Sabtu, 09 November 2019

Sejarah dan Perekonomian BPJS - Ekonomi Kesehatan


EKONOMI KESEHATAN
SEJARAH DAN PEREKONOMIAN BPJS



Disusun oleh:
 Kelompok 6
MUHAMMAD MAULADI

Dosen Pengampu:



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PEKANBARU
2019



KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah dan Perekonomian BPJS” ini. Tak lupa shalawat dan salam kita hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita.
            Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah Ekonomi Kesehatan yang sedang diikuti oleh penyusun dalam perkuliahan di Stikes HangTuah Pekanbaru. Penyusun juga ingin berterima kasih kepada dosen mata kuliah  Ekonomi Kesehatan ini atas bimbingannya.
            Namun, penyusun menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran pembaca sangat diperlukan guna melengkapi makalah ini. Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.


Pekanbaru, 20 September 2019


Penyusun





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG.......................................................................... 1
B.     RUMUSAN MASALAH...................................................................... 2
C.    TUJUAN................................................................................................ 2
D.    MANFAAT........................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.    SEJARAH BPJS................................................................................... 3
B.     CARA PEMBIAYAAN BPJS.............................................................. 6
C.    PEMBAYARAN BPJS......................................................................... 8
D.    PERMASALAHAN BPJS................................................................... 9
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN..................................................................................... 13
B.     SARAN.................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada tanggal 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan telah menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan. Bagi Tenaga Kerja yang mengikuti program JPK (Jaminan Pemelihara Kesehatan) PT Jamsostek (Persero) akan dialihkan ke BPJS Kesehatan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).
BPJS Kesehatan akan memberikan manfaat perlindungan sesuai dengan hak dan ketentuan yang berlaku. Hak dapat diperoleh setelah perusahaan dan tenaga kerja menyelesaikan kewajiban untuk membayar iuran.
Dalam pelaksanaan BPJS, masih ditemukan banyak masalah yang menyebabkan munculnya keluhan-keluhan dari masyarakat diantaranya, proses registrasi yang rumit, pelayanan yang kurang memuaskan, ruang perawatan yang tidak sesuai dengan jenis iuran BPJS, dan masih banyak lainnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya persiapan dalam pelaksanaan BPJS. Tidak hanya itu, banyak dari pihak masyarakat yang belum tahu prosedur registrasi dan cara kerja BPJS.
Untuk itu, kita perlu mengenal BPJS lebih dalam agar kita tidak hanya terikut dengan keluhan-keluhan yang ada tetapi juga bisa ikut membantu menyelesaikan masalah secara bersama. Melihat masih banyaknya masalah BPJS yang belum diketahui penyebabnya maka, dalam makalah ini penyusun tertarik untuk membahas pengenalan terhadap BPJS, bagaimana struktur organisasinya dan lain-lain. Karena untuk masuk dan ikut dalam sebuah program pemerintah maupun program-program lainnya setidaknya kita sudah mengetahui mengenai cara kerja program tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini, yaitu :
1.      Bagaimana Perjalanan/Sejarah BPJS?
2.      Bagaimana Pembiayaan dari BPJS?
3.      Bagaimana Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan?
4.      Permasalahan BPJS?

C.    Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini, yaitu :
1.      Untuk mengetahui sejarah singkat BPJS
2.      Untuk mengetahui pembiayaan BPJS
3.      Untuk mengetahui Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan
4.      Untuk mengetahui Permasalahan BPJS

D.    Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini, yaitu :
1.      Dapat mengetahui sejarah singkat BPJS
2.      Dapat mengetahui pembiayaan BPJS
3.      Dapat mengetahui Cara pembayaran fasilitas kesehatan
4.      Dapat mengetahui Permasalahan BPJS


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Sejarah BPJS
Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan pendapatan seseorang dari pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit, obat-obatan, operasi, dan lain lain. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga. Sehingga munculah istilah “SADIKIN”, sakit sedikit jadi miskin. Dapat disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan namun mungkin saja terjadi kapan saja dimana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun kematian karenanya kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun permanen.
Belum lagi menyiapkan diri pada saat jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang semakin bertambah. Pada tahun 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang. 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2030 terdapat 25%  penduduk Indonesia adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami berbagai penyakit degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai dampak lainnya. Apabila tidak ada yang menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang besar.
Seperti menemukan air di gurun, ketika Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap tudingan Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur dan menjawab permasalahan di atas.
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hingga disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).  Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001.Setelah resmi menjadi undang-undang, 4 bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada bulan Januari 2005, kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.  Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial. 4 bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).
Tahun berganti. DPR mengambil alih perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan bertambah, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tengah berseteru menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS.  Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit.
Pro dan kontra keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya berakhir pada 29 Oktober 2011, ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi Undang-Undang. Setelah melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya. Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.
B.     Pembiayaan BPJS
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkanjumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatankepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’sadalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FasilitasKesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepadapengelompokan diagnosis penyakit.
a.      Pembayar Iuran
1)      Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
2)      Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
3)      Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
4)      Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
b.      Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan palinglambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya.
Iuran premi kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pekerja informal. Besaran iuran bagi pekerja bukan penerima upah itu adalah Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I.
C.    Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan

BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s.
Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan Kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna.
Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.
D.    Permasalahan Mendasar BPJS
BPJS Kesehatan diharapkan dapat menyelenggarakan program jaminan sosial kesehatan yang berkualitas dan berkesinambungan. Faktanya, terdapat permasalahan mendasar bahwa premi yang harus dibayarkan peserta belum sesuai dengan hitungan para ahli atau belum sesuai hitungan akturia yang lazim digunakan dalam program seperti ini. Kondisi ini menimbulkan situasi underfunded program yang secara terstruktur akan berpengaruh terhadap kesinambungan (sustainabilitas) terhadap program jaminan kesehatan. Tantangan pelaksanaan program JKN-KIS saat ini dihadapkan pada persoalan tingkat kesehatan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS), yang mengalami defisit karena besaran iuran yang belum memadai dibandingkan dengan luasnya manfaat yang ditetapkan. Penetapan iuran oleh pemerintah belum sesuai dengan besaran iuran yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam policy brief penyesuaian besaran iuran JKN-KIS tahun 2015 (mismatch). Dalam bahasa sederhana, dapat dikatakan bahwa penetapan manfaat belum disesuaikan dengan kemampuan pendanaan program. Hal di atas kemudian diperparah dengan terjadinya adverse selection, insurance effect, lemahnya regulasi dalam kendali tingkat utilisasi dan potensi fraud yang terjadi. Untuk beberapa kondisi terakhir ini, setelah program berjalan selama 3 tahun, upaya untuk mengatasinya sudah semakin optimal, khususnya kemungkinan overconsume atas pemanfaatan program ini oleh masyarakat sudah mulai dikendalikan.
Tabel 1: Perbandingan antara Angka Ideal Besarnya Iuran Program Berdasarkan Perhitungan Aktuaria dan Besarnya Penetapan Iuran oleh Pemerintah
(Dalam Rupiah)
Segmen Peserta
Perhitungan Aktuaria DJSN*
Penetapan Pemerintah Selisih
Pilihan lain untuk mengatasi defisit, adalah mengurangi manfaat program. Namun ini tidak direkomendasikan. Misalnya, cukup satu manfaat saja yang tidak ditangggung, contohnya hilangkan pelayanan untuk kelompok penyakit jantung, maka defisit akan selesai dengan sendirinya. Pilihan selanjutnya adalah, pemerintah memberikan suntikan dana tambahan. Pilihan ini yang dilakukan pemerintah, mengingat pilihan menaikkan iuran harus memperhatikan kondisi masyarakat, dan pilihan mengurangi manfaat akan menimbulkan masalah sosial baru. Jumlah dan bauran kepesertaan yang selalu diopinikan akan dapat menyelesaikan masalah kecukupan dana manakala semua peserta sehat bergabung  dan seluruh penduduk Indonesia sudah terdaftar menjadi peserta JKN-KIS, setelah dihitung, ternyata terbukti tidak dapat menutup defisit yang terjadi, sepanjang iuran belum disesuaikan dengan hitungan aktuaria DJSN RI sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
BPJS Kesehatan beranjak lima tahun, sejak bersulih dari PT Askes (Persero) pada 1 Januari 2014 lalu. Namun, persoalan defisit yang didera BPJS Kesehatan tidak bisa dibilang remeh. Ibarat penyakit, defisit pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini kian hari kian menahun. Tengoklah, setelah defisit Rp3,3 triliun pada tahun pertamanya, di 2014 lalu, defisitnya kian bengkak hingga menyentuh Rp5,7 triliun pada 2015.Kemudian, menjadi Rp9,7 triliun pada 2016 dan Rp9,75 triliun pada 2017. Untuk tahun 2018, defisit diproyeksikan mencapai Rp16,5 triliun, yang belakangan dikoreksi hanya tersisa Rp10,98 triliun berdasar hitung-hitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut besaran klaim yang dibayarkan perusahaan selalu lebih besar ketimbang iuran yang diterima dari pesertanya. Sederhananya, besar pasak dari tiang. Harap maklum, pesertanya bejibun. Data resmi melansir jumlah peserta BPJS Kesehatan tembus 204,4 juta jiwa hingga pertengahan September 2018. Nah, separuh dari jumlah itu atau sekitar 118 juta merupakan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat miskin. Sudah barang pasti, iuran yang dibayarkan pun relatif murah meriah. Cuma Rp25.500 per bulan. Itu pun, bukan masyarakat miskin yang harus merogoh kocek mereka sendiri, melainkan pemerintah melalui APBN atau APBD.
Di sisi lain, BPJS Kesehatan menggunakan prinsip anggaran berimbang, dimana pos pengeluaran harus sama dengan pos pendapatan. Sayangnya, prinsip ini sekadar konsep di atas kertas. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Agus Pambagio mengaku telah lama mengkritisi mekanisme BPJS Kesehatan. Bahkan, sejak diterbitkannya Undang-Undang 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial. Menurutnya, besaran iuran yang murah akan menjadi petaka bagi keuangan BPJS Kesehatan.
Saat ini, iuran kelas I, kelas II, dan kelas III BPJS Kesehatan yang masing-masing bernilai Rp80 ribu, Rp51 ribu, dan Rp25.500. Jumlah itu dianggap rendah sekali. Padahal, hampir seluruh penyakit ditanggung BPJS Kesehatan. Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014, 155 penyakit ditangani oleh BPJS Kesehatan bagi peserta iuran kelas I. Apalagi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan jarang dilakukan. Sementara, pelayanan kesehatan mengalami inflasi setiap tahunnya. Sekadar mengingatkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan terakhir kali terjadi 1 April 2016 silam.
Tak hanya itu, kepatuhan peserta membayar iuran pun dipertanyakannya. Dalam sebuah observasi yang dilakukan timnya beberapa waktu silam, peserta BPJS Kesehatan malas membayar iurannya, meski sebelumnya telah mengklaim fasilitas BPJS Kesehatan dalam jumlah besar. Selain masalah iuran yang rendah, defisit juga disumbang oleh sistem klaim dari rumah sakit yang menggunakan aplikasi Indonesia Case Base Groups (Inasibijis). Sistem ini disebutnya membuka celah rumah sakit untuk melakukan kecurangan (fraud), sehingga klaim yang dibayar BPJS Kesehatan membengkak.
Ambil contoh, rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tercatat 12 persen di tahun 2017. Namun, angkanya malah naik 15,6 persen pada tahun 2018. Peningkatan rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan ini tentu bisa meningkatkan jumlah klaim yang dibayar BPJS Kesehatan Ironisnya, setelah negara menanggung peserta PBI lewat APBN dan APBD, kini negara juga harus menanggung defisit BPJS Kesehatan. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menuturkan pemerintah akan segera mencairkan suntikan modal senilai Rp4,99 triliun kepada BPJS Kesehatan. Dana itu berasal dari cadangan APBN 2018.






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
  1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
  2. BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s.
  3. BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

B.     Saran
  1. Sustainabilitas program atau bahwa program jaminan sosial harus berkelanjutan selama negara ini ada, oleh karena itu harus dikelola secara prudent, efisien dengan tetap mengacu pada bu
  2. daya pengelolaan korporasi
  3. Kenyataannya 80% penyakit yang ditangani rumah sakit rujukan di Provinsi adalah penyakit yang seharusnya ditangani di Puskesmas. Tingkat okupansi tempat tidur yang tinggi di RS Rujukan Provinsi bukan indikator kesuksesan suatu Jaminan Kesehatan. Hal ini berdampak pada beban fiskal daerah yang terlalu tinggi.Oleh karenanya Pelaksanaan Jaminan Kesehatan membutuhkan sistem rujukan berjenjang dan terstruktur maka setiap Provinsi harap segera menyusun peraturan terkait sistem rujukan.

DAFTAR PUSTAKA
gumelar.galih, 2018, Pangkal Penyakit Defisit BPJS Kesehatan, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180919164958-78-331498/pangkal-penyakit-defisit-bpjs-kesehatan diakses pada 20 september 2019 pada 11.00 wib.

Jual Beli Dalam Fiqih Muamalah


JUAL BELI DALAM FIQIH MUAMALAH

Dosen Pembimbing : Hikmatuloh, S.Ag, S.Pd, M.Sy

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fiqih Muamalah







OLEH KELOMPOK 4:
MUHAMMAD MAULADI



FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PRODI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
2018/2019



KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Fiqih Muamalah dengan judul "Jual Beli Dalam Fiqih Muamalah" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.


Pekanbaru, 31 Oktober 2019


Kelompok 4
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A.    LATAR BELAKANG................................................................................................... 1
B.     RUMUSAN MASALAH.............................................................................................. 2
C.    TUJUAN........................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A.    PENGERTIAN JUAL BELI........................................................................................ 3
B.     LANDASAN ATAU DASAR HUKUM JUAL BELI................................................ 5
C.    RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI......................................................................... 6
D.    MACAM-MACAM JUAL BELI............................................................................... 10
E.     PRINSIP-PRINSIP JUAL BELI............................................................................... 13
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 16
A.    Kesimpulan.................................................................................................................. 16
B.     Kritik dan Saran......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.

B.     Rumusan Masalah
1)      Apa yang dimaksud dengan jual beli?
2)      Bagaimana landasan atau dasar hukum jual beli?
3)      Bagaimana rukun dan syarat jual beli?
4)      Apa saja macam-macam jual beli?
5)      Apa saja prinsip-prinsip dalam jual beli?

C.     Tujuan
1)      Mengetahui definisi dari jual beli baik secara bahasa maupun istilah.
2)      Mengetahui dasar hukum dari jual beli.
3)      Mengetahui rukun dan syarat jual beli.
4)      Mengetahui macam-macam jual beli.
5)      Mengetahui prinsip-prinsip dari jual beli.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN JUAL BELI
Jual beli secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti. Sedangkan menurut syaraʻ jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syaraʻ dan disepakati.[1]
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
Ø  Menurut ulama Hanafiyah: [2])
Jual beli adalah ”pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
Ø  Menurut Imam Nawawi[3]) dalam Al-Majmu’ :
Jual beli adalah ”pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
Ø  Menurut Ibnu Qudamah[4]) dalam kitab Al-mugni ‘ :
Jual beli adalah ”pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”
Pengertian lainnya Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak (dirham).
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain[5] : 2()
a)      Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b)      Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c)      Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
d)     Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.

B.     LANDASAN ATAU DASAR HUKUM JUAL BELI
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini di syariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1)      Al Qur’an, yang mana Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah, 2: 198 :
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ وَٱذۡكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمۡ وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
2)      Sunnah Nabi, yang mengatakan:
Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadist di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
3)      Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Mengacu kepada ayat-ayat  Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.
Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah, misalnya dalam jual beli barang yang hukum menggunakan barang yang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi.
Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga. Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan.
Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan itu hukumnya makruh  seperti rokok.

C.     RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan  qabul adalah ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.[6]
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1)      Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2)      Ada sighat (lafal ijab qabul).
3)      Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4)      Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut :
a)      Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat, yaitu :
1)      Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2)      Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
3)      Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.
b)      Syarat yang terkait dalam ijab qabul
1)      Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2)      Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
3)      Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.[7]

c)      Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut :
1)      Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
2)      Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang memilikinya.
3)      Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.
4)      Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5)      Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6)      Boleh diserahkan saat akad berlangsung.[8]
d)      Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r. Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai). Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga dipasar).
Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) yaitu:
1)      Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2)      Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.
3)      Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.[9]

D.    MACAM-MACAM JUAL BELI
Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a)      Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
1)      Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
2)      Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3)      Jual beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
b)      Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1)      Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
2)      Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan menurut syara’.
3)      Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya.
c)      Dinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2)      Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2)      Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
·         Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
·         Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
·         Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
·         Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno.
·         Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.[10]
3)      Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
·         Jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad.
·         Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
·         Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
·         Jual beli barang rampasan atau curian.
·         Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.[11]

E.     PRINSIP-PRINSIP JUAL BELI
a)      Prinsip Jual-Beli
1)      Jual-beli Murȃbahah
Jual beli murȃbahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah.[12] Dalam murȃbahah,  penjual  menyebutkan  harga  pembelian  barang  kepada  pembeli, kemudian  ia  mensyaratkan  atas  laba  dalam  jumlah  tertentu.  Pada  perjanjian murȃbahah, bank           membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok, dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang ditambah dengan keuntungan, atau di mark-up.
Pembayaran murȃbahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam murȃbahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Murȃbahah muʻajjal   dicirikan   dengan  adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian, baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum (sekaligus).
2)      Jual-beli Salam
Definisi salam adalah akad pesanan barang yang disebutkan sifat-sifatnya, yang dalam majelis itu pemesan barang menyerahkan uang seharga barang pesanan yang barang pesanan tersebut menjadi tanggungan penerima pesanan.[13]
3)      Jual-beli Istishna
Menurut jumhur ulama’ fiqh, jual-beli istishna merupakan suatu jenis khusus dari jual-beli salam. Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad salam. Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran.
b)      Prinsip Sewa (Ijȃrah)
Ijȃrah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah lease contract dimana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syari’ah dikenal Ijȃrah Muntahiah Bi Al-Tamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
c)      Prinsip bagi hasil
Produk pembiayaan bank syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil terdiri dari musyȃrakah dan mudlȃrabah.
1)      Musyȃrakah
Istilah lain dari musyȃrakah adalah syirkah atau syarikah. Musyȃrakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2)      Mudlȃrabah
Secara teknis mudlȃrabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudlȃrabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka. Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di atas. Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi Kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.





DAFTAR PUSTAKA
Alaudin Al-Kasyani, Badai’ Ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syarai’. Juz V.
Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz
4.
Drs. Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup,
2008)
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Ibnu Qudamah, Al-Mugni. Juz III.
MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008)
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj. Juz II.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007).
Thauam Marufah, Jual Beli dan Khiyar, di kutip pada situs: http://bolo-
kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html.
Diakses di Pekanbaru Pukul 11:12 WIB pada tanggal 31 Oktober 2019.




[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 68.
[2] Alaudin Al-Kasyani, Badai’ Ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syarai’. Juz V, Hlm. 133.
[3] Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj. Juz II, hlm. 2.
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mugni. Juz III, hlm. 559.
[5] Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.
[6] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.
[7] Nasrun Haroen,. Ibid, hlm. 9.
[8] MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98.
[9] Drs. Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm. 35.
[10] Thauam Marufah, Jual Beli dan Khiyar, di kutip pada situs: http://bolo-kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html. Diakses di Pekanbaru Pukul 11:12 WIB pada tanggal 31 Oktober 2019.
[11] Drs. Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm. 89.
[12] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 62.
[13] Hendi Suhendi, Ibid., hlm. 63.