmen Peserta
Perhitungan Aktuaria DJSN*
Penetapan Pemerintah Selisih
Pilihan lain untuk mengatasi defisit, adalah mengurangi manfaat program. Namun ini tidak direkomendasikan. Misalnya, cukup satu manfaat saja yang tidak ditangggung, contohnya hilangkan pelayanan untuk kelompok penyakit jantung, maka defisit akan selesai dengan sendirinya. Pilihan selanjutnya adalah, pemerintah memberikan suntikan dana tambahan. Pilihan ini yang dilakukan pemerintah, mengingat pilihan menaikkan iuran harus memperhatikan kondisi masyarakat, dan pilihan mengurangi manfaat akan menimbulkan masalah sosial baru. Jumlah dan bauran kepesertaan yang selalu diopinikan akan dapat menyelesaikan masalah kecukupan dana manakala semua peserta sehat bergabung  dan seluruh penduduk Indonesia sudah terdaftar menjadi peserta JKN-KIS, setelah dihitung, ternyata terbukti tidak dapat menutup defisit yang terjadi, sepanjang iuran belum disesuaikan dengan hitungan aktuaria DJSN RI sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
BPJS Kesehatan beranjak lima tahun, sejak bersulih dari PT Askes (Persero) pada 1 Januari 2014 lalu. Namun, persoalan defisit yang didera BPJS Kesehatan tidak bisa dibilang remeh. Ibarat penyakit, defisit pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini kian hari kian menahun. Tengoklah, setelah defisit Rp3,3 triliun pada tahun pertamanya, di 2014 lalu, defisitnya kian bengkak hingga menyentuh Rp5,7 triliun pada 2015.Kemudian, menjadi Rp9,7 triliun pada 2016 dan Rp9,75 triliun pada 2017. Untuk tahun 2018, defisit diproyeksikan mencapai Rp16,5 triliun, yang belakangan dikoreksi hanya tersisa Rp10,98 triliun berdasar hitung-hitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut besaran klaim yang dibayarkan perusahaan selalu lebih besar ketimbang iuran yang diterima dari pesertanya. Sederhananya, besar pasak dari tiang. Harap maklum, pesertanya bejibun. Data resmi melansir jumlah peserta BPJS Kesehatan tembus 204,4 juta jiwa hingga pertengahan September 2018. Nah, separuh dari jumlah itu atau sekitar 118 juta merupakan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat miskin. Sudah barang pasti, iuran yang dibayarkan pun relatif murah meriah. Cuma Rp25.500 per bulan. Itu pun, bukan masyarakat miskin yang harus merogoh kocek mereka sendiri, melainkan pemerintah melalui APBN atau APBD.
Di sisi lain, BPJS Kesehatan menggunakan prinsip anggaran berimbang, dimana pos pengeluaran harus sama dengan pos pendapatan. Sayangnya, prinsip ini sekadar konsep di atas kertas. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Agus Pambagio mengaku telah lama mengkritisi mekanisme BPJS Kesehatan. Bahkan, sejak diterbitkannya Undang-Undang 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial. Menurutnya, besaran iuran yang murah akan menjadi petaka bagi keuangan BPJS Kesehatan.
Saat ini, iuran kelas I, kelas II, dan kelas III BPJS Kesehatan yang masing-masing bernilai Rp80 ribu, Rp51 ribu, dan Rp25.500. Jumlah itu dianggap rendah sekali. Padahal, hampir seluruh penyakit ditanggung BPJS Kesehatan. Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014, 155 penyakit ditangani oleh BPJS Kesehatan bagi peserta iuran kelas I. Apalagi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan jarang dilakukan. Sementara, pelayanan kesehatan mengalami inflasi setiap tahunnya. Sekadar mengingatkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan terakhir kali terjadi 1 April 2016 silam.
Tak hanya itu, kepatuhan peserta membayar iuran pun dipertanyakannya. Dalam sebuah observasi yang dilakukan timnya beberapa waktu silam, peserta BPJS Kesehatan malas membayar iurannya, meski sebelumnya telah mengklaim fasilitas BPJS Kesehatan dalam jumlah besar. Selain masalah iuran yang rendah, defisit juga disumbang oleh sistem klaim dari rumah sakit yang menggunakan aplikasi Indonesia Case Base Groups (Inasibijis). Sistem ini disebutnya membuka celah rumah sakit untuk melakukan kecurangan (fraud), sehingga klaim yang dibayar BPJS Kesehatan membengkak.
Ambil contoh, rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tercatat 12 persen di tahun 2017. Namun, angkanya malah naik 15,6 persen pada tahun 2018. Peningkatan rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan ini tentu bisa meningkatkan jumlah klaim yang dibayar BPJS Kesehatan Ironisnya, setelah negara menanggung peserta PBI lewat APBN dan APBD, kini negara juga harus menanggung defisit BPJS Kesehatan. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menuturkan pemerintah akan segera mencairkan suntikan modal senilai Rp4,99 triliun kepada BPJS Kesehatan. Dana itu berasal dari cadangan APBN 2018.






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
  1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
  2. BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s.
  3. BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

B.     Saran
  1. Sustainabilitas program atau bahwa program jaminan sosial harus berkelanjutan selama negara ini ada, oleh karena itu harus dikelola secara prudent, efisien dengan tetap mengacu pada bu
  2. daya pengelolaan korporasi
  3. Kenyataannya 80% penyakit yang ditangani rumah sakit rujukan di Provinsi adalah penyakit yang seharusnya ditangani di Puskesmas. Tingkat okupansi tempat tidur yang tinggi di RS Rujukan Provinsi bukan indikator kesuksesan suatu Jaminan Kesehatan. Hal ini berdampak pada beban fiskal daerah yang terlalu tinggi.Oleh karenanya Pelaksanaan Jaminan Kesehatan membutuhkan sistem rujukan berjenjang dan terstruktur maka setiap Provinsi harap segera menyusun peraturan terkait sistem rujukan.

DAFTAR PUSTAKA
gumelar.galih, 2018, Pangkal Penyakit Defisit BPJS Kesehatan, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180919164958-78-331498/pangkal-penyakit-defisit-bpjs-kesehatan diakses pada 20 september 2019 pada 11.00 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar