Sabtu, 09 November 2019

Jual Beli Dalam Fiqih Muamalah


JUAL BELI DALAM FIQIH MUAMALAH

Dosen Pembimbing : Hikmatuloh, S.Ag, S.Pd, M.Sy

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fiqih Muamalah







OLEH KELOMPOK 4:
MUHAMMAD MAULADI



FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PRODI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
2018/2019



KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Fiqih Muamalah dengan judul "Jual Beli Dalam Fiqih Muamalah" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.


Pekanbaru, 31 Oktober 2019


Kelompok 4
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A.    LATAR BELAKANG................................................................................................... 1
B.     RUMUSAN MASALAH.............................................................................................. 2
C.    TUJUAN........................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A.    PENGERTIAN JUAL BELI........................................................................................ 3
B.     LANDASAN ATAU DASAR HUKUM JUAL BELI................................................ 5
C.    RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI......................................................................... 6
D.    MACAM-MACAM JUAL BELI............................................................................... 10
E.     PRINSIP-PRINSIP JUAL BELI............................................................................... 13
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 16
A.    Kesimpulan.................................................................................................................. 16
B.     Kritik dan Saran......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.

B.     Rumusan Masalah
1)      Apa yang dimaksud dengan jual beli?
2)      Bagaimana landasan atau dasar hukum jual beli?
3)      Bagaimana rukun dan syarat jual beli?
4)      Apa saja macam-macam jual beli?
5)      Apa saja prinsip-prinsip dalam jual beli?

C.     Tujuan
1)      Mengetahui definisi dari jual beli baik secara bahasa maupun istilah.
2)      Mengetahui dasar hukum dari jual beli.
3)      Mengetahui rukun dan syarat jual beli.
4)      Mengetahui macam-macam jual beli.
5)      Mengetahui prinsip-prinsip dari jual beli.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN JUAL BELI
Jual beli secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti. Sedangkan menurut syaraʻ jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syaraʻ dan disepakati.[1]
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
Ø  Menurut ulama Hanafiyah: [2])
Jual beli adalah ”pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
Ø  Menurut Imam Nawawi[3]) dalam Al-Majmu’ :
Jual beli adalah ”pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
Ø  Menurut Ibnu Qudamah[4]) dalam kitab Al-mugni ‘ :
Jual beli adalah ”pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”
Pengertian lainnya Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak (dirham).
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain[5] : 2()
a)      Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b)      Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c)      Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
d)     Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.

B.     LANDASAN ATAU DASAR HUKUM JUAL BELI
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini di syariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1)      Al Qur’an, yang mana Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah, 2: 198 :
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ وَٱذۡكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمۡ وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
2)      Sunnah Nabi, yang mengatakan:
Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadist di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
3)      Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Mengacu kepada ayat-ayat  Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.
Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah, misalnya dalam jual beli barang yang hukum menggunakan barang yang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi.
Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga. Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan.
Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan itu hukumnya makruh  seperti rokok.

C.     RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan  qabul adalah ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.[6]
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1)      Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2)      Ada sighat (lafal ijab qabul).
3)      Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4)      Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut :
a)      Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat, yaitu :
1)      Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2)      Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
3)      Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.
b)      Syarat yang terkait dalam ijab qabul
1)      Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2)      Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
3)      Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.[7]

c)      Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut :
1)      Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
2)      Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang memilikinya.
3)      Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.
4)      Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5)      Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6)      Boleh diserahkan saat akad berlangsung.[8]
d)      Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r. Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai). Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga dipasar).
Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) yaitu:
1)      Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2)      Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.
3)      Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.[9]

D.    MACAM-MACAM JUAL BELI
Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a)      Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
1)      Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
2)      Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3)      Jual beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
b)      Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1)      Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
2)      Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan menurut syara’.
3)      Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya.
c)      Dinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2)      Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2)      Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
·         Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
·         Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
·         Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
·         Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno.
·         Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.[10]
3)      Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
·         Jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad.
·         Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
·         Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
·         Jual beli barang rampasan atau curian.
·         Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.[11]

E.     PRINSIP-PRINSIP JUAL BELI
a)      Prinsip Jual-Beli
1)      Jual-beli Murȃbahah
Jual beli murȃbahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah.[12] Dalam murȃbahah,  penjual  menyebutkan  harga  pembelian  barang  kepada  pembeli, kemudian  ia  mensyaratkan  atas  laba  dalam  jumlah  tertentu.  Pada  perjanjian murȃbahah, bank           membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok, dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang ditambah dengan keuntungan, atau di mark-up.
Pembayaran murȃbahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam murȃbahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Murȃbahah muʻajjal   dicirikan   dengan  adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian, baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum (sekaligus).
2)      Jual-beli Salam
Definisi salam adalah akad pesanan barang yang disebutkan sifat-sifatnya, yang dalam majelis itu pemesan barang menyerahkan uang seharga barang pesanan yang barang pesanan tersebut menjadi tanggungan penerima pesanan.[13]
3)      Jual-beli Istishna
Menurut jumhur ulama’ fiqh, jual-beli istishna merupakan suatu jenis khusus dari jual-beli salam. Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad salam. Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran.
b)      Prinsip Sewa (Ijȃrah)
Ijȃrah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah lease contract dimana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syari’ah dikenal Ijȃrah Muntahiah Bi Al-Tamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
c)      Prinsip bagi hasil
Produk pembiayaan bank syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil terdiri dari musyȃrakah dan mudlȃrabah.
1)      Musyȃrakah
Istilah lain dari musyȃrakah adalah syirkah atau syarikah. Musyȃrakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2)      Mudlȃrabah
Secara teknis mudlȃrabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudlȃrabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka. Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di atas. Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi Kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.





DAFTAR PUSTAKA
Alaudin Al-Kasyani, Badai’ Ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syarai’. Juz V.
Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz
4.
Drs. Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup,
2008)
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Ibnu Qudamah, Al-Mugni. Juz III.
MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008)
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj. Juz II.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007).
Thauam Marufah, Jual Beli dan Khiyar, di kutip pada situs: http://bolo-
kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html.
Diakses di Pekanbaru Pukul 11:12 WIB pada tanggal 31 Oktober 2019.




[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 68.
[2] Alaudin Al-Kasyani, Badai’ Ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syarai’. Juz V, Hlm. 133.
[3] Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj. Juz II, hlm. 2.
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mugni. Juz III, hlm. 559.
[5] Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.
[6] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.
[7] Nasrun Haroen,. Ibid, hlm. 9.
[8] MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98.
[9] Drs. Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm. 35.
[10] Thauam Marufah, Jual Beli dan Khiyar, di kutip pada situs: http://bolo-kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html. Diakses di Pekanbaru Pukul 11:12 WIB pada tanggal 31 Oktober 2019.
[11] Drs. Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm. 89.
[12] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 62.
[13] Hendi Suhendi, Ibid., hlm. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar