Sabtu, 17 November 2018

KAJIAN BUDAYA ILMU KOMUNIKASI

KAJIAN BUDAYA ILMU KOMUNIKASI

Dosen Pembimbing : Desi Mairita, S. I. Kom, M. I. Kom







OLEH KELOMPOK 5:

Ø Muhammad Mauladi


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2018/2019

 

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Pengantar Ilmu Komunikasi dengan judul "KAJIAN BUDAYA KOMUNIKASI" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.


Pekanbaru, 4 Oktober 2018



Kelompok 5


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A.    LATAR BELAKANG................................................................................................... 1
B.     RUMUSAN MASALAH.............................................................................................. 1
C.    TUJUAN........................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 2
A.    KEBUDAYAAN KOMUNIKASI................................................................................ 2
a.      Hakikat kebudayaan.............................................................................................. 2
b.      Hubungan antara komunikasi dan budaya ......................................................... 3
B.     KARAKTERISTIK BUDAYA.................................................................................... 5
a.      Budaya itu kompleks dan bersegi banyak............................................................ 5
b.      Budaya konteks tinggi dan konteks rendah......................................................... 8
c.       Budaya itu tidak terlihat........................................................................................ 9
d.      Budaya itu subjektif............................................................................................. 12
e.       Budaya berubah sepanjang waktu...................................................................... 13
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 15
A.    Kesimpulan.................................................................................................................. 15
B.     Kritik dan Saran......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv







BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Dan setiap manusia sangat membutuhkan itu semua, karena manusia tidak dapat hidup secara individu, dalam kehidupannya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain.
Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dengan adanya perbedaan budaya di kalangan masyarakat kita, karena mengingat begitu luasnya wilayah indonesia . Hal ini patutlah membuat kita sebagai warga Negara Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan kita. Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah lain.
Tidak banyak orang menyadari bahwa bentuk-bentuk interaksi antarbudaya sesungguhnya secara langsung atau tidak melibatkan sebuah komunikasi. Pentingnya komunikasi antarbudaya mengharuskan semua orang untuk mengenal panorama dasar-dasar komunikasi antarbudaya itu.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana kehidupan kebudayaan dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari?
2.    Bagaimana pentingnya kebudayaan dimasyarakat?

C.   TUJUAN
1.    Dapat memahami bagaimana kehidupan kebudayaan dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Dapat memahami bagaimana pentingnya kebudayaan dimasyarakat
BAB II
PEMBAHASAN

a.       Hakikat kebudayaan
“Budaya” seperti juga “komunikasi” adalah istilah yang sudah akrab bagi kebanyakan orang. Sebagian dari akibat keakraban ini, istilah budaya digunakan dengan cara yang berbeda-beda. Penggunaan yang paling umum dari istilah “budaya” adalah sebagai persamaan kata bagi negeri dan bangsa. Jika kita berkelana melintas, beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa bukan Inggris, atau mendapati seorang perempuan yang mengenakan cincin di wajahnya, kita dapat mengatakan bahwa mereka berasal dari budaya berbeda, yang artinya dalam kasus ini bahwa mereka berasal dari negeri yang berbeda.
            Di lain waktu,  istilah ini digunakan untuk merujuk kepada kualitas atau atribut yang diinginkan. Sebagai contoh, seseorang yang menggunakan “bahasa jalanan,” adalah orang yang punya kebiasaan makan sembarangan, atau tidak mengerti seni, hingga dapat dinyatakan sebagai “tidak berbudaya” dalam arti kurang berbudi, tidak berpendidikan, atau tidak moderen.[1]
            Mereka yang mempelajari tingkah laku manusia memiliki defenisi “budaya” yang lebih tepat. Pengertian budaya tidak menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki atau tidak dimiliki oleh orang, juga bukan susatu yang terfikir sebagai negatif atau positif. Budaya bukanlah suatu apa pun di antara objek yang dapat disentuh, dapat diperiksa secara fisik, atau di letakkan di dalam sebuah map. Melainkan ia adalah sebuah gagasan, atau sebuah konsep, seperti dikemukakan oleh E. B. Tylor tahun 1871 dengan “yaitu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahua, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuan lain apapun, dan kebiasaan yang dipelajari dan diperoleh anggota (-anggota) dari (sebuah) masyarakat.”[2]
            Dari sudut pandang komunikasi, budaya dapat didefinisikan sebagai kombinasi yang kompleks dari sombol-simbol umum, pengetahuan, cerita rakyat, adat, bahasa, pola pengolahan informasi, ritual, kebiasaan dan pola prilaku lain yang berkaitan dan memberi identitas bersama kepada sebuah kelompok orang tertentu pada suatu titik waktu tertentu.

Mari kita priksa konsep budaya berserta hubungannya dengan komunikasi secara lebih rinci: Pertama, adalah sangat membantu untuk mengingatkan kita sendiri bahwa semua sistem sosial – hubungan, keluarga, kelompok, organisasi dan masyarakat – berkembang dan memelihara budaya.[3] Dan semua sistem sosial itu melakukannya melalui komunikasi.
            Dalam setiap hubungan, sebagai contoh, sebuah budaya hubungan muncul secara alami dari waktu ke waktu. Seperti kita telah bahas pada bab-bab terdahulu, pasangan dapat memiliki “lagu-kita” atau makna yang dimiliki bersama-sama tentang tanggal tertentu yang punya arti khusus, istilah khusus untuk mengungkapkan rasa sayang, kata-kata singkatan dengan kode non-verbal, semisal sebuah frasa khusus untuk gerak-gerik tertentu yang memiliki makna unik bagi individu-individu yang terlihat dalam hubunga. Setiap simbol tersebut mempunyai makna dan arti penting khusus disebabkan oleh sejarah komunikasi yang dibagi antara mereka.
            Proses yang sama muncul dalam kelompok maupun organisasi, meski jumlah orang yang terlibat lebih besar. Saat jaringan komunikasi muncul dan berubah, pola dan kenyataan yang dibagi pun berkembang. Dalam setiap kejadian ini sebagaimana kita telah mengerti, kata-kata khusus atau perasa-perasa tertentu, pendekatan pemimpinan, norma perilaku, atau kesepakatan berpakaian, muncul sebagai dari hasil komunikasi dan adaptasi mutualistik di antara para anggota.
            Masyarakat, didepan kita jelaskan lebih banyak adalah sitem sosial yang lebih besar dan lebih kompleks, yang juga didalamnya berlangsung dinamika komunikasi yang sama. Simbol-simbol dari sebuah masalah adalah simbol budaya yang mungkin paling bisa dilihat.
            Simbol adalah dasar setiap masyarakat. Bahasa lisan dan tertulis adalah unsur budaya yang paling dasar, namun, bersamanya ada pula simbol-simbol lain yang juga melayani peran yang sama. Benda-benda tertentu, tempat, orang, gagasan, dokumen, lagu, peristiwa bersejarah, monumen, figur pahlawan, gaya arsitek, dan bahkan dongeng rakyat boleh jadi penting bagi sebuah budaya.         
            Bendera setiap negara itu khas, walau jika kita analisis dari sisi ciri-ciri fisik, semisal bentuknya, ukuran umumnya, bahan, dan beratnya kebanyakan dari bendera sangat amat mirip. Lembaran-lembaran kain yang berbeda sedikit saja berdasarkan warna, bendera memainkan peran simbolis yang penting dalam urusan manusia. Ia menandai wilayah mewakili lokasi geografis tertentu, menyimbolkan ideolodi politik atau agama tertentu, dan menyajikan sebuah simbol kebersamaan dan kesatuan dan penduduk dari setiap wilayah-wilayah yang mereka simbolkan.
            Bagi orang Amerika, Patung Liberty, World Trade Center, Abraham Lincoln, konsepe kebebasan berbicara, konstitusi, dan The Star Spangled Banner mempunyai arti khusus, dan apresiasi bersama atas-atas simbol-simbol ini menyatukanwarga Amerika di dalam sebuah kesamaan identitas. Kejadian seperti ini berlaku pula dalam setiap masyarakat meskipun elemen khusus budayanya berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
            Didalam masyarakat, seperti didalam sistem sosial lainnya, komunikasi adalah sarana melalui mana individu-individu menciptakan, berbagi dan melanggengkan budaya. Pola komunikasi verbal dan nonverbal yang sama, orientasi keagamaan, politik, gender, perkawanan, membesarkan anak, suku, dan sisi kehidupan sosial lainnya adalah juga menjadi bagian budaya dari setiap masyarakat.
Budaya yang terdapat pada hubungan, kelompok, organisasi, atau masyarakat, melayani fungsi yang sama terkait komunikasi:
o   Menghubungkan individu satu sama lain
o   Menciptakan konteks untuk interaksi dan negosiasi antaranggota
o   Memberikan dasar bagi identitas bersama[4]
Sebagaimana ditampakkan oleh ketiga aspek di atas, hubungan antara budaya dan komunikasi adalah kompleks. Budaya adalah hasil-tambahan dari kegiatan-kegiatan komunikasi yang berlangsung di dalam hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Tentunya, jika tidak karena kapasitas bahasa simbolis manusia, kita tidak akan bisa membangun sebuah budaya bersama. Dan tanpa komunikasi beserta teknologinya, menjadi tidak mungkin untuk menyampaikan unsur-unsur budaya dari satu ke tempat lain, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada waktu bersamaan, pilihan, pola, dan prilaku komunikasi perseorangan kita berkembang saat kita beradaptasi kepada tuntutan budaya dan peluang yang kita jumpai di sepanjang perjalanan hidup kita.
            Sejauh kita bisa nyatakan secara akurat bahwa budaya didefinisikan, dibentuk, ditransmisikan, dan dipelajari melalui komunikasi, sejauh itu pulalah yang dapat kita katakan secara akurat mengenai hal yang sebaliknya.[5] Hasilnya, kemudian, adalah mempengaruhi secara resiprokal, atau pendefinisian secara timbal balik, antara budaya dan komunikasi manusia. Melalui komunikasi kita membentuk budaya kita, dan pada gilirannya, budaya membentuk pola-pola komunikasi kita.[6]

Kompleksitas budaya adalah sesuatu yang paling tampak dan paling potensial bermasalah dalam komunikasi pada level masyarakat. Di sini, perbedaan bahasa sering melibatkan isu-isu mendasar seperti kebiasaan sosial, kehidupan keluarga, pakaian, kebiasaan makan, struktur kelas, orientasi politik, agama, adat istiadat, filosofi ekonomi, kepercayaan, dan sistem nilai[7]
Unsur-unsur budaya tertentu tersebut tidak berada dalam isolasi, tapi, ia saling mempengaruhi dengan cara-cara yang halus. Sebagai contoh, nilai dari budaya suatu masyarakat mempunyai dampak kepada ekonomi dan sebaliknya, serta sekaligus mempengeruhi dan dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat, agama, dan kehidupan keluarga. Pertimbangkan ilustrasi ini: kecendrungan keluarga besar di beberapa budaya dipengaruhi tidak hanya oleh adat tapi juga oleh ekonomi, agama, kesehatan dan tingkat teknologi. Dalam masyarakat agraris dimana kematian bayi tinggi oleh karena penyakit dan buruknya layanan kesehatan suami istri cenderung punya banyak bayi agar kelak memiliki cukup anak sehat untuk bertani dan membantu berbagai keperluan lain demi kelangsungan hidup keluarga. Di Amerika Utara dan Eropa, penurunan jumlah anggota keluarga di kedua wilayah tersebut dipengaruhi oleh faktor budaya yang sama, termasuk ekonomi, adat, teknologi yang tersedia, kondisi sosial, dan perubahan sikap gender.
Jika kita memeriksa pola komunikasi verbal dan non-verbal dari budaya manapun, akan terlihat ada pola yang sama pada kompleksitas dan asosiasinya. Bentuk salam, gerak isyarat, tema dan bentuk percakapan, baju, kebiasaan bahasa, praktik berpacaran, kontak mata yang dipilih, penggunaan ruang, orientasi waktu, peran gender, orientasi pada yang lebih tua, dan sikap terhadap kerja semuanya mempengaruhi dan pada gilirannya di pengaruhi oleh dimensi budaya.
Di Saudi Arabia, sebagai contoh, perbedaan gender sangat menonjol. Wanita tradisional di sana mengenakan jubah gelap (abayah) dan kerudung (hijab) di depan umum. Pria tidak mendekati perempuan untuk memulai interaksi dalam lingkungan sosial, juga tidak melihat langsung kepada seorang wanita, atau melakukan hal lain yang bisa diartikan sebagai tanda tertarik terhadap wanita. Perbedaan peran gender ini merambah secara menyeluruh kepada lingkungan sosial yang lain. Sebagai contoh, seorang lelaki Saudi dapat mengundang lelaki beristri untuk acara makan malam di rumahnya dengan permintaan untuk tidak membawa serta istrinya. Bahkan dalam situasi yang sama, ketika yang di undang adalah pasangan, wanita yang turut serta hadir akan disambut oleh istri tuan rumah kemudian dijamu pada ruang terpisah, meninggalkan pasangan lelakinya yang ikut acara makan malam. Di Saudi juga banyak restoran memiliki pintu terpisah dan tempat khusus bagi wanita dan anak-anak.
Orientasi tradisi gender Saudi Arabia ini membingungkan dan disikapi dengan rasa keberatan oleh orang-orang Amerika Utara. Namun, mereka dapat dimengerti dalam kaitan keseluruhan budaya Arab. Semuanya itu adalah nasihat atau tips bagi apa yang dapat kita pikirkan sebagai “gunung-es budaya”.[8] Dalam kasus budaya Arab, agama Islam dan tradisi merinci peran dengan sangat berbeda antara lelaki dan perempuan. Wanita Arab Saudi diperlukan demikian karena terkait keprihatinan yang telah sekian lama dianut, yakni untuk melindungi mereka dari berbagai kenyataan pelecehan terhadap wanita dalam kehidupan umum. Untuk alasan sejarah yang sama, pakaian tradisional wanita Saudi didesain untuk menyembunyikan dan melindungi dari invasi ruang pribadi yang dianggap tidak layak atau tidak sopan.
Contoh lainnya mengenai cara dimana aspek-aspek budaya dan komunikasi berpengaruh adalah tampak pada situasi bisnis di Saudi Arabia orang Saudi memberikan nilai tinggi bagi keluarga, teman, dan hubungan. Sebagai hasilnya, dalam kegiatan bisnis di Saudi, banyak waktu tercurah untuk diskusi soal keluarga, teman, dan bagaimana segala sesuatu berlangsung. Karena itu, pada pertemuan dua orang pelaku bisnis, obrolan pertama yang berlangsung, dipilih adalah masalah-masalah tersebut, yang bagi orang Amerika Utara hanyalah sebagai “basa-basi”. Hanya jika setelah orang Saudi merasa tahu dan percaya orang lain, biasanya ia siap berbicara soal bisnis apa yang justru dianggapnya sebagai basa-basi. Menurut perspektif budaya Amerika Utara, di mana penghargaan yang tinggi terletak efesiensi dan pemecahan masalah bisnis maka prilaku komunikasi bisnis orang Saudi bagi mereka adalah sulit dipahami dan di letakkan kepada sikap komunikasi yang sportf dan berorientasi sosial, maka orientasi tugas yang tinggi dalam gaya “waktu adalah uang” orang Amerika Utara dianggap merintangi kebebasan dan seringkali tidak efektif .
Meski setiap budaya itu unik dalam beberapa hal, masih dimungkinkan untuk mengidentifikasi pola-pola umum kesamaan dan perbedaannya. Tema ini dan tema lainnya adalah sangat membantu secara analitis. Dalam hal orientasi terhadap praktik komunikasi, bydaya dapat dijalaskan dalam tiga cabang tema: konteks tinggi dan konteks rendah, orientasi individu dan kolektif, dan presfektif waktu dan monokronik atau polikronik.[9]

Ahli komunikasi dan kebudayaan Eduard Hall mendefinisikan konteks sebagai “informasi yang mengelilingi sebuah peristiwa ia, tidak dapat dipisahkan menyatu dengan makna peristiwa.”[10] Eduard Hall menunjukkan bahwa budaya-budaya dunia dan praktik komunikasi individu di dalam budaya-budaya merentang dari yang konteks tinggi ke konteks rendah.
Konteks tinggi (high konteks/HC) ...pesan adalah ketika sebagian besar informasi berada dalam diri seseorang, sementara sangat sedikit bagian informasi yang dikodekan, eksplisit dan dikirimkan.
Konteks rendah (low konteks/LC) Adalah kebalikannya, yaitu kebanyakan informasi bersifat pribadi dengan kode yang dieksplisitkan.[11]
Dalam budaya Jepang, Arab dan Mediterania, misalnya, ada tumpang tindih yang luas antara hubungan pribadi, hubungan sosial, dan hubungan bekerja. Karena tumpang tindihnya jaringan-jaringan komunikasi, terjadilah budaya konteks tinggi, dan karena itu, banyak dari kegiatan komunikasi sehari-hari mereka tidak membutuhkan banyak latar belakang informasi. Orang-orang yang berkerja bersama menghabiskan begitu banyak waktu dalam kegiatan bersama keluarga dan sosial yang membuat mereka saling banyak tahu aspek kehidupan orang lain satu sama lain. Karena itu, ketika mereka bercakap-cakap, banyak hal dari percakapan sudah bisa dipercaya begitu saja, berdasar kekayaan informasi yang terbentuk oleh komunikasi sepanjang sejarah hubungan mereka. Hall mengontraskan budaya demikian dengan yang ada pada beberapa masyarakat seperti Amerika Utara, Jerman, Swis, Skandinavia, dan Eropa Utara lainnya, yang cenderung memisahkan antara hubungan personal, hubungan kerja, dan aspek-aspek hidup lainnya.[12]
Para pelaku interaksi di dalam budaya konteks tinggi ataupun konteks rendah memiliki beberapa masalah interaksi satu sama lain. Orang-orang dari budaya konteks tinggi, lebih banyak bersandar kepada isyarat non-verbal dan apa yang mereka telah ketahui mengenai latar belakang orang, untuk mengarahkan mereka sepanjang percakapan. Sementara orang dari budaya konteks rendah lebih cenderung bertanya secara langsung mengenai pengalaman, sikap, dan keyakinan dari orang lain.[13] Bagaimanapun, jenis percakapan lintas konteks bisa menjadi sangat bermasalah, seperti ketika orang Amerika Utara dan orang Timur Tengah bertemu pertama kali untuk terlibat dalam negosiasi atau menyelesaikan urusan bisnis.[14]

Sebagian karakteristik budaya yang menyelubungi hubungan, kelompok, organisasi, atau masyarakat itu tidak terlihat bagi masing-masing unit ini, sebagaimana udara mengelilingi mereka. Bagi setiap kita, budaya-budaya kita dan banyak pengaruh-pengaruhnya sangatlah halus dan sangat meresap serta sering tidak terperhatikan. Padahal, nudaya kita ada dan telah ada karena setiap orang di antara kita bisa mengingatnya namun sedikit dari kita yang memiliki alasan untuk merenungkannya.
            Di banyak bagian Amerika Utara, penggunaan bahasa Inggris diterima begitu saja, demikian pula penggunaan bahasa non-verbal. Sebagai contoh, rekan bisnis di sini kurang memperhatikan kebiasaan dua atau tiga kali mengguncang tangan saat berjabat tangan, sebentar-sebentar berpandangan seklias, dan menggunakan jarak fisik antara 2,5 hingga 4 meter pemisah interaksi saat jumpa pertama. Dengan penjelasan yang sama, kita terima begitu saja budaya-budaya hubungan, kelompok, organisasi, yang mengarahkan dan membentuk hidup kita. Lirikan mata romantis serta sentuhan ekspresif antara pasangan intim, dan kebiasaan berpakaian atau jargon internal kelompok dan organisasi menjadi prilaku alami bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Adakalanya kita dapat menjadi peduli kepada keberadaan dan hakikat budaya kita. Ketika ini terjadi, secara umum kepedulian ini muncul dalam tiga cara: (1) pelanggaran atau konvensi budaya, (2) kontak lintas budaya, atau (3) analisis ilmiah.
1.      Pelanggaran atas konvensi budaya. Ketika seseorang dalam budaya melanggar praktik atau standar budaya yang sudah mapan, pelanggaran itu cenderung menarik perhatian. Misalnya, dalam kasus ritual adat jabat tangan, kita jarang berpikir tentang jabat tangan yang kita lakukan kecuali jika harapan kita dilanggar. Jika, ketika bertemu seseorang untuk pertama kali lalu orang itu menjabat tangan dnegan sangat lembut atau malah menggemgam terlalu kuat di luar dari yang kita harapakn, kita cenderung punya perhatian tambahan. Reaksi kita bahkan akan lebih tampak jika orang yang baru kita temui itu menjabat tangan sambil mengguncang-guncang minimal empat, atau lima, enam atau bahkan tujuh kali, sebelum melepas tangannya. Dan mari kita bayangkan, bagaimana respons kita jika seseorang menjabat tangan kita di tengah-tengah percakapan yang panjang! Kita memiliki reaksi yang sama ketika punya kenalan baru yang terus-menerus menatap, atau berdiri pada jarak lebih dari lima kaki sepanjang percakapan santai. Seperti halnya dnegan begitu banyak sisi lain kehidupan, kita telah mempelajari konvensi budaya untuk menyapa dan bercakap-cakap satu sama lain sejak kita kanak-kanak, dan biasanya kita tidak berpikir apa pun tentang kesepakatan ini, kecuali atau sampai kesepakatan itu dilanggar.
Proses yang sama terjadi dalam budaya hubungan. Mungkin contoh yang paling mencolok adalah ketika seseorang dari hubungan bersahabat “merasa bahwa ada suatu yang salah” karena kawan satunya tidak menoleh kepadanya seperti biasanya, atau karena kawan satu itu tidak lagi “membanyol” dengan cara yang biasa. Ketika apa yang kita harapkan telah dilanggar, untuk beberapa tingkat kita sadar bahwa kita pernah memperoleh sejumlah pola, adat istiadat, kebiasaan dan makna yang kita terima begitu saja.
2.      Kontak lintas-budaya. Cara kedua dimana kita diingatkan terhadap kehadiran dan dampak dari budaya kita adalah ketika kita menghadapi orang-orang dari budaya lain dan kemudian mendapati perbedaan besar prilaku diantara meraka dan kita tanda ucapan selamat bisa terjadi tanpa menarik perhatian, sementara bagi orang Amerika Utara hal demikian adalah mengejutkan. Kebiasaan orang Jepang yang memejamkan mata ketika berkonsentrasi mendengarkan pertanyaan, akan menjadi hal yang sangat traumatis bagi pelaku bisnis Kanada yang tak tahu bagaimana harus memahaminya. Sama pula, “bahasa jalanan” dan cara berpakaian pemuda kota mungkin akan terlihat mencolok bagi meraka yang hidup makmur di pinggir kota. Sebaliknya, prilaku verbal maupun non-verbal dari mereka yang hidup sejahtera di pinggir kota akan juga dapat dampak aneh bagi para penduduk kota.
Tanpa perlu disadari, keadaan ini memberi kita hanya beberapa kesempatan untuk melihat pengaruh halus yang meresap dari budaya dan sub-budaya kita sendiri kepada kita. Dalam salah satu dari dua macam keadaan, kita tahu secara intuitif bahwa “ada sesuatu yang salah” dan bahwa kita merasa agak tidak nyaman meskipun kita tidak tahu persis apa sebetulnya yang mengganggu kita
3.      Analisis Ilmiah. Cara ketiga yang bisa menjadi kita sadar akan budaya kita adalah melalui mempelajari deskripsi budaya kita atau deskripsi budaya orang lain. Memberikan tinjuan deskriptif bebeapa kebudayaan, merangsang kesadaran budaya melalui cara ilmiah.

Karena kita tumbuh dengan dan menggunakan budaya kita secara apa adanya, kita amat tidak menyadari sifat subjektifnya. Bagi orang yang ada didalamnya, aspek-aspek budayanya adalah rasional dan sangat bisa dimengerti, namun tidaklah demikian bagi ‘orang-luar’. Kita orang Amerika bisa secara mudah beranggapan bahwa berbagai cara adalah ‘seharusnya’ sewaktu-waktu bertatap mata saat bercakap santai, berjabat tangan dalam sebuah pertemuan bisnis, melambaikan kepada perkenalan, dan sebagainya.
            Contoh yang sangat baik tentang bagaimana lahirnya anggapan seperti ini terjadi dalam soal warna. Secara jelas, merah adalah merah, dan oranye adalah oranye. Dan, kita semua tahu bahwa merah bukan orannye, setuju? Jawabannya ternyata tidak harus setuju. Bahasa yang diterima dengan begitu adanya dan digunakan oleh orang untuk menggambarkan warna, dan cara mereka mempresepsi dan membuat kategorisasi warna bisa bervariasi dari satu budaya ke budaya yang lain. Pada komunitas dan budaya barat (washtern), kita membagi spektrum warna menjadi kurang lebih enam kategori yaitu merah, orannye, kuning, hijau, biru, dan ungu.
Kita jarang memikirikan fakta perbedaan yang ditentukan secara sembarang (arbitrer) ini, dalam menamai warna nama-nama pembagian warna tersebut adalah hasil dari pengaruh dari sejarah negara eropa di dunia Barat. Orang dalam komunitas tertentu telah membedakan spektrum warna dengan cara yang berbeda pula. Berdasarkan sejarah, orang-orang Shona dari Zimbabwe dan Bassha dari Liberia, menggunakan kategorisasi warna yang lebih sedikit. Orang Shona membedakan spektrum warna menjadi empat, yang mereka sebut sebagai cipsuka, cicena, dicitema, dan cipsuka. Sebutan cipsuka muncul dua kali untuk sebutan dua kategori karena ditujukan untuk merujuk kepada dua warna merah dan ungu. Orang Bassha menggunakan dua kategori besar yaitu ziza dan hui.[15]
Contoh-contoh demikian membantu mengingatkan kita bahwa pola-pola, kode-kode, dan kenyataan budaya yang kita gunakan dan kita terima begitu saja adalah bukanlah soal keharusan ‘benar’ atau ‘salah’. Sebuah pendekatan yang lebih teoretis memandang bahwa budaya adalah cara, karena kita dan leluhur kita menciptakan budaya dalam cara-cara tertentu. Kita datang untuk menerima kebenarannya dalam cara yang sama sebagaimana orang lain telah datang untuk menerima kebenaran budaya mereka melalui komunikasi.
Seorang ahli etika, Thomas Donaldson[16] mendefinisikan nilai-nilai utama yang dipercayainya mencerminkan tradisi budaya diseluruh dunia.
1.      Penghargaan kepada martabat manusia. Orang dilarang menempatkan orang lain sebagai perkakas (tools). Dengan kata lain, kita harus mengakui nilai yang dimiliki seseorang sebagai manusia adanya.
2.      Penghargaan atas hak asasi. Individu dan komunitas harus memperlakukan orang-orang dalam cara-cara yang menghargai hak-asasi mereka.
3.      Kewargaan yang baik. Anggota dari sebuah komunitas harus bekerja-sama untuk mendukung dan memperbaiki peranata ke mana komunitas bergantung.
Walaupun kita mungkin ingin percaya bahwa seluruh aturan ini dihargai di semua budaya, banyak peristiwa dunia kontemporer tampaknya telah menyebabkan keraguan terhadapa ajaran tersebut. Sekalipun nilai-nilai seperti “menghargai martabat dan hak-hak asasi” dan “kewarganegaraan yang baik di pandang sebagai nilai-nilai budaya universal, namun tampaknya jelas bahwa makna dari kata dan perasa ini bervariasi antara budaya, atau sebaliknya di antara individu dalam berbagai budaya.

Budaya dan subbudaya tidak hidup dalam ruang hampa. Kita membawa serta pengaruh budaya pada saat kita berpartisipasi dalam sejumlah hubungan, kelompok atau organisasi. Saat kita sebagai individu berubah, kita menyiapkan dorongan bagi perubahan budaya di mana kita menjadi bagiannya. Dalam pengertian seperti ini, masing-masing kita adalah agen perubahan budaya.
            Sebagai tambahan bagi sifat alamiahnya, perubahan secara evolusioner pada satu budaya tidak mungkin dihindarkan, sedangkan perubahan pada budaya lain terjadi secara lebih sengaja dengan cara revolusioner. Dalam tahun-tahun terakhir, sebagai contoh, terkait warga keturunan Afrika, atau Latin, wanita, gay, pria atau perempuan, dan orang dengan hambatan, perhatian difokuskan terhadap kebiasaan dan praktik diskriminasi yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Usaha-usaha dari pada anggota kelompok ini tidak hanya mempercepat dan mengarahkan perubahan budaya dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan, tapi tak diragukan lagi telah pula memberi dampak terhadap budaya dari hubungan, kelompok, dan organisasi.[17]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
“Budaya” seperti juga “komunikasi” adalah istilah yang sudah akrab bagi kebanyakan orang. Sebagian dari akibat keakraban ini, istilah budaya digunakan dengan cara yang berbeda-beda. Penggunaan yang paling umum dari istilah “budaya” adalah sebagai persamaan kata bagi negeri dan bangsa. Jika kita berkelana melintas, beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa bukan Inggris, atau mendapati seorang perempuan yang mengenakan cincin di wajahnya, kita dapat mengatakan bahwa mereka berasal dari budaya berbeda, yang artinya dalam kasus ini bahwa mereka berasal dari negeri yang berbeda.
Gagasan tentang budaya dan hubungannya dengan komunikasi dapat lebih diperjelas melalui pembahasan karakteristik umum budaya berikut ini:
a.       Budaya itu kompleks dan bersegi banyak
b.      Budaya konteks tinggi dan konteks rendah
c.       Budaya itu tidak terlihat
d.      Budaya itu subjektif
e.       Budaya berubah sepanjang waktu

B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang Kajian Budaya Ilmu Komunikasi” yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.




DAFTAR PUSTAKA

Brent D. Ruben dan Lea P. Steawart, Komunikasi dan Prilaku Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013)
Tylor, E. B. The Subculture of Violence, (New York: Tavistock, 1967)
Thayer Lee, Communication and Communication Systems, (Homewood, IL: Irwin, 1967)
Orbe M. P, Internasional Journal of Intercultural Relations, (United States: Sage, 1999)
Hall Edward, The Silent Language, (New York: Doubleday, 1959)
David M. How To Map a People, (New York: Pravo, 1976)
Edward T. Hall, Beyond Culture, (New York: Doubleday, 1989)
Gudykunst William B., Communication Yearbook, (Newbury Park: Sage, 1989)
Joseph A. De Vito, Human Comunication, (New York: Harper Collins, 1994)
Farb Peter, What Happes When People Talk, (New York: Vintage, 1993)
Donaldson Thomas, Harvad Business Review, (New York: Harper Collins, 1996) http://anthoposthink02.blogspot.com/2014/01/makalah-komunikasi-dan-budaya.html



[1] Brent D. Ruben dan Lea P. Steawart, Komunikasi dan Prilaku Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 358
[2] E. B. Tylor, The Subculture of Violence, (New York: Tavistock, 1967), hlm. 95.
[3] Lee Thayer, Communication and Communication Systems, (Homewood, IL: Irwin, 1967), hlm. 47
[4] M. P Orbe, Internasional Journal of Intercultural Relations, (United States: Sage, 1999), hlm. 591-611
[5] Edward Hall, The Silent Language, (New York: Doubleday, 1959), hlm. 50-52
[6] http://anthoposthink02.blogspot.com/2014/01/makalah-komunikasi-dan-budaya.html
[7]David M. How To Map a People, (New York: Pravo, 1976), hlm. 14
[8] http://anthoposthink02.blogspot.com/2014/01/makalah-komunikasi-dan-budaya.html
[9] Edward T. Hall, Beyond Culture, (New York: Doubleday, 1989), hlm. 5
[10] Ibid, hlm. 6
[11] Ibid, hlm. 91
[12] Ibid, hlm. 7
[13] William B. Gudykunst, Communication Yearbook, (Newbury Park: Sage, 1989), hlm. 315-354
[14] Joseph A. De Vito, Human Comunication, (New York: Harper Collins, 1994), hlm. 422-424
[15] Peter Farb, What Happes When People Talk, (New York: Vintage, 1993), hlm. 14
[16] Thomas Donaldson, Harvad Business Review, (New York: Harper Collins, 1996), hlm. 53-54
[17] Ibid, hlm. 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar