EKONOMI KESEHATAN
SEJARAH DAN PEREKONOMIAN BPJS
Disusun oleh:
Kelompok 6
MUHAMMAD MAULADI
Dosen Pengampu:
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
HANGTUAH
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN
MASYARAKAT
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
dan Perekonomian BPJS” ini. Tak lupa shalawat dan salam kita hanturkan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita.
Makalah ini merupakan tugas dari
mata kuliah Ekonomi Kesehatan yang sedang diikuti oleh penyusun dalam perkuliahan
di Stikes HangTuah Pekanbaru. Penyusun juga ingin berterima kasih kepada dosen
mata kuliah Ekonomi Kesehatan ini atas
bimbingannya.
Namun, penyusun menyadari bahwa
masih banyaknya kekurangan dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran
pembaca sangat diperlukan guna melengkapi makalah ini. Akhirnya, penyusun
berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.
Pekanbaru, 20
September 2019
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR
ISI..................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.......................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................... 2
C. TUJUAN................................................................................................ 2
D. MANFAAT........................................................................................... 2
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
A.
SEJARAH
BPJS................................................................................... 3
B.
CARA
PEMBIAYAAN BPJS.............................................................. 6
C.
PEMBAYARAN
BPJS......................................................................... 8
D.
PERMASALAHAN
BPJS................................................................... 9
BAB
III PENUTUP
A. KESIMPULAN..................................................................................... 13
B. SARAN.................................................................................................. 13
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
tanggal 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan telah menyelenggarakan Program Jaminan
Kesehatan. Bagi Tenaga Kerja yang mengikuti program JPK (Jaminan Pemelihara
Kesehatan) PT Jamsostek (Persero) akan dialihkan ke BPJS Kesehatan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga
menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang
terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang
implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain:
Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI);
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan
JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).
BPJS Kesehatan akan memberikan manfaat
perlindungan sesuai dengan hak dan ketentuan yang berlaku. Hak dapat diperoleh
setelah perusahaan dan tenaga kerja menyelesaikan kewajiban untuk membayar iuran.
Dalam pelaksanaan BPJS, masih ditemukan
banyak masalah yang menyebabkan munculnya keluhan-keluhan dari masyarakat
diantaranya, proses registrasi yang rumit, pelayanan yang kurang memuaskan,
ruang perawatan yang tidak sesuai dengan jenis iuran BPJS, dan masih banyak
lainnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya persiapan dalam pelaksanaan BPJS.
Tidak hanya itu, banyak dari pihak masyarakat yang belum tahu prosedur
registrasi dan cara kerja BPJS.
Untuk itu, kita perlu mengenal BPJS lebih
dalam agar kita tidak hanya terikut dengan keluhan-keluhan yang ada tetapi juga
bisa ikut membantu menyelesaikan masalah secara bersama. Melihat masih
banyaknya masalah BPJS yang belum diketahui penyebabnya maka, dalam makalah ini
penyusun tertarik untuk membahas pengenalan terhadap BPJS, bagaimana struktur
organisasinya dan lain-lain. Karena untuk masuk dan ikut dalam sebuah program
pemerintah maupun program-program lainnya setidaknya kita sudah mengetahui
mengenai cara kerja program tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi
pembahasan dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana
Perjalanan/Sejarah BPJS?
2. Bagaimana
Pembiayaan dari BPJS?
3.
Bagaimana Cara
Pembayaran Fasilitas Kesehatan?
4.
Permasalahan BPJS?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan penyusunan makalah ini, yaitu :
1.
Untuk mengetahui
sejarah singkat BPJS
2.
Untuk mengetahui
pembiayaan BPJS
3.
Untuk mengetahui
Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan
4.
Untuk mengetahui
Permasalahan BPJS
D.
Manfaat
Manfaat
yang dapat diperoleh dari makalah ini, yaitu :
1.
Dapat mengetahui
sejarah singkat BPJS
2.
Dapat mengetahui
pembiayaan BPJS
3.
Dapat mengetahui
Cara pembayaran fasilitas kesehatan
4.
Dapat mengetahui
Permasalahan BPJS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah BPJS
Adanya pengeluaran yang tidak terduga
apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit berat yang
menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang
sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan pendapatan seseorang dari
pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit,
obat-obatan, operasi, dan lain lain. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran
ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga. Sehingga munculah istilah “SADIKIN”,
sakit sedikit jadi miskin. Dapat disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa
digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit
karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk
mengobati penyakit yang dideritanya. Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan kematian. Suatu peristiwa yang
tidak kita harapkan namun mungkin saja terjadi kapan saja dimana kecelakaan
dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun kematian karenanya
kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun permanen.
Belum lagi menyiapkan diri pada saat
jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang semakin bertambah. Pada tahun 2030,
diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang. 70 juta
diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada
tahun 2030 terdapat 25% penduduk
Indonesia adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami berbagai penyakit
degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai dampak
lainnya. Apabila tidak ada yang
menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang
besar.
Seperti menemukan air di gurun, ketika
Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap tudingan Indonesia
sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur dan menjawab
permasalahan di atas.
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD
Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal
28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2)
mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hingga
disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun
2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun
2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep
SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan melalui upaya penyusunan
konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra
(Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus
2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial
Nasional). Sejalan dengan pernyataan
Presiden, DPA RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11
Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI
oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR
RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI
yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam
rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI
Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk
Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7
Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001)
yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah
menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada
perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri
meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim
SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal
dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami
perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah
terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan
dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat
itu.Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN,
14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah
mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian
setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN
tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari
2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan
Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami
3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga
diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan
sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan
menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN
memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak
Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001.Setelah resmi menjadi
undang-undang, 4 bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada bulan Januari
2005, kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN
terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.
Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup
kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial. 4 bulan kemudian, pada
31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4
BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah
(BPJSD).
Tahun berganti. DPR mengambil alih
perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke
permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada
bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan bertambah, selain bentuk badan hukum,
Pemerintah dan DPR tengah berseteru menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah
BPJS. Dikotomi BPJS multi dan BPJS
tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit.
Pro dan kontra keberadaan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya berakhir pada 29 Oktober 2011,
ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi Undang-Undang.
Setelah melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di
mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus,
Panja, hingga proses formal lainnya. Sementara di kalangan operator hal serupa
dilakukan di lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi
PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.
B.
Pembiayaan
BPJS
Iuran
Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh
Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan
(pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar
dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
berdasarkanjumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan
jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Non Kapitasi adalah besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatankepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
berdasarkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Indonesian - Case Based
Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’sadalah besaran pembayaran
klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FasilitasKesehatan Tingkat Lanjutan atas paket
layanan yang didasarkan kepadapengelompokan diagnosis penyakit.
a.
Pembayar Iuran
1)
Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
2)
Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh
Pemberi Kerja dan Pekerja.
3)
Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan
Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
4)
Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui
Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan
sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
b.
Pembayaran
Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu
jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja
wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi
tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS
Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila
tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari
kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda
administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak
dan dibayar oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah
dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang
dibayarkan palinglambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS
Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS Kesehatan menghitung kelebihan
atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal
terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan
memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau
kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan
berikutnya.
Iuran premi kepesertaan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pekerja informal. Besaran iuran bagi pekerja
bukan penerima upah itu adalah Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap
kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I.
C. Cara Pembayaran
Fasilitas Kesehatan
BPJS Kesehatan akan membayar kepada
Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan
rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA
CBG’s.
Mengingat kondisi geografis Indonesia,
tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau dengan mudah. Maka, jika di
suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan Kapitasi, BPJS Kesehatan
diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih
berhasil guna.
Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak
menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan
gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat
dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan akan membayar kepada
fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan
gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.
D. Permasalahan
Mendasar BPJS
BPJS Kesehatan diharapkan dapat
menyelenggarakan program jaminan sosial kesehatan yang berkualitas dan
berkesinambungan. Faktanya, terdapat permasalahan mendasar bahwa premi yang
harus dibayarkan peserta belum sesuai dengan hitungan para ahli atau belum sesuai
hitungan akturia yang lazim digunakan dalam program seperti ini. Kondisi ini
menimbulkan situasi underfunded program yang secara terstruktur akan
berpengaruh terhadap kesinambungan (sustainabilitas) terhadap program jaminan
kesehatan. Tantangan pelaksanaan program JKN-KIS saat ini dihadapkan pada
persoalan tingkat kesehatan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS), yang mengalami
defisit karena besaran iuran yang belum memadai dibandingkan dengan luasnya
manfaat yang ditetapkan. Penetapan iuran oleh pemerintah belum sesuai dengan
besaran iuran yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam policy
brief penyesuaian besaran iuran JKN-KIS tahun 2015 (mismatch). Dalam bahasa
sederhana, dapat dikatakan bahwa penetapan manfaat belum disesuaikan dengan kemampuan
pendanaan program. Hal di atas kemudian diperparah dengan terjadinya adverse
selection, insurance effect, lemahnya regulasi dalam kendali tingkat utilisasi
dan potensi fraud yang terjadi. Untuk beberapa kondisi terakhir ini, setelah
program berjalan selama 3 tahun, upaya untuk mengatasinya sudah semakin
optimal, khususnya kemungkinan overconsume atas pemanfaatan program ini oleh
masyarakat sudah mulai dikendalikan.
Tabel 1: Perbandingan antara Angka Ideal
Besarnya Iuran Program Berdasarkan Perhitungan Aktuaria dan Besarnya Penetapan
Iuran oleh Pemerintah
(Dalam
Rupiah)
Segmen
Peserta
Perhitungan
Aktuaria DJSN*
Pilihan
lain untuk mengatasi defisit, adalah mengurangi manfaat program. Namun ini
tidak direkomendasikan. Misalnya, cukup satu manfaat saja yang tidak
ditangggung, contohnya hilangkan pelayanan untuk kelompok penyakit jantung,
maka defisit akan selesai dengan sendirinya. Pilihan selanjutnya adalah,
pemerintah memberikan suntikan dana tambahan. Pilihan ini yang dilakukan
pemerintah, mengingat pilihan menaikkan iuran harus memperhatikan kondisi
masyarakat, dan pilihan mengurangi manfaat akan menimbulkan masalah sosial
baru. Jumlah dan bauran kepesertaan yang selalu diopinikan akan dapat
menyelesaikan masalah kecukupan dana manakala semua peserta sehat
bergabung dan seluruh penduduk Indonesia
sudah terdaftar menjadi peserta JKN-KIS, setelah dihitung, ternyata terbukti
tidak dapat menutup defisit yang terjadi, sepanjang iuran belum disesuaikan
dengan hitungan aktuaria DJSN RI sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
BPJS Kesehatan beranjak lima tahun, sejak
bersulih dari PT Askes (Persero) pada 1 Januari 2014 lalu. Namun, persoalan
defisit yang didera BPJS Kesehatan tidak bisa dibilang remeh. Ibarat penyakit,
defisit pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini kian hari kian
menahun. Tengoklah, setelah defisit Rp3,3 triliun pada tahun pertamanya, di 2014
lalu, defisitnya kian bengkak hingga menyentuh Rp5,7 triliun pada
2015.Kemudian, menjadi Rp9,7 triliun pada 2016 dan Rp9,75 triliun pada 2017.
Untuk tahun 2018, defisit diproyeksikan mencapai Rp16,5 triliun, yang
belakangan dikoreksi hanya tersisa Rp10,98 triliun berdasar hitung-hitungan
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris
menyebut besaran klaim yang dibayarkan perusahaan selalu lebih besar ketimbang
iuran yang diterima dari pesertanya. Sederhananya, besar pasak dari tiang.
Harap maklum, pesertanya bejibun. Data resmi melansir jumlah peserta BPJS
Kesehatan tembus 204,4 juta jiwa hingga pertengahan September 2018. Nah,
separuh dari jumlah itu atau sekitar 118 juta merupakan peserta Penerima
Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat miskin. Sudah barang pasti, iuran yang
dibayarkan pun relatif murah meriah. Cuma Rp25.500 per bulan. Itu pun, bukan
masyarakat miskin yang harus merogoh kocek mereka sendiri, melainkan pemerintah
melalui APBN atau APBD.
Di sisi lain, BPJS Kesehatan menggunakan
prinsip anggaran berimbang, dimana pos pengeluaran harus sama dengan pos
pendapatan. Sayangnya, prinsip ini sekadar konsep di atas kertas. Pengamat
Kebijakan Publik Universitas Indonesia Agus Pambagio mengaku telah lama mengkritisi
mekanisme BPJS Kesehatan. Bahkan, sejak diterbitkannya Undang-Undang 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial. Menurutnya, besaran iuran yang
murah akan menjadi petaka bagi keuangan BPJS Kesehatan.
Saat ini, iuran kelas I, kelas II, dan
kelas III BPJS Kesehatan yang masing-masing bernilai Rp80 ribu, Rp51 ribu, dan
Rp25.500. Jumlah itu dianggap rendah sekali. Padahal, hampir seluruh penyakit
ditanggung BPJS Kesehatan. Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun
2014, 155 penyakit ditangani oleh BPJS Kesehatan bagi peserta iuran kelas I.
Apalagi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan jarang dilakukan. Sementara, pelayanan
kesehatan mengalami inflasi setiap tahunnya. Sekadar mengingatkan, kenaikan
iuran BPJS Kesehatan terakhir kali terjadi 1 April 2016 silam.
Tak
hanya itu, kepatuhan peserta membayar iuran pun dipertanyakannya. Dalam sebuah
observasi yang dilakukan timnya beberapa waktu silam, peserta BPJS Kesehatan
malas membayar iurannya, meski sebelumnya telah mengklaim fasilitas BPJS Kesehatan
dalam jumlah besar. Selain masalah iuran yang rendah, defisit juga disumbang
oleh sistem klaim dari rumah sakit yang menggunakan aplikasi Indonesia Case
Base Groups (Inasibijis). Sistem ini disebutnya membuka celah rumah sakit untuk
melakukan kecurangan (fraud), sehingga klaim yang dibayar BPJS Kesehatan
membengkak.
Ambil
contoh, rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tercatat 12
persen di tahun 2017. Namun, angkanya malah naik 15,6 persen pada tahun 2018.
Peningkatan rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan ini tentu bisa meningkatkan
jumlah klaim yang dibayar BPJS Kesehatan Ironisnya, setelah negara menanggung
peserta PBI lewat APBN dan APBD, kini negara juga harus menanggung defisit BPJS
Kesehatan. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menuturkan pemerintah akan segera
mencairkan suntikan modal senilai Rp4,99 triliun kepada BPJS Kesehatan. Dana
itu berasal dari cadangan APBN 2018.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya
disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
- BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan
tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk
Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar
dengan sistem paket INA CBG’s.
- BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas
pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari
sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas
Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan
asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada
standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
B. Saran
- Sustainabilitas program
atau bahwa program jaminan sosial harus berkelanjutan selama negara ini
ada, oleh karena itu harus dikelola secara prudent, efisien dengan tetap mengacu pada bu
- daya pengelolaan korporasi
- Kenyataannya
80% penyakit yang ditangani rumah sakit rujukan di Provinsi adalah
penyakit yang seharusnya ditangani di Puskesmas. Tingkat okupansi tempat tidur yang tinggi di RS Rujukan Provinsi
bukan indikator kesuksesan suatu Jaminan Kesehatan. Hal ini berdampak pada
beban fiskal daerah yang terlalu tinggi.Oleh karenanya Pelaksanaan
Jaminan Kesehatan membutuhkan sistem rujukan berjenjang dan terstruktur
maka setiap Provinsi harap segera
menyusun peraturan terkait sistem rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
gumelar.galih, 2018, Pangkal Penyakit
Defisit BPJS Kesehatan, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180919164958-78-331498/pangkal-penyakit-defisit-bpjs-kesehatan diakses pada 20
september 2019 pada 11.00 wib.