KAJIAN BUDAYA ILMU KOMUNIKASI
Dosen Pembimbing : Desi Mairita, S. I. Kom, M.
I. Kom
OLEH KELOMPOK 5:
Ø Muhammad
Mauladi
FAKULTAS DAKWAH
DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF
KASIM RIAU
2018/2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan
penyusunan makalah Pengantar Ilmu Komunikasi dengan judul "KAJIAN BUDAYA
KOMUNIKASI" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu
tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini
dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.
Pekanbaru, 4 Oktober 2018
Kelompok 5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................. 1
C. TUJUAN........................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 2
A. KEBUDAYAAN KOMUNIKASI................................................................................ 2
a. Hakikat kebudayaan.............................................................................................. 2
b.
Hubungan antara
komunikasi dan budaya ......................................................... 3
B. KARAKTERISTIK BUDAYA.................................................................................... 5
a.
Budaya itu
kompleks dan bersegi banyak............................................................ 5
b.
Budaya konteks
tinggi dan konteks rendah......................................................... 8
c.
Budaya itu
tidak terlihat........................................................................................ 9
d.
Budaya itu
subjektif............................................................................................. 12
e.
Budaya berubah
sepanjang waktu...................................................................... 13
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 15
A. Kesimpulan.................................................................................................................. 15
B. Kritik dan
Saran......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu
berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma,
pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Dan setiap manusia sangat membutuhkan
itu semua, karena manusia tidak dapat hidup secara individu, dalam kehidupannya
pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain.
Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara
Indonesia dengan adanya perbedaan budaya di kalangan masyarakat kita, karena
mengingat begitu luasnya wilayah indonesia . Hal ini patutlah membuat kita
sebagai warga Negara Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan kita.
Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan
menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi
tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari
seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan
(bahasa, tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari
daerah lain.
Tidak banyak orang menyadari bahwa
bentuk-bentuk interaksi antarbudaya sesungguhnya secara langsung atau tidak
melibatkan sebuah komunikasi. Pentingnya komunikasi antarbudaya mengharuskan
semua orang untuk mengenal panorama dasar-dasar komunikasi antarbudaya itu.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kehidupan kebudayaan dan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari?
2.
Bagaimana pentingnya kebudayaan dimasyarakat?
C. TUJUAN
1. Dapat
memahami bagaimana kehidupan kebudayaan dan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari.
2.
Dapat memahami bagaimana
pentingnya kebudayaan dimasyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Hakikat kebudayaan
“Budaya” seperti
juga “komunikasi” adalah istilah yang sudah akrab bagi kebanyakan orang. Sebagian
dari akibat keakraban ini, istilah budaya digunakan dengan cara yang
berbeda-beda. Penggunaan yang paling umum dari istilah “budaya” adalah sebagai
persamaan kata bagi negeri dan bangsa. Jika kita berkelana melintas, beberapa
masyarakat yang menggunakan bahasa bukan Inggris, atau mendapati seorang
perempuan yang mengenakan cincin di wajahnya, kita dapat mengatakan bahwa
mereka berasal dari budaya berbeda, yang artinya dalam kasus ini bahwa mereka
berasal dari negeri yang berbeda.
Di lain waktu, istilah ini digunakan untuk merujuk kepada
kualitas atau atribut yang diinginkan. Sebagai contoh, seseorang yang
menggunakan “bahasa jalanan,” adalah orang yang punya kebiasaan makan
sembarangan, atau tidak mengerti seni, hingga dapat dinyatakan sebagai “tidak
berbudaya” dalam arti kurang berbudi, tidak berpendidikan, atau tidak moderen.[1]
Mereka yang mempelajari tingkah laku
manusia memiliki defenisi “budaya” yang lebih tepat. Pengertian budaya tidak
menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki atau tidak dimiliki
oleh orang, juga bukan susatu yang terfikir sebagai negatif atau positif.
Budaya bukanlah suatu apa pun di antara objek yang dapat disentuh, dapat
diperiksa secara fisik, atau di letakkan di dalam sebuah map. Melainkan ia
adalah sebuah gagasan, atau sebuah konsep, seperti dikemukakan oleh E. B. Tylor
tahun 1871 dengan “yaitu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahua,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuan lain apapun, dan kebiasaan
yang dipelajari dan diperoleh anggota (-anggota) dari (sebuah) masyarakat.”[2]
Dari sudut pandang komunikasi,
budaya dapat didefinisikan sebagai kombinasi yang kompleks dari sombol-simbol
umum, pengetahuan, cerita rakyat, adat, bahasa, pola pengolahan informasi,
ritual, kebiasaan dan pola prilaku lain yang berkaitan dan memberi identitas
bersama kepada sebuah kelompok orang tertentu pada suatu titik waktu tertentu.
Mari kita priksa
konsep budaya berserta hubungannya dengan komunikasi secara lebih rinci:
Pertama, adalah sangat membantu untuk mengingatkan kita sendiri bahwa semua
sistem sosial – hubungan, keluarga, kelompok, organisasi dan masyarakat –
berkembang dan memelihara budaya.[3]
Dan semua sistem sosial itu melakukannya melalui komunikasi.
Dalam setiap hubungan, sebagai
contoh, sebuah budaya hubungan muncul secara alami dari waktu ke waktu.
Seperti kita telah bahas pada bab-bab terdahulu, pasangan dapat memiliki
“lagu-kita” atau makna yang dimiliki bersama-sama tentang tanggal tertentu yang
punya arti khusus, istilah khusus untuk mengungkapkan rasa sayang, kata-kata
singkatan dengan kode non-verbal, semisal sebuah frasa khusus untuk gerak-gerik
tertentu yang memiliki makna unik bagi individu-individu yang terlihat dalam
hubunga. Setiap simbol tersebut mempunyai makna dan arti penting khusus
disebabkan oleh sejarah komunikasi yang dibagi antara mereka.
Proses yang sama muncul dalam
kelompok maupun organisasi, meski jumlah orang yang terlibat lebih besar. Saat
jaringan komunikasi muncul dan berubah, pola dan kenyataan yang dibagi pun
berkembang. Dalam setiap kejadian ini sebagaimana kita telah mengerti,
kata-kata khusus atau perasa-perasa tertentu, pendekatan pemimpinan, norma perilaku,
atau kesepakatan berpakaian, muncul sebagai dari hasil komunikasi dan adaptasi
mutualistik di antara para anggota.
Masyarakat, didepan kita jelaskan
lebih banyak adalah sitem sosial yang lebih besar dan lebih kompleks, yang juga
didalamnya berlangsung dinamika komunikasi yang sama. Simbol-simbol dari sebuah
masalah adalah simbol budaya yang mungkin paling bisa dilihat.
Simbol adalah dasar setiap
masyarakat. Bahasa lisan dan tertulis adalah unsur budaya yang paling dasar,
namun, bersamanya ada pula simbol-simbol lain yang juga melayani peran yang
sama. Benda-benda tertentu, tempat, orang, gagasan, dokumen, lagu, peristiwa
bersejarah, monumen, figur pahlawan, gaya arsitek, dan bahkan dongeng rakyat
boleh jadi penting bagi sebuah budaya.
Bendera setiap negara itu khas,
walau jika kita analisis dari sisi ciri-ciri fisik, semisal bentuknya, ukuran
umumnya, bahan, dan beratnya kebanyakan dari bendera sangat amat mirip.
Lembaran-lembaran kain yang berbeda sedikit saja berdasarkan warna, bendera
memainkan peran simbolis yang penting dalam urusan manusia. Ia menandai wilayah
mewakili lokasi geografis tertentu, menyimbolkan ideolodi politik atau agama
tertentu, dan menyajikan sebuah simbol kebersamaan dan kesatuan dan penduduk
dari setiap wilayah-wilayah yang mereka simbolkan.
Bagi orang Amerika, Patung Liberty,
World Trade Center, Abraham Lincoln, konsepe kebebasan berbicara, konstitusi,
dan The Star Spangled Banner mempunyai arti khusus, dan apresiasi bersama
atas-atas simbol-simbol ini menyatukanwarga Amerika di dalam sebuah kesamaan
identitas. Kejadian seperti ini berlaku pula dalam setiap masyarakat meskipun
elemen khusus budayanya berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Didalam masyarakat, seperti didalam
sistem sosial lainnya, komunikasi adalah sarana melalui mana individu-individu
menciptakan, berbagi dan melanggengkan budaya. Pola komunikasi verbal dan
nonverbal yang sama, orientasi keagamaan, politik, gender, perkawanan,
membesarkan anak, suku, dan sisi kehidupan sosial lainnya adalah juga menjadi
bagian budaya dari setiap masyarakat.
Budaya yang terdapat
pada hubungan, kelompok, organisasi, atau masyarakat, melayani fungsi yang sama
terkait komunikasi:
o
Menghubungkan
individu satu sama lain
o
Menciptakan konteks
untuk interaksi dan negosiasi antaranggota
o
Memberikan dasar
bagi identitas bersama[4]
Sebagaimana ditampakkan
oleh ketiga aspek di atas, hubungan antara budaya dan komunikasi adalah
kompleks. Budaya adalah hasil-tambahan dari kegiatan-kegiatan komunikasi yang
berlangsung di dalam hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Tentunya,
jika tidak karena kapasitas bahasa simbolis manusia, kita tidak akan bisa
membangun sebuah budaya bersama. Dan tanpa komunikasi beserta teknologinya,
menjadi tidak mungkin untuk menyampaikan unsur-unsur budaya dari satu ke tempat
lain, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada waktu bersamaan,
pilihan, pola, dan prilaku komunikasi perseorangan kita berkembang saat kita beradaptasi
kepada tuntutan budaya dan peluang yang kita jumpai di sepanjang perjalanan
hidup kita.
Sejauh kita bisa nyatakan secara
akurat bahwa budaya didefinisikan, dibentuk, ditransmisikan, dan dipelajari
melalui komunikasi, sejauh itu pulalah yang dapat kita katakan secara akurat
mengenai hal yang sebaliknya.[5]
Hasilnya, kemudian, adalah mempengaruhi secara resiprokal, atau pendefinisian
secara timbal balik, antara budaya dan komunikasi manusia. Melalui komunikasi
kita membentuk budaya kita, dan pada gilirannya, budaya membentuk pola-pola
komunikasi kita.[6]
Kompleksitas budaya
adalah sesuatu yang paling tampak dan paling potensial bermasalah dalam
komunikasi pada level masyarakat. Di sini, perbedaan bahasa sering melibatkan
isu-isu mendasar seperti kebiasaan sosial, kehidupan keluarga, pakaian, kebiasaan
makan, struktur kelas, orientasi politik, agama, adat istiadat, filosofi
ekonomi, kepercayaan, dan sistem nilai[7]
Unsur-unsur budaya tertentu tersebut tidak berada dalam isolasi, tapi, ia
saling mempengaruhi dengan cara-cara yang halus. Sebagai contoh, nilai dari
budaya suatu masyarakat mempunyai dampak kepada ekonomi dan sebaliknya, serta
sekaligus mempengeruhi dan dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat, agama, dan
kehidupan keluarga. Pertimbangkan ilustrasi ini: kecendrungan keluarga besar di
beberapa budaya dipengaruhi tidak hanya oleh adat tapi juga oleh ekonomi,
agama, kesehatan dan tingkat teknologi. Dalam masyarakat agraris dimana
kematian bayi tinggi oleh karena penyakit dan buruknya layanan kesehatan suami
istri cenderung punya banyak bayi agar kelak memiliki cukup anak sehat untuk
bertani dan membantu berbagai keperluan lain demi kelangsungan hidup keluarga.
Di Amerika Utara dan Eropa, penurunan jumlah anggota keluarga di kedua wilayah
tersebut dipengaruhi oleh faktor budaya yang sama, termasuk ekonomi, adat,
teknologi yang tersedia, kondisi sosial, dan perubahan sikap gender.
Jika kita memeriksa pola komunikasi verbal dan non-verbal dari budaya
manapun, akan terlihat ada pola yang sama pada kompleksitas dan asosiasinya.
Bentuk salam, gerak isyarat, tema dan bentuk percakapan, baju, kebiasaan
bahasa, praktik berpacaran, kontak mata yang dipilih, penggunaan ruang,
orientasi waktu, peran gender, orientasi pada yang lebih tua, dan sikap
terhadap kerja semuanya mempengaruhi dan pada gilirannya di pengaruhi oleh
dimensi budaya.
Di Saudi Arabia, sebagai contoh, perbedaan gender sangat menonjol. Wanita
tradisional di sana mengenakan jubah gelap (abayah) dan kerudung (hijab)
di depan umum. Pria tidak mendekati perempuan untuk memulai interaksi dalam lingkungan
sosial, juga tidak melihat langsung kepada seorang wanita, atau melakukan hal
lain yang bisa diartikan sebagai tanda tertarik terhadap wanita. Perbedaan
peran gender ini merambah secara menyeluruh kepada lingkungan sosial yang lain.
Sebagai contoh, seorang lelaki Saudi dapat mengundang lelaki beristri untuk
acara makan malam di rumahnya dengan permintaan untuk tidak membawa serta
istrinya. Bahkan dalam situasi yang sama, ketika yang di undang adalah
pasangan, wanita yang turut serta hadir akan disambut oleh istri tuan rumah
kemudian dijamu pada ruang terpisah, meninggalkan pasangan lelakinya yang ikut
acara makan malam. Di Saudi juga banyak restoran memiliki pintu terpisah dan
tempat khusus bagi wanita dan anak-anak.
Orientasi tradisi gender Saudi Arabia ini membingungkan dan disikapi
dengan rasa keberatan oleh orang-orang Amerika Utara. Namun, mereka dapat
dimengerti dalam kaitan keseluruhan budaya Arab. Semuanya itu adalah nasihat
atau tips bagi apa yang dapat kita pikirkan sebagai “gunung-es budaya”.[8]
Dalam kasus budaya Arab, agama Islam dan tradisi merinci peran dengan sangat
berbeda antara lelaki dan perempuan. Wanita Arab Saudi diperlukan demikian
karena terkait keprihatinan yang telah sekian lama dianut, yakni untuk
melindungi mereka dari berbagai kenyataan pelecehan terhadap wanita dalam
kehidupan umum. Untuk alasan sejarah yang sama, pakaian tradisional wanita
Saudi didesain untuk menyembunyikan dan melindungi dari invasi ruang pribadi
yang dianggap tidak layak atau tidak sopan.
Contoh lainnya mengenai cara dimana aspek-aspek budaya dan komunikasi
berpengaruh adalah tampak pada situasi bisnis di Saudi Arabia orang Saudi
memberikan nilai tinggi bagi keluarga, teman, dan hubungan. Sebagai hasilnya,
dalam kegiatan bisnis di Saudi, banyak waktu tercurah untuk diskusi soal
keluarga, teman, dan bagaimana segala sesuatu berlangsung. Karena itu, pada
pertemuan dua orang pelaku bisnis, obrolan pertama yang berlangsung, dipilih
adalah masalah-masalah tersebut, yang bagi orang Amerika Utara hanyalah sebagai
“basa-basi”. Hanya jika setelah orang Saudi merasa tahu dan percaya orang lain,
biasanya ia siap berbicara soal bisnis apa yang justru dianggapnya sebagai
basa-basi. Menurut perspektif budaya Amerika Utara, di mana penghargaan yang
tinggi terletak efesiensi dan pemecahan masalah bisnis maka prilaku komunikasi
bisnis orang Saudi bagi mereka adalah sulit dipahami dan di letakkan kepada
sikap komunikasi yang sportf dan berorientasi sosial, maka orientasi tugas yang
tinggi dalam gaya “waktu adalah uang” orang Amerika Utara dianggap merintangi
kebebasan dan seringkali tidak efektif .
Meski setiap budaya itu unik dalam beberapa hal, masih dimungkinkan untuk
mengidentifikasi pola-pola umum kesamaan dan perbedaannya. Tema ini dan tema
lainnya adalah sangat membantu secara analitis. Dalam hal orientasi terhadap
praktik komunikasi, bydaya dapat dijalaskan dalam tiga cabang tema: konteks
tinggi dan konteks rendah, orientasi individu dan kolektif, dan presfektif
waktu dan monokronik atau polikronik.[9]
Ahli komunikasi dan
kebudayaan Eduard Hall mendefinisikan konteks sebagai “informasi yang
mengelilingi sebuah peristiwa ia, tidak dapat dipisahkan menyatu dengan makna
peristiwa.”[10]
Eduard Hall menunjukkan bahwa budaya-budaya dunia dan praktik komunikasi
individu di dalam budaya-budaya merentang dari yang konteks tinggi ke konteks
rendah.
Konteks tinggi (high
konteks/HC) ...pesan adalah ketika sebagian besar informasi berada dalam diri
seseorang, sementara sangat sedikit bagian informasi yang dikodekan, eksplisit
dan dikirimkan.
Konteks rendah (low konteks/LC)
Adalah kebalikannya, yaitu kebanyakan informasi bersifat pribadi dengan kode
yang dieksplisitkan.[11]
Dalam budaya Jepang, Arab dan Mediterania, misalnya, ada tumpang tindih
yang luas antara hubungan pribadi, hubungan sosial, dan hubungan bekerja.
Karena tumpang tindihnya jaringan-jaringan komunikasi, terjadilah budaya
konteks tinggi, dan karena itu, banyak dari kegiatan komunikasi sehari-hari
mereka tidak membutuhkan banyak latar belakang informasi. Orang-orang yang
berkerja bersama menghabiskan begitu banyak waktu dalam kegiatan bersama
keluarga dan sosial yang membuat mereka saling banyak tahu aspek kehidupan
orang lain satu sama lain. Karena itu, ketika mereka bercakap-cakap, banyak hal
dari percakapan sudah bisa dipercaya begitu saja, berdasar kekayaan informasi
yang terbentuk oleh komunikasi sepanjang sejarah hubungan mereka. Hall
mengontraskan budaya demikian dengan yang ada pada beberapa masyarakat seperti
Amerika Utara, Jerman, Swis, Skandinavia, dan Eropa Utara lainnya, yang
cenderung memisahkan antara hubungan personal, hubungan kerja, dan aspek-aspek
hidup lainnya.[12]
Para pelaku interaksi di dalam budaya konteks tinggi ataupun konteks
rendah memiliki beberapa masalah interaksi satu sama lain. Orang-orang dari
budaya konteks tinggi, lebih banyak bersandar kepada isyarat non-verbal dan apa
yang mereka telah ketahui mengenai latar belakang orang, untuk mengarahkan
mereka sepanjang percakapan. Sementara orang dari budaya konteks rendah lebih
cenderung bertanya secara langsung mengenai pengalaman, sikap, dan keyakinan
dari orang lain.[13]
Bagaimanapun, jenis percakapan lintas konteks bisa menjadi sangat bermasalah,
seperti ketika orang Amerika Utara dan orang Timur Tengah bertemu pertama kali
untuk terlibat dalam negosiasi atau menyelesaikan urusan bisnis.[14]
Sebagian
karakteristik budaya yang menyelubungi hubungan, kelompok, organisasi, atau
masyarakat itu tidak terlihat bagi masing-masing unit ini, sebagaimana udara
mengelilingi mereka. Bagi setiap kita, budaya-budaya kita dan banyak
pengaruh-pengaruhnya sangatlah halus dan sangat meresap serta sering tidak
terperhatikan. Padahal, nudaya kita ada dan telah ada karena setiap orang di
antara kita bisa mengingatnya namun sedikit dari kita yang memiliki alasan
untuk merenungkannya.
Di banyak bagian Amerika Utara,
penggunaan bahasa Inggris diterima begitu saja, demikian pula penggunaan bahasa
non-verbal. Sebagai contoh, rekan bisnis di sini kurang memperhatikan kebiasaan
dua atau tiga kali mengguncang tangan saat berjabat tangan, sebentar-sebentar
berpandangan seklias, dan menggunakan jarak fisik antara 2,5 hingga 4 meter
pemisah interaksi saat jumpa pertama. Dengan penjelasan yang sama, kita terima
begitu saja budaya-budaya hubungan, kelompok, organisasi, yang mengarahkan dan
membentuk hidup kita. Lirikan mata romantis serta sentuhan ekspresif antara
pasangan intim, dan kebiasaan berpakaian atau jargon internal kelompok dan
organisasi menjadi prilaku alami bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Adakalanya kita dapat menjadi peduli kepada keberadaan dan hakikat budaya
kita. Ketika ini terjadi, secara umum kepedulian ini muncul dalam tiga cara:
(1) pelanggaran atau konvensi budaya, (2) kontak lintas budaya, atau (3)
analisis ilmiah.
1.
Pelanggaran atas
konvensi budaya. Ketika seseorang dalam budaya melanggar praktik
atau standar budaya yang sudah mapan, pelanggaran itu cenderung menarik perhatian.
Misalnya, dalam kasus ritual adat jabat tangan, kita jarang berpikir tentang
jabat tangan yang kita lakukan kecuali jika harapan kita dilanggar. Jika,
ketika bertemu seseorang untuk pertama kali lalu orang itu menjabat tangan
dnegan sangat lembut atau malah menggemgam terlalu kuat di luar dari yang kita
harapakn, kita cenderung punya perhatian tambahan. Reaksi kita bahkan akan
lebih tampak jika orang yang baru kita temui itu menjabat tangan sambil
mengguncang-guncang minimal empat, atau lima, enam atau bahkan tujuh kali,
sebelum melepas tangannya. Dan mari kita bayangkan, bagaimana respons kita jika
seseorang menjabat tangan kita di tengah-tengah percakapan yang panjang! Kita
memiliki reaksi yang sama ketika punya kenalan baru yang terus-menerus menatap,
atau berdiri pada jarak lebih dari lima kaki sepanjang percakapan santai.
Seperti halnya dnegan begitu banyak sisi lain kehidupan, kita telah mempelajari
konvensi budaya untuk menyapa dan bercakap-cakap satu sama lain sejak kita
kanak-kanak, dan biasanya kita tidak berpikir apa pun tentang kesepakatan ini,
kecuali atau sampai kesepakatan itu dilanggar.
Proses yang sama terjadi dalam budaya hubungan.
Mungkin contoh yang paling mencolok adalah ketika seseorang dari hubungan
bersahabat “merasa bahwa ada suatu yang salah” karena kawan satunya tidak
menoleh kepadanya seperti biasanya, atau karena kawan satu itu tidak lagi
“membanyol” dengan cara yang biasa. Ketika apa yang kita harapkan telah
dilanggar, untuk beberapa tingkat kita sadar bahwa kita pernah memperoleh
sejumlah pola, adat istiadat, kebiasaan dan makna yang kita terima begitu saja.
2.
Kontak
lintas-budaya. Cara kedua dimana kita diingatkan terhadap
kehadiran dan dampak dari budaya kita adalah ketika kita menghadapi orang-orang
dari budaya lain dan kemudian mendapati perbedaan besar prilaku diantara meraka
dan kita tanda ucapan selamat bisa terjadi tanpa menarik perhatian, sementara
bagi orang Amerika Utara hal demikian adalah mengejutkan. Kebiasaan orang
Jepang yang memejamkan mata ketika berkonsentrasi mendengarkan pertanyaan, akan
menjadi hal yang sangat traumatis bagi pelaku bisnis Kanada yang tak tahu
bagaimana harus memahaminya. Sama pula, “bahasa jalanan” dan cara berpakaian
pemuda kota mungkin akan terlihat mencolok bagi meraka yang hidup makmur di
pinggir kota. Sebaliknya, prilaku verbal maupun non-verbal dari mereka yang
hidup sejahtera di pinggir kota akan juga dapat dampak aneh bagi para penduduk
kota.
Tanpa perlu
disadari, keadaan ini memberi kita hanya beberapa kesempatan untuk melihat
pengaruh halus yang meresap dari budaya dan sub-budaya kita sendiri kepada
kita. Dalam salah satu dari dua macam keadaan, kita tahu secara intuitif bahwa
“ada sesuatu yang salah” dan bahwa kita merasa agak tidak nyaman meskipun kita
tidak tahu persis apa sebetulnya yang mengganggu kita
3.
Analisis Ilmiah. Cara ketiga yang
bisa menjadi kita sadar akan budaya kita adalah melalui mempelajari deskripsi
budaya kita atau deskripsi budaya orang lain. Memberikan tinjuan deskriptif bebeapa
kebudayaan, merangsang kesadaran budaya melalui cara ilmiah.
Karena kita tumbuh
dengan dan menggunakan budaya kita secara apa adanya, kita amat tidak menyadari
sifat subjektifnya. Bagi orang yang ada didalamnya, aspek-aspek budayanya
adalah rasional dan sangat bisa dimengerti, namun tidaklah demikian bagi
‘orang-luar’. Kita orang Amerika bisa secara mudah beranggapan bahwa berbagai
cara adalah ‘seharusnya’ sewaktu-waktu bertatap mata saat bercakap santai,
berjabat tangan dalam sebuah pertemuan bisnis, melambaikan kepada perkenalan,
dan sebagainya.
Contoh yang sangat baik tentang
bagaimana lahirnya anggapan seperti ini terjadi dalam soal warna. Secara jelas,
merah adalah merah, dan oranye adalah oranye. Dan, kita semua tahu bahwa merah
bukan orannye, setuju? Jawabannya ternyata tidak harus setuju. Bahasa yang
diterima dengan begitu adanya dan digunakan oleh orang untuk menggambarkan
warna, dan cara mereka mempresepsi dan membuat kategorisasi warna bisa
bervariasi dari satu budaya ke budaya yang lain. Pada komunitas dan budaya
barat (washtern), kita membagi spektrum warna menjadi kurang lebih enam
kategori yaitu merah, orannye, kuning, hijau, biru, dan ungu.
Kita jarang
memikirikan fakta perbedaan yang ditentukan secara sembarang (arbitrer) ini,
dalam menamai warna nama-nama pembagian warna tersebut adalah hasil dari
pengaruh dari sejarah negara eropa di dunia Barat. Orang dalam komunitas
tertentu telah membedakan spektrum warna dengan cara yang berbeda pula.
Berdasarkan sejarah, orang-orang Shona dari Zimbabwe dan Bassha dari
Liberia, menggunakan kategorisasi warna yang lebih sedikit. Orang Shona
membedakan spektrum warna menjadi empat, yang mereka sebut sebagai cipsuka,
cicena, dicitema, dan cipsuka. Sebutan cipsuka muncul dua
kali untuk sebutan dua kategori karena ditujukan untuk merujuk kepada dua warna
merah dan ungu. Orang Bassha menggunakan dua kategori besar yaitu ziza
dan hui.[15]
Contoh-contoh demikian membantu mengingatkan kita bahwa pola-pola,
kode-kode, dan kenyataan budaya yang kita gunakan dan kita terima begitu saja
adalah bukanlah soal keharusan ‘benar’ atau ‘salah’. Sebuah pendekatan yang
lebih teoretis memandang bahwa budaya adalah cara, karena kita dan leluhur kita
menciptakan budaya dalam cara-cara tertentu. Kita datang untuk menerima
kebenarannya dalam cara yang sama sebagaimana orang lain telah datang untuk
menerima kebenaran budaya mereka melalui komunikasi.
Seorang ahli etika, Thomas Donaldson[16]
mendefinisikan nilai-nilai utama yang dipercayainya mencerminkan tradisi budaya
diseluruh dunia.
1.
Penghargaan kepada
martabat manusia. Orang dilarang menempatkan orang lain sebagai
perkakas (tools). Dengan kata lain, kita harus mengakui nilai yang
dimiliki seseorang sebagai manusia adanya.
2.
Penghargaan atas hak
asasi. Individu dan komunitas harus memperlakukan orang-orang dalam cara-cara
yang menghargai hak-asasi mereka.
3.
Kewargaan yang baik. Anggota dari sebuah
komunitas harus bekerja-sama untuk mendukung dan memperbaiki peranata ke mana
komunitas bergantung.
Walaupun kita mungkin ingin percaya bahwa seluruh aturan ini dihargai di
semua budaya, banyak peristiwa dunia kontemporer tampaknya telah menyebabkan
keraguan terhadapa ajaran tersebut. Sekalipun nilai-nilai seperti “menghargai
martabat dan hak-hak asasi” dan “kewarganegaraan yang baik di pandang sebagai
nilai-nilai budaya universal, namun tampaknya jelas bahwa makna dari kata dan
perasa ini bervariasi antara budaya, atau sebaliknya di antara individu dalam
berbagai budaya.
Budaya dan subbudaya
tidak hidup dalam ruang hampa. Kita membawa serta pengaruh budaya pada saat
kita berpartisipasi dalam sejumlah hubungan, kelompok atau organisasi. Saat
kita sebagai individu berubah, kita menyiapkan dorongan bagi perubahan budaya
di mana kita menjadi bagiannya. Dalam pengertian seperti ini, masing-masing
kita adalah agen perubahan budaya.
Sebagai tambahan bagi sifat
alamiahnya, perubahan secara evolusioner pada satu budaya tidak mungkin
dihindarkan, sedangkan perubahan pada budaya lain terjadi secara lebih sengaja
dengan cara revolusioner. Dalam tahun-tahun terakhir, sebagai contoh, terkait
warga keturunan Afrika, atau Latin, wanita, gay, pria atau perempuan, dan orang
dengan hambatan, perhatian difokuskan terhadap kebiasaan dan praktik diskriminasi
yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Usaha-usaha dari pada
anggota kelompok ini tidak hanya mempercepat dan mengarahkan perubahan budaya
dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan, tapi tak diragukan lagi telah pula
memberi dampak terhadap budaya dari hubungan, kelompok, dan organisasi.[17]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
“Budaya” seperti juga
“komunikasi” adalah istilah yang sudah akrab bagi kebanyakan orang. Sebagian
dari akibat keakraban ini, istilah budaya digunakan dengan cara yang
berbeda-beda. Penggunaan yang paling umum dari istilah “budaya” adalah sebagai
persamaan kata bagi negeri dan bangsa. Jika kita berkelana melintas, beberapa
masyarakat yang menggunakan bahasa bukan Inggris, atau mendapati seorang
perempuan yang mengenakan cincin di wajahnya, kita dapat mengatakan bahwa
mereka berasal dari budaya berbeda, yang artinya dalam kasus ini bahwa mereka
berasal dari negeri yang berbeda.
Gagasan tentang budaya dan hubungannya dengan
komunikasi dapat lebih diperjelas melalui pembahasan karakteristik umum budaya
berikut ini:
a.
Budaya itu kompleks
dan bersegi banyak
b.
Budaya konteks
tinggi dan konteks rendah
c.
Budaya itu tidak
terlihat
d.
Budaya itu subjektif
e.
Budaya berubah
sepanjang waktu
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang “Kajian
Budaya Ilmu Komunikasi” yang telah
kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna
maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan. Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Brent D. Ruben dan Lea P. Steawart, Komunikasi
dan Prilaku Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013)
Tylor, E. B. The Subculture of Violence,
(New York: Tavistock, 1967)
Thayer Lee, Communication and Communication
Systems, (Homewood, IL: Irwin, 1967)
Orbe M. P, Internasional Journal of
Intercultural Relations, (United States: Sage, 1999)
Hall Edward, The Silent Language, (New
York: Doubleday, 1959)
David M. How To Map a People, (New
York: Pravo, 1976)
Edward T. Hall, Beyond Culture, (New
York: Doubleday, 1989)
Gudykunst William B., Communication
Yearbook, (Newbury Park: Sage, 1989)
Joseph A. De Vito, Human Comunication, (New
York: Harper Collins, 1994)
Farb Peter, What Happes When People Talk, (New
York: Vintage, 1993)
Donaldson Thomas, Harvad Business Review, (New
York: Harper Collins, 1996) http://anthoposthink02.blogspot.com/2014/01/makalah-komunikasi-dan-budaya.html
[1] Brent D. Ruben dan Lea P. Steawart, Komunikasi dan Prilaku Manusia,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 358
[4] M. P Orbe, Internasional Journal of
Intercultural Relations, (United States: Sage, 1999), hlm. 591-611
[7]David M. How To Map a People, (New York: Pravo, 1976), hlm. 14

Tidak ada komentar:
Posting Komentar