SEJARAH PERADABAN ISLAM SEBELUM DAN SESUDAH
KEMERDEKAAN
Dosen Pembimbing : Y. Rahmat Akbar, SE, M.Si
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Peradaban
Islam
Depika Mulia NIM : 11840124235
Muhammad Mauladi NIM : 11840114094
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2018/2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Sejarah
Peradaban Islam dengan judul "Sejarah
Peradaban Islam Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan" tepat pada
waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu
tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini
dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.
Pekanbaru, 27 April 2019
Kelompok 10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A.
LATAR BELAKANG................................................................................................... 1
B.
RUMUSAN MASALAH.............................................................................................. 1
C.
TUJUAN........................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A. SEJARAH PERADABAN ISLAM PRA KEMERDEKAAN................................... 3
B.
SEJARAH PERADABAN ISLAM PASCA KEMERDEKAAN.............................. 7
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 15
A.
Kesimpulan.................................................................................................................. 15
B.
Kritik dan Saran......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah dan peradaban Islam merupakan bagian
penting yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kaum Muslimin dari masa ke
masa. Betapa tidak, dengan memahami sejarah dengan baik dan benar, kaum
Muslimin bisa bercermin untuk mengambil banyak pelajaran dan membenahi kekurangan
atau kesalahan mereka guna meraih kejayaan dan kemuliaan dunia dan akhirat.
Semoga Allâh Azza wa Jalla meridhai sahabat
yang mulia, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang mengungkapkan hal ini
dalam ucapannya, “Orang yang berbahagia (beruntung) adalah orang yang
mengambil nasehat (pelajaran) dari (peristiwa yang dialami) orang lain.”[1]
Dengan adanya perkembangan zaman modern yang
mempengaruhi kebudayaan yang ada di Indonesia yang pada akhirnya secara
perlahan budaya tersebut akan mulai di lupakan oleh masyarakat, karena lebih
memilih sistem modern. Dari kajian tersebut, maka perlu
mempelajari sejarah-sejarah masa lampau yang tersebar di nusantara.
Khusus peradaban
Islam di Indonesia, sebagian masyarakat Indonesia yang beragama islam tidak
mengetahui tentang peradaban tesebut. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi
yang diperoleh. Untuk mengkaji kembali peradaban tersebut, maka perlu di susun
suatu tulisan yang membahas tentang masalah peradaban islam di Indonesia. Salah
satu bentuk tulisan itu adalah penulisan makalah ini, yang diharapkan mampu
memberikan informasi secara singkat tentang peradaban islam di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah peradaban Islam pra kemerdekaan?
2. Siapa saja
tokoh yang berperan dalam islam pra kemerdekaan?
3. Bagaimana sejarah
peradaban Islam pasca kemerdekaan?
C. Tujuan
1. Memahami sejarah
peradaban Islam pra kemerdekaan
2. Mengetahui tokoh
yang berperan dalam islam pra kemerdekaan
3.
Memahami sejarah peradaban Islam pasca
kemerdekaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
PERADABAN ISLAM PRA KEMERDEKAAN
Islam
tersebar di Indonesia melalui pedagang yang berdagang ke Indonesia, di mana
masyarakat Indonesia sebelum Islam mayoritas memeluk agama Hindu. Islam
tersebar di Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh sampai ke
delapan Masehi. Daerah yang pertama pertama di kunjungi oleh penyebar Islam adalah
sebagai berikut:
·
Pesisir
utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai
bisa mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara.
·
Pesisir
utara pulau Jawa kemudian meluas sampai ke Maluku yang selama beberapa abad
menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit Dalam sejarah
perkembangan Islam di Indonesia kita tak lepas dari para wali-wali kita yang di
sebut dengan wali sembilan (wali songo) yang dengan ketulusan mereka dan
pengorbanan mereka sehingga Islam dapat tersebar di Indonesia wali songo tersebut adalah:
1)
Maulana
Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa
Timur.
2)
Sunan
Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3)
Sunan
Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim,
menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4)
Sunan
Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan
Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5)
Sunan
Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6)
Sunan
Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah
Kudus.
7)
Sunan
Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam
di daerah Demak.
8)
Sunan
Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan
islamnya di daerah Gunung Muria.
9)
Sunan
Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat
(Cirebon)[2]
Ada dua tahapan “masa”
yang di lalui atau pergerakan islam sebelum kemerdekaan, yaitu:
1.
Pada Masa Kesultanan
Daerah yang
sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh,
Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam
mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah
tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni.
Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah
satu buktinya yaitu banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang
bernilai ke-Islaman, salah satu contohnya berikut:
Dikerajaan
Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak
begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa
kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara
konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya
Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli
dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.
Islam
di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak
memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha.
Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi
kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Walisongo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan islam di
Indonesia terutama terletal di pundak para ulama. Paling tidak, ada dua cara
yang dilakukannya. Pertama membentuk kader-kader ulama yang akan
bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di
dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan “Pesantren” di
Jawa, “Dayah” di Aceh, dan “Surau” di Minangkabau. Kedua melalui
karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh.[3]
Sayed Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan, abad-abad itu menyaksikan suatu
kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metafisika, dan teologi rasional
yang tidak terdapat tolak bandingnya di mana-mana di zaman apapun di Asia
Tenggara.[4]
Ilmuwan muslim terkenal pertama di Indonesia
adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi terkemuka yang berasal
dari Fansur (Barus), Sumatra Utara.[5]
Karyanya yang terkenal berjudul Asra-rul- ‘Arifin fi Bayan ila Suluk wa
Al-Tauhid, suatu uraian singkat tentang sifat-sifat dan inti ilmu kalam
menurut teologi islam. Karyanya yang bersifat mistik (tasawuf) adalah Syair
Perahu. Karya-karyanya yang lain, di antaranya adalah Syair Burung Pingai,
Syair Dagang, Syair Jawi, dan Syarab al’Asyikin.[6]
2.
Pada Masa Penjajahan
Dengan
datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan
pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang
barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang
teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan
Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di
sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia
untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah,
kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu
itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum
mengetahui ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social
islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para
bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan
untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
Tahun
1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun
1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada
bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang
bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka
mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara
perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi
setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan
Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam
penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan
gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik itu, ia membagi
masalah islam dalam tiga kategori:
a.
Bidang
agama murni atau ibadah
Pemerintahan
kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya
sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b.
Bidang
sosial kemasyarakatan
Hukum islam
baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c.
Bidang
politik
Orang islam
dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan
tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.
B. SEJARAH
PERADABAN ISLAM PASCA KEMERDEKAAN
1. Departemen Agama
Departeman agama (dulu namanya Kementrian
Agama) didirikan pada masa Kabinet Syahrir yang mengambil
keputusan tanggal 3 Januari 1946 untuk memberikan sebuah konsesi kepada kaum
muslimin.[7]
Mentri agama pertama adalah M. Rasyidi yang diangkat pada tanggal
12 Maret 1946. Usaha unntuk mendirikan departemen itu mulanya mendapat halangan
dari para perumus UUD 1945, ketika PPKI mengadakan rapat tanggal 19 Agustus
1945. Akan tetapi, Komite Indonesia Nasional Pusat (KNIP), pada tanggal 11
November 1945 mengusulkan pendirinya. Usul itu diprakarsai oleh K.H.
Abudardiri, K.H. Saleh Su’aidi, dan M. Sukoso Wirjosaputro, semuanya
adalah anggota KNIP dari daerah Banyumas. Usul itu mendapat dukungan dari M.
Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Madhi, dan M. Kartosudarmo (semuanya
anggota KNIP) dan disetujui oleh badan legislatif tersebut.[8]
Setelah kemerdekaan Indonesia, para pemimpin rakyat Indonesia
sepakat menerapkan bentuk Republik dalam pemerintahan Indonesia. Dan
berdasarkan pada asas pancasila dan UUD 1945.
Sebelum terbentuknya kementrian ini, ada pembahasan mengenai apakah
kementrian ini akan dinamakan kementrian agama Islam ataukah kementrian agama
saja. Akhirnya diputuskan menjadi kementrian agama, yang pertama-tama mempunyai
tiga seksi dan kemudian empat seksi, masing-masing kaum muslimin, umat
protestan, umat katholik, dan umat hindu budha (dulu disebut agama Hindu Bali).[9]
Sesuai dengan perkembangan departemen ini strukturnya berkembang
dari yang hanya terdiri dari empat seksi, sekarang terdiri
dari lima direktorat jendral, yaitu:
1. Direktorat jendral bimbingan masyarakat Islam dan urusan haji,
2.
Direktorat
jendral pembinan kelembagaan agama Islam,
3.
Direktorat jendral bimbingan
masyarakat katholik,
4.
Direktorat jendral
bimbingan masyarakat protestan, dan
5.
Direktorat jendral
bimbingan masyarakat hindu dan budha.
Mentri agama juga dibantu oleh lembaga inspektorat jendral, sekretariat
jendral, badan penelitian dan pengembangan (balitbang) agama dan pusat
pendidikan dan latihan (pusdiklat) pegawai.[10]
2.
Pendidikan
Setelah berdirinya departemen agama, persoalan pendidikan mulai
mendapat perhatian lebih serius. Badan pekerja komite nasional pusat dalam
bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan.[11]
Kurikulum 1975 tercipta setelah melalui perjuangan pihak pengemban
madrasah, untuk berusaha menyamakan status dan derajat madrasah yang dikelola
oleh departemen agama dengan status dan derajat pendidikan lain yang dikelola
oleh departemen pendidikan dan kebudayaan.
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam kaum mukmin di Indonesia
sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud Yunus membuka Islamic
College pertama tanggal 9 Desember 1940 di Padang, Sumatra Barat,
yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab.
Tujuannya adalah untuk mendidik Ulama.[12]
Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah
Negri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama, 70% pelajaran umum.
Sistem penyelenggaraan sama dengan sekolah umum menggunakan tingkatan sebagai
berikut:
·
Madrasah
Ibtidaiyyah Negri (MIN) setingkat SD, lama belajar 6 tahun.
·
Madrasah
Tsanawiyah Negri (MTsN) setingkat SMP, lama belajar 3 tahun.
·
Madrasah
Aliyah Negri (MAN) setingkat SMA, Lama belajar 3 tahun.[13]
Salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah
menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga
pendidikan islam sudah berkembang beberapa bentuk sejak zaman penjajahan
belanda. Salah satu bentuk pendidikan islam tertua di Indonesia adalah
pesantren-pesantren yang tersebar dan tertua di berbagai pelosok berikut:
Dengan berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam islam di awal abad
ke-20, persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat
perhatian beberapa kalangan atau organisasi. Kurikulum mulai jelas. Belajar
untuk memahami, dan bukan sekedar menghafal, ditekankan, dan pengertian
ditumbuhkan. Itulah yang dinamakan Madrasah.[14]
3.
Hukum
Islam
Lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh
Departemen Agama adalah Hukum atau Syari’at. Pengadilan Islam di Indonesia
membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum
muamalat terbatas pada persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh),
wakaf, hibah, dan baitul mal.
Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah
kelanjutan dari masa kolonial belanda. Pada masa pendudukan jepang, pengadilan
agama tidak mengalami perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan
agama bertambah, tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para
hakim Islam nampak ketat dan kaku karena hanya berpegang pada madzhab Syafi’i.
Sementara itu, belum ada kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan
pegangan para hakim dan pengadilan Agama di dominasi oleh golongan
tradisionalis. Karena itulah, sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan
Fakultas Syari’ah di perguruan-perguruan tinggi didirikan.[15]
4.
Haji
Setelah kemerdekaan, pada tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi
pemerintah, termasuk menteri, yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci.
Bahkan dari kalangan merekalah Amir Al-hajj (pemimpin jama’ah haji) Indonesia ditunjuk.
Sejak zaman penjajahan belanda, umat Islam Indonesia ingin
mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan perjalanan haji.
Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi selama zaman jajahan keinginan ini
tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun
1950 sebuah yayasan, yaitu perjalanan haji Indonesia, didirikan di Jakarta.
Pemerintah memberikan kekuasaan kepada yayasan itu untuk menyelenggarakan
perjalanan haji. Sebuah bank, bank haji Indonesia dan sebuah perusahaan kapal,
pelayaran Muslim Indonesia (MUSI) didirikan. Tetapi 10 tahun kemudian perusahaan MUSI ini masih
saja bertindak sebagai agen dalam mencarter kapal dari perusahaan asing dalam
artian MUSI tidak mempunyai kapal sendiri.
Cara ini ditempuh samapai tahun 1962, ketika MUSI diperbolehkan
oleh pemerintrah, mungkin sekali karena pertimbangan politik. Setahun
sebelumnya, pada tahun 1961, petugas haji Indonesia (PHI) yang bertugas
memberikan kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota
PHI adalah anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.[16]
Dalam tahun 1961 itu juga, suatu perusahaan
pelayaran baru, Perseroan Terbatas “Arafat” didirikan, dengan modal yang
berasal dari para jemaah haji atau calon jemaah itu sendiri. Selanjutnya, pada
tahun 1964 panitia perbaikan haji diganti dengan badan baru, Dewan Urusan Haji
(DUH). Dewan ini mengajak PHI untuk kembali mengurus jemaah haji, akan tetapi
campur tangan pemerintah di dalamnya semakin besar, karena tanggung jawab
penyelenggaraan haji terletak pada pemerintah setempat. Namun, semua usaha yang
dilakukan itu tidak ada yang berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh tahun 1966,
organisasi-organisasi swasta mulai lagi melakukan kegiatannya menyelenggarakan
perjalanan haji. Banyak diantaranya jemaah ataupun calon haji yang terbengkalai
atau dibiarkan begitu saja tanpa ada layanan dalam perjalanan. Ini merupakan
salah satu sebab mengapa pemerintah kemudian memegang monopoli perjanjian haji.[17]
5.
Majelis
Ulama’ Indonesia
Cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan
administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu program pemerintah,
apalagi yang berkenaan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik. Pertama
kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini
pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjalin
keamanan. Di jawa barat berdiri pada tanggal 12 juli 1958, diketahui oleh
seorang panglima militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan
DI-TII tahun 1961 majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan diluar
persoalan keamanan, seperti Da’wah dan Pendidikan.[18]
Pada tanggal 8 September 1969, di Jakarta
didirikan Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) yang merupakan badan setengah
resmi. Tokoh-tokoh pemerintah, organisasi Islam, serta ilmuwan turut serta
dalam badan ini. Organisasi ini di ketuai oleh Letnan Jendral Sudirman dengan
maksud meningkatkan kegiatan yang berhubungan dengan dakwah serta bertindak
sebagai konsultan dan perantara antara berbagai organisasi yang sudah ada.[19]
Dalam tahun 1975, usaha-usaha dimulai untuk
mendirikan majelis ulama yang baru. Majelis-majelis ulama di tiap ibu kota
provinsi dibentuk atau dibagi yang masih aktif diteruskan dalam rangka
pembentukan majelis ulama yang baru.
Sementara itu, di Jakarta dibentuk panitia
Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia. Musyawarah itu sendiri
dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975, dihadiri oleh wakil-wakil Majelis
Ulama provinsi. Ketika itulah majelis ulama yang baru dinyatakan berdiri dengan
nama Majelis Ulama Indonesia. Piagam berdirinya ditandatangani oleh 26
orang ketua-ketua Majelis Ulama Daerah Tingkat I, 10 orang ulama unsur
organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dinas rohani Islam Angkatan Darat
(AD), Angkatan Udara (AU), Angkatan Laut (AL) dan POLRI, dan 13 orang ulama
yang di undang secara perorangan.[20]
Dalam pedoman dasar Majelis Ulama Indonesia
yang disahkan dalam kongres tersebut, disebutkan bahwa, Majelis Ulama Indonesia
berfungsi:
1) Memberi fatwa
dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan
umat islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar, dalam usaha
meningkatkan ketahanan nasional.
2) Mempererat
ukhuah-ukhuah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan
antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3) Mewakili umat
islam dalam konsultasi antar umat agama.
4) Penghubung
antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik
antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional.[21]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam tersebar
di Indonesia melalui pedagang yang berdagang ke Indonesia, di mana masyarakat
Indonesia sebelum Islam mayoritas memeluk agama Hindu. Islam tersebar di
Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh sampai ke delapan
Masehi.
Dalam sejarah
perkembangan Islam di Indonesia kita tak lepas dari para wali-wali kita yang di
sebut dengan wali sembilan (wali songo) yang dengan ketulusan mereka dan
pengorbanan mereka sehigga Islam dapat tersebar di Indonesia.
B. Kritik dan
Saran
Demikian
makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi penyusun
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
B. J. Boland, (1985), Pergumulan Islam di
Indonesia (Cetakan Pertama), Jakarta:
Grafitipers
Badri Yatim, (2003), Sejarah Peradaban Islam, dirasah Islamiyyah II (Cetakan
Ke-15), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Deliar Noer, (1983), Administrasi Islam di
Indonesia, Jakarta: Rajawali
Departemen PeneranganRI, 10 Tahun Majelis
Ulama Indonesia, (Jakarta: 1985)
Dr. Badri Yatim, M. A. (2011), Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Fatah Syukur, (2010), Sejarah
Peradabab Islam (Cetakan Ke-2), Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra
Musyrifah Sunarto, (2007), Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Sayed Muhammad Naquib Al-Attas, (1990), Islam
Dalam Sejarah Dan
Kebudayaan Melayu, Bandung: Mizan
Taufik Abdullah (Ed.), (1991), Sejarah Umat
Islam Indonesia, Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia
[2] Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1991), hlm. 120
[4] Sayed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam Dalam Sejarah
Dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 66
[5] Dr. Badri Yatim, M. A. Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 301
[7] B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Grafitipers, 1985, cetakan pertama), hlm. 110
[9] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, dirasah Islamiyyah II, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), Cet. 15, hlm. 307
[11] Fatah Syukur, Sejarah
Peradabab Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010),
Cet. 2, hlm. 275
[13] Musyrifah Sunarto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 129
