Jumat, 06 Oktober 2017

Tarjih, Talfiq, Taklifi, Wad'i, Mahkum fih dan Mahkum 'Alaihi



TARJIH, TALFIQ, TAKLIFI, WAD’I, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIHI

BIDANG STUDI
FIQIH

O
L
E
H

KELOMPOK 5
Ø Muhammad Mauladi




MADRASAH ALIYAH NEGRI 1 INHIL
2017/2018
 


BAB I
ISI

A.   Tarjih
1.     Pengertian Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan, berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila kedua dalil tersebut tidak ditemukan sejarahnya, baik dari al-qur’an maupun sunnah (asbabul-wurud), dapat menggunakan tarjih dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendukung dalil-dalil tersebut.
Dari keterangan itu, tarjih pada dasarnya adalah metode mengkompromikan dalil-dalil yang tampak berytentangan. Lalu, diambil salah satunya yang terkuat alasannya.[1]
Apabila salah satu dari dua buah dalil yang nampaknya berlawanan itu tidak diketahui mana yang datangnya terkemudian, maka tidak akan terjadi nasikh-mansukh. Dalam menghadapi keadaan yang demikian ini seorang Mujtahid hendaklah meneliti mana diantara dua dalil tersebut yang lebih kuat, yang dalam istilah Usul Fiqih usaha tersebut dinamakan mentajrih.
Tarjih bagi mereka diartikan dengan menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan daripada yang lain. Sedangkan ulama Hanafiyah membuat batasan tarjih ialah menyatakan keistimewaan salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat yang menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain.
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa tarjih itu hanya berlaku pada dua nash yang zhanni. Karena zhanni itu berbeda beda kekuatannya, sehingga tidak dapat dibayangkan adanya tarjih pada nash-nash qath’i. Sebab sebagian nash yang qath’i tidaklah lebih unggul dari pada sebagian nash yang qath’i yang lain. Sekalipun ada sebagian dalil yang qath’i lebih jelas atau tidak memerlukan perenungan yang mendalam dan ada sebagian nash yang kurang jelas dan memerlukan pemikiran yang mendalam. Akan tetapi, setelah tercapai keyakinan, maka tidak ada bedanya antara kedua nash tersebut dalam memberikan keyakinan.[2]

2.     Cara Pentarjihan
a.     Tarjih baina an-Nasus
Tarjih baina an-Nasus terbagi menjadi beberapa bagian, berikut:
1)    Pentarjihan dari segi sanad
Pentarjihan dalam kelompok ini ditempuh dengan menuatkan salah satu nash dari segi sanadnya dengan melihat riwayat itu sendiri dan cara penerimaan hadits dari rasul.
2)    Pentarjihan dari segi matan
Pernatjihan dari segi matan menurut al-Amidi dapat ditempuh, antara lain dengan
a)     Menutamakan teks yang mengandung larangan daripada teks yang mengandung perintah.
b)    Mengutamakan teks yang mengandung perintah dari pada teks yang mengandung kebolehan.
c)     Menutamakan makna hakikat suatu lafal.
d)    Mengutamakan dalil khusus dari pada dalil umum.
3)    Pentarjihan dari segi hukumi atau kandungan hukum
Cara pentarjihan dari segi hukum, antara lain dengan
a)     Mengutamakan teks yang mengandung larangan (menurut jumhur) dari pada teks yang membolehkan
b)    Mendahulukan teks yang bersifat meniadakan daripada teks yang bersifat menetapkan (menurut Syafi’i)
c)     Mendahulukan teks yang bersifat menetapkan dari pada teks yang bersifat meniadakan (menurut jumhur)
d)    Memilih teks yang menghindarkan dari hukum dari pada teks yang mewajibkan terpidana mendapat hukuman
e)     Mendahulukan teks yang mengandung hukuman lebih ringan dari pada yang mengandung hukuman berat.
4)    Pentarjihan menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash.[3]

b.     Tarjih baina al-Qiyas
Asy-Syaukani membagi tarjih baina al-qiyas kedalam empat kelompok, yaitu
1)    Pentarjihan dari segi hukum asal.
1.     Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat qath`i  dari qiyas yang hukum asalnya zanni, karena yang qath`i lebih kuat dari yang zanni.
2.     Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma` dari qiyas yang landasan dalilnya nash. Sebab nash itu bisa di-takhsis, di takwil, dan di-nasakh, sedangkan ijma` tidak. Cara seperti ini dibantah dan ditolak oleh Imam Haramain al-Juwaini (419- 478 H/ 1028- 1085 M. / ahli usul fiqh Syafi`i). Menurutnya, ada kemungkinan qiyas yang di tetapkan berdasarkan al-Qur`an atau hadith lebih kuat dari qiyas yang di dasarkan kepada ijma`, karena ijma` itu sendiri harus di landaskan kepada nash. Dengan demikian, ijma` itu merupakan cabang dari nash, yang sifatnya tidak boleh di dahulukan dari asal. Pendapat ini di dukung oleh ulama usul fiqh Syafi`iyyah lainnya, Imam Baidhawy (w. 685 H/ 1287 M).
3.     Menguatkan qiyas yang `illatnya di dukung oleh dalil khusus dari qiyas yang `illatnya tidak didukung oleh dalil khusus.
4.     Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas dari qiyas yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas.
5.     Menguatkan qiyas yang disepakati ulama tidak dinasakhkan dari qiyas yang tidak disepakati kemudian dinasakhkan.
6.     Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus dari qiyas yang hukum asalnya bersifat umum.

2)    Pentarjihan dari segi hukum cabang.
1.     Menguatkan hukum furu` yang datang kemudian dari asalnya yang hukum furu`nya lebih dahulu dari hukum asal.
2.     Menguatkan hukum furu` yang `illatnya diketahui secara qath`i dari hukum furu` yang `illatnya bersifat dhanni.
3.      Menguatkan hukum furu` yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum furu` yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafsil (rinci).

3)    Pentarjihan dari segi hukum illat, meliputi cara penetapan dan sifat illat.
1.     Menguatkan `illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai `illat dari yang tidak demikian.
2.      Menguatkan `illat yang dilakukan dengan metode al-sabru wa al-taqsim (pengujian, analisis, dan pemilahan `illat) yang dilakukan oleh para mujtahid dari `illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara `illat dengan hukum.
3.      Menguatkan `illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari `illat yang ditetapkan melalui munasabah karena isyarat dari nash lebih kuat dari `illat yang ditetapkan berdasarkan dugaan mujtahid.
4.      Menguatkan `illat yang bisa diukur dengan `illat yang bersifat relatif dan tidak bisa diukur.
5.      Menguatkan `illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada kasus lain dari `illat yang sifatnya terbatas pada suatu kasus saja.
6.      Menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan pokok (dharuriyyah) dari `illat yang hanya berkaitan dengan kemaslahatan penunjang (hajiyyah). Demikian pula menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan hajiyyah dari `illat yang terkait dengan kemaslahatan pelengkap (tahsiniyyah).
7.      Menguatkan `illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum,dari `illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.


4)    Pentarjihan qiyas melalui faktor luar.
1.     Menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah `illat dari qiyas yang hanya didukung oleh satu `illat.
2.      Menguatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat (bagi yang menjadikan fatwa sahabat sebagai salah satu dalil syara`) dari qiyas yang tidak demikian.
3.      Menguatkan qiyas yang `illat berlaku pada seluruh furu` dari`illat yang hanya berlaku pada sebagian furu` saja.
4.      Menguatkan qiyas yang `illatnya didukung oleh sejumlah dalil dari qiyas yang hanya `illatnya hanya didukung oleh satu dalil saja.[4]

B.   Talfiq
1.     Pengertian Talfiq
Kata talfiq berasal dari bahasa arab, berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda, seperti perkataan talfiq as-saub, artinya mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya.
Menurut istilah, talfiq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab. Misalnya, dua orang laki-laki atau perempuan melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, cukup dengan melaksanakan iklan (pengumuman) saja.
Dasar pendapat mereka adalah dalam hal wali mengikuti mazhab hanafi. Meurut mazhab hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan mengenai persaksiannya, mereka mengikuti pendapat maliki. Menurut mazhab maliki, sah nikah tanpa saksi, cukup dengan iklan saja apabila demikian, dapat disimpulkan bahwa sah nikah tanpa wali dan saksi asal ada iklan. Dasar pendapat ini adalah talfiq dengan mengambil pendapat beberapa mazhab dalam satu masalah.
Pada dasarnya, talfiq ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melakukan talfiq itu semata-mata untuk mendapatkan pendapat yang paling benar. Dalam arti, setelah meneliti dasar hukum dari pendapat-pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat dasar hukumnya. Akan tetapi, ada talfiq yang tujuannya mencari yang ringan-ringan saja dengan arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang mudah dikerjakan, sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq yang seperti inilah yang di cela para ulama. Jadi, pada hakikatnya talfiq itu dasarnya niat. Jika niat melakukannya semata-mata untuk mencari kebenaran. Hal itu tidak bertentangan dengan ajaran islam. Sebaliknya, jika tujuannya tidak untuk mencari keridaan Allah swt, talfiq tidak sesuai dengan ajaran islam [5]

2.     Hukum Talfiq
Pada dasarnya talfiq tidak dilarang oleh agama selama tujuan melakukan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling kuat dalam arti setelah menulis diatas hukum beberapa pendapat selama dalam suatu masalah kemudian mengambil sebagian pendapat dari satu ulama dan sebagian yang lain dari ulama lainnyayang dianggap paling kuat dasarnya. Namun bila tujuan melaksanakan talfiq inimencari yang ringan, terutama dalam masalah ibadah, maka sikap seperti ini tidak baik. Karena sudah setara para ulama ada yang membolehkan tanpa syarat ada yang membolehkannya dengan syarat tidak membolehkan pendapat yang bertentangan salah satu mazhab yang di talfiqkan itu, dan bahwa ada diantara mereka yang menolak talfiq tanpa syarat[6]
Adapun hukum-hukum syara yang diketahui kepastiannya dari agama islam yaitu hal-hal yang telah di sepakati ulama dan menyebabkan pengingkarnya kafir. Dengan demikian tidak boleh talfiq yang dapat membawa kepada pembolehan hal-hal yang di sepakati keharamannya atau mengharamkan sesuatu yang di sepakati kebolahannya, atau memperbolehkan sesuatu hal yang telah disepakati kewajibannya. Misalnya dalam bidang keperdataan ialah : seorang laki-laki mengawini perempuan tanpa wali, tanpa saksi,dan mas kawin berdasarkan taklid pada tiap-tiap mazhab pada bagian bagian tertentu. Akan tetapi perkawinan semacam itu tak seorang ulamapun yang berpendapat demikian dan semua sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah.
Adapun argument ulama yang melarang talfiq ialah : pentakhrijan terhadap pendapat ulama yang terbagi kedalam dua kelompok mengenai hukum suatu masalah.Menurut kebanyakan ulama berdasarkan adanya dua versi pendapat yang berbeda itu,tidak boleh memunculkan pendapat baru yang ketiga yang membatalkan suatu yang telah menjadi objek kesepakatan mereka.Misalnya iddah istri yang hamil yang suaminya meninggal dunia ada dua pendapat berkenaan dengan ini yaitu pendapat pertama ialah, persalinan kandungannya, pendapat kedua yang terlama dari dua masa persalinan kandungan empat bulan sepuluh hari. Jika yang lebih lama waktunya adalah persalinan kandungannya maka persalinan itulah masa iddahnya. Sebaliknya apabila empat bulan sepuluh hari merupakan masa yang lebih lama dari pada persalinan kandungannya, maka iddahnya empat bulan sepuluh hari selanjutnya tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga bahwa masa iddahnya empat bulan sepuluh hari saja berdasarkan talfiq terhadap dua pendapat tersebut.
Agaknya pendapat ini perlu di tinjau kembali, sebab ide talfiq didasarkan atas ide taklid yang di munculkan oleh ulama mutaakhirin pada zaman kemunduran islam. Ide tersebut tiak di kenal pada zaman salaf baik pad masa rasulullah saw, para sahabatnya, masa tabi`in maupun masa para imam mujtahid dan para muridnya sesudahnya disamping itu seseorang tidak wajib mengikuti suatu mazhab tertentu dalam sgala masalah yang di hadapinya, seorang yang tidak terikat pada suatu mazhab tertentu boleh bertalfiq jika tidak maka akan brakibat batalnya ibadah-ibadah masyarakat awam.
Sebab kita nyaris tidak menjumpai orang awam yang mengerjakan ibadah yang sesuai dengan suatu mazhab tertentu, adapun persyaratan yang mereka kemukakan berupa memelihara perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab apabila seseorang bertaklid pada mazhab tertentu atau meninggalkan mazhabnya didalam suatu hal maka itu adalah hal yang sulit. Hal ini bertentangan dengan prinsip kemudahan toleransi di dalam syariat islam dan tidak sejalan dengan kemaslahatan ummat manusia.
Selanjutnya mengenai klaim sebagai ulama mazhab hanafi mengenai danya ijma yang melarang talfiq maka hal itu semata-mata kesepakatan ulama mazhabnya saja. Dalam kenyataannya tidak ada ijma tidak ada petunjuk terhadap tidak adnya ijma yang lebih kuat dari pada tentangan banyak ulama mutaakhirin yang menyatakan bahwa talfiq itu boleh selama tidak membawa kepada suatu pendapat yang bertentangan dengan nash atau ijma.[7]

3.     Contoh Talfiq
a)     Seorang laki-laki dan perempuan melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, karena, pertama, Mengikuti mazhab hanafi yang tidak mensyaratkan wali dalam pernikahan. Kedua Menikuti mazhab maliki yang tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan tersebut.
b)    Seseorang berwudhu dengan memakai air musta’mal dan kemudian shalat dengan tidak membaca basmalah dalam membaca surah al-fatihah, karena, pertama mengikuti mazhab maliki yang memperbolehkan memakai air musta’mal, kedua, mengikuti pendapat mazhab hanafi yang mengatakan bahwa basmalah bukan bagian dari surah al-fatihah.[8]

C.   Taklifi
1.     Pengertian Taklifi
Taklifi berasal dari kata kallafa, yukallifu, taklifan, yang berarti membebanan atau pembebanan. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah hukum syar’i yang berupa tuntunan (talab) untuk melakukan sesuatu, baik pada tingkat mengikat (luzum atau  jazim) atau pada tingkat tidak mengikat (gairu jazim), atau berupa penawaran menentukan pilihan (takhyir) atas sesuatu perbuatan. Hukum taklifi ada lima, yaitu sebagai berikut.
a)     Ijabah, yaitu hukum yang berisi tuntutan untuk mengerjakan susatu perbuatan yang sifatnya mengikat yang harus di kerjakan dan tidak boleh ditolak (talab luzum).
b)    Nadab, yaitu hukum yang berisi tuntutan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan, namun sifatnya tidak mengikat, ada kelonggaran untuk tidak melakukannya (talab gairu jazim).
c)     Tahrim (mengharamkan), yaitu hukum yang berisi tuntutan untuk tidak mengerjakan sesuatu perbuatan yang sifatnya mengikat yang harus ditinggalkan(talab luzum).
d)    Karahah (memakruhkan), yaitu hukum yang berisi tuntutan untuk tidak mengerjakan sesuatu perbuatan, namun sifatnya tidak mengikat, ada kelonggaran untuk melaukannya (talab gairu jazim)
e)     Ibahah (membolehkan), yaitu hukum yang berisi pilihan (takhyir) yang membolehkan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan atau meninggalkannya.[9]
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah firman Allah SWT :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً (التوبة : ١٠٣)  
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka (QS. At Taubah : 103)
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ (ال عمران : ٩٧)
Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah. (QS. Ali Imran : 97)
Adapun contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat adalah firman Allah SWT :
لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ (الحجرات : ١١)
Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (QS. Al Hujurat : 11)
Sedangkan contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan meninggalkan adalah firman Alllah SWT :
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا (المئدة : ٢)
Dan apabila kamu  telah menyelesaikan ibadah haji, maka kamu boleh berburu. (QS. Al Maidah : 2)
Hukum-hukum seperti contoh tersebut disebut hukum taklifi karena mengandung paksaan kepada mukallaf untuk berbuat, tidak berbuat dan memilih antara berbuat atau tidak. Alasan pemberian nama itu sudah jelas dalam hal tuntutan kepada mukallaf.

2.     Macam-macam hukum taklifi
A.   Wajib (Al-Ijab)
Wajib menurut Syara’ adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syara’ secara keras kepada mukallaf untuk melaksanakannya. Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan kalau dikerjakan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa. Wajib dikenali dari lafad atau tanda lain.
Contoh melalui lafadz :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ ... (البقرة : ١٨٣)
Artinya : Diwajibkan atas kamu berpuasa  … (QS. Al Baqarah : 183)
Lalu wajib dibagi menjadi beberapa macam:
1.     Wajib dari segi waktu
a)     Wajib Muaqqot, yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. Contoh : sholat, puasa ramadhan dan lain-lain.
b)    Wajib Mutlak, yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang waktunya belum ditentukan. Contoh : haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.

2.     Wajib dari segi orang yang mengerjakan
a)     Wajib ‘aini, yaitu perkara wajib yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap individu yang tidak boleh diwakilkan pada orang lain. Contoh : Sholat, puasa
b)    Wajib kafai, yaitu wajib yang dibebankan pada sekelompok orang dan kalau sakah seorang adayang mengerjakan gugur kewajiban yang lain. Contoh sholat mayit , amar ma’ruf nahi mungkar dan lainnya.

3.     Wajib dari segi kadar tuntutan .
a)     Wajib Mukhaddat, yaitu perkara yang sudah ditentukan syara’ bentuk perbuatan yang di wajibkan dan mukallaf dianggap belum melaksanakan kewajiban sebelum melaksanakan seperti apa yang diwajibkan syara’.Contoh sholat, zakat, dan lainnya.
b)    Wajib Ghoiru Mukhaddat, yaitu perkara wajib yang tidak ditentukan cara pelaksanaannya dan waktunya , san diwajibkan atas mukallaf tanpa paksaan. Contoh infaq dijalan Allah ,menolong orang kelaparan, dan lainnya.

B.   Sunnah /( An-Nadb)
Sunnah  adalah suatu perkara yang perintahkan oleh syara’ kepada mukallaf untuk mengerjakannya dengan perintah yang tidak bigitu keras atau definisi lain yaitu diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya.
Singkatnya mandub dapat diketahui dengan lafadznya seperti kata disunnahkan / dianjurkan atau sighot amar, tapi ditemui dalam nash itu tanda yang menunjukkan perintah itu tidak keras.
Contoh ayat Al Quran surat Al Baqarah ayat 282
يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلٰى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِۖ
 ‘’Hai orang – orang beriman, apabila kamu hutang piutang tidak secara tunai hendaklah kamu melunasinya”
Mandub dibagi menjadi tiga bagian:
a)     Sunnah Hadyi, yaitu suatu perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain – lain.
b)    Sunnah Zaidah, yaitu perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
c)     Sunnah Nafal , yaitu perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat sunnat
C.   Haram (At-Tahrim)
Haram adalah perkara yang dituntut oleh syara’ untuk tidak mengerjakannya secara keras. Dengan kata lain kalau dikerjakan mendapat aiksa kalau ditinggalkan mendapat pahala. Contoh ayat
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ...
Artinya : Janganlah kamu mendekati zina … (QS. Al Israa : 32)
1.     Haram asli karena zatnya, yaitu perkara yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/berbahaya. Contoh zina mencuri dll.
D.   Makruh (Al- Karahah)
Makruh adalah perkara yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras. Dengan kata lain perkara yang dilarang melakukan tapi tidak disiksa bagi yang mengerjakan.
Contoh ayatnya adalah Al Quran surat Al Maidah ayat 101
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Artinya : “Hai orang –orang yang beriman jangalah menanya hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu niscaya menyusahkan kamu.’’

Makruh menurut Hanafiah dibagi dua :
1.     Makruh Tahtiman yaitu perkara yang ditetapkan meninggalkannya dengan bersumberkan dalil dhonni. seperti hadist ahad dan qiyas. contoh memakai perhiasan emas dan sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan dalam hadist ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkannya.
2.     Makruh Tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak keras. seperti memakan daging keledai ahli / jinak dan meminum susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang melakukannya.
E.    Mubah (Al-Ibahah)
Mubah adalah perkara yang dibebaskan syara’ untuk memilih atau meninggalkannya .
Contoh ayat
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا (المئدة : ٢)
Dan apabila kamu  telah menyelesaikan ibadah haji, maka kamu boleh berburu. (QS. Al Maidah : 2)[10]

B.   Wad’i
Hukum wad’i dibagi menjadi lima bagian. Diterapkan dengan suatu ketetapan bahwa hukum ini adakalanya menjadi sesuatu itu menjadi sebab bagi sesuatu, atau syarat, atau diperbolehkan rukhsah ganti azimah. Atau sahih atau tidak sahih.

1.     Sebab
Defenisi : Sebab yaitu, apa yang dijadikan alamat oleh syari’ terhadap musababnya, dan mengikat adanya musabab itu dengan wujudnya a’dam (tidak adanya) dengan a’damnya. Maka tetap dari adanya sebab maka adanya musabab. Dan dari adanya a’dam maka adanya a’dam itu. Ini adalah urusan zahir yang tidak bisa dibantah syari’ menjadikan alamat kepada hukum syar’i, yaitu musababnya. Dan tetap dari adanya maka adanya musabab, dan dari a’damnya maka ada a’damnya. Telah dikemukakan dalam pembahasan illat pada qiyas tiap-tiap illah bagi hukum dinamakan sebabnya. Bukan tiap-tiap sebab bagi hukum dinamakan illatnya. Telah kita terangkan perbedaan dan contoh antara keduanya itu.
Macam-macamnya :
Kadang-kadang sebab itu adalah sebab bagi hukum taklifi. Seperti waktu oleh syari’ dijadikan menjadi sebab bagi wajibnya mengerjakan sembahyang.
Allah berfirman dalam Al-Quran surah Al-Isra ayat 78
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Artinya : Dirikanlah sembahyang itu dari sesudah matahari itu tergelincir (Q.S 17:78)

Dan seperti menyaksikan ramadhan, oleh syari’ dijadikan sebab untuk mewajibkan puasa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 185
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya : Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (dinegeri tanpa tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa (Q.S 2:185)
Sampai senisab bagi orang yang akan berzakat itu dijadikan sebab untuk wajib membayarkan zakat. Pencurian itu dijadikan sebab untuk wajib potong tangan orang yang mencuri itu. Syirik perempuan musyrik islam. Sakit itu dijadikan sebab untuk memperbolehkan membukaan puasa pada bulan ramadhan. Banyak contoh-contoh yang demikian itu. Kadang-kadang sebab itu merupakan sebab untuk menetapkan hak milik, atau menghalalkan, atau menghilangkan keduanya, seperti jual dekakan budak, wakaf dan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi, akad nikah itu untuk menghalalkan. Talak itu untuk menghilangkannya. Karib kerabat, ipar, semenda menyemenda dan perwalian itu untuk mendapatkan hak waris. Melenyapkan harta orang itu untuk mendapatkan hak jaminan terhadap orang yang melenyapkannya itu. Syirkah atau milik itu untuk mendapatkan hak syaf’ah.

2.     Syarat
Defenisi : Syarat yaitu apa yang terhenti wujud hukum itu atas wujudnya, dan tidak tercerai dari a’dam nya itu a’dam hukum. Yang dimaksud dengan wujudnya itu ialah syar’i yang disusun hadis di atasnya. Syarat itu ialah luar dari hakikat yang disyaratkan. Tidak tetap dari wujudnya itu wujudnya, perkawinan itu adalah syarat bagi menjatuhkan talak. Apabila tidak terdapat perkawinan, maka tidak terdapat talak. Tidak akan bercerai dari adanya perkawinan itu adanya talak. Berwudhu, maka tidak sah mengerjakan sembahyang dan tidak akan bercerai dari adanya wudhu itu mengerjakan sembahyang.
Adanya perkawinan itu menurut syari’at yang tersusun hukum-hukum diatasnya itu berhenti atas hadirnya dua orang saksi diwaktu dilangsungkan akad nikah. Adanya jual beli menurut syari’at yang tersusun hukum-hukum diatasnya itu akan berhenti atas ilmu(mengetahui) dengan adanya saling menukarantara kedua belah pihak. Beginilah tiap-tiap apa yang di syaratkan oleh syar’i itu mempunyai syarat. Tidak dibenarkan adanya syar’i itu. Kecuali bila ada terdapat syarat-syaratnya. Syari’at itu di ibaratkan tidak ada apabila hilang syarat-syaratnya. Tapi tidak akan bercerai dari wujud syarat itu wujud yang disyaratkan.
Syarat-syarat syar’i, itulah yang disempurnakan oleh sebab, dan hadisnya itu di susun diatasnya. Pembunuhan itu adalah sebab untuk mewajibkan kisas. Tapi dengan syarat dengan adanya pembunuhan direncanakan, dan adanya permusuhan kedua belah pihak. Akad nikah perkawinan itu menyebabkan milik mut’ah. Tapi dengan syarat hadirnya dua orang saksi beginilah, tiap-tiap akad nikah tindakan, hadis-hadis yang disusun diatasnya ini tidak lain selain dari apabila telah mencukupi syarat-syaratnya.

3.     Mani’
Defenisi : Mani’ yaitu apa yang tidak terpisah dari adanya dan tidak adanya hukum. Atau batal sebab menetapkan adanya sebab syar’i dan semua syarat-syaratnya mencukupi, tapi terdpat mani’ (larangan) yang melarang tertib hukum atasnya. Sebagaimana, apabila terdapat suami istri yang sah, atau karib-kerabat, tapi dilarang menertibkan waris kepada salah satu dari keduanya ini. Seperti adanya seseorang mewariskan sesuatu, dan disamping apa yang diwariskannya itu ada pula hutang piutang, atau dibunuhnya orang yang mewariskan itu oleh yang menerima waris. Sama halnya dengan pembunuhan yang direncanakan oleh dua orang yang bermusuhan tapi ada larangan yang mewajibkan kisas, karena yang membunuh itu adalah ayah dari yang terbunuh.
Mani’ dalam istilah ushul yaitu perintah yang disampping menetapkan sebab dan mencukupi syarat-syaratnya. Orang yang dilarang menertibkan musabab terhadap sebabnya. Yang hilang syarat dinamakan mani’ dalam istilah ushul, sekalipun ada yang melarang orang yang menertibkan musabab terhadap sebab. Kadang-kadang mani’ melarang menetapkan sebab syar’i, tidak boleh orang menertibkan hukum terhadapnya, seperti hutang bagi orang yang memiliki harta zakat. Karena hutang-hutangnya itu melarang orang menetapkan sebab untuk mewajibkan zakat itu terhadapnya.
Karena harta orang yang berhutang itu seakan-akan bukan dia lagi yang memiliki milik itu dengan sempurna. Melihat kepada hak hutang-hutangnya itu. Karena melepaskan tanggung jawab terhadap hutang-hutang yang dibebankan kepadanya itu lebih di utamakan dari memberikan zakat kepada fakir miskin. Pada hakikatnya inilah yang merupakan dongkrak dengan apa yang mencukupi syarat pada syarat syar’i. Yaitu dari sebab tidak cukup syarat. Tidak diterima adanya mani’.

4.     Rukhsah dan Azimah
Defenisi : ruksyah yaitu apa yang disyari’atkan Allah, dari hal hukum-hukum yang meringankan kepada mukallaf dalam hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan. Atau apa yang disyari’atkan bagi unsur yang sulit dalam hal-hal tertentu. Atau memperbolehkan apa yang dilarang dengan dalil disamping menegakkan dalil larangan. Adanya azimah yaitu apa yang di syari’atkan Allah, berasal dari hukum-hukumnya. Umum yang tidak dikhususkan dengan hal selain dari hal, dan tidak pula mukallaf selain dari mukallaf.
Macam-macamnya :
Diantara rukhsah itu memperbolehkan apa yang dilarang diwaktu darurat(keperluan yang sangat mendesak). Ada orang yang tidak senang mengucapkan kata-kata kafir, maka diperbolehkan kepadanya membaca kata-kata lain yang menyenangkan untuk diucapkan dari hatinya tentram dengannya. Begitu juga orang yang tidak senang memperbukakan puasanya pada bulan ramadhan atau melenyapkan harta bendanya, maka diperbolehkan kepadanya itu yang dilarang, tidak disenanginya itu untuk menyenangkannya. Ada orang yang karena berpaksa tidak tertahan lagi menahan lapar dan haus, maka diperbolehkan kepadanya memakan mayat dan minum khamar. Allah berfirman dalam Al-Qur’an :

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَٰنِ
Artinya : Kecuali orang yang tidak senang dan hatinya itu tentram dengan iman(Q.S An-Nahl : 106)

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Artinya : Sesungguhnya Allah menjelaskan kepada kamu apa-apa yang diharamkannya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya(Q.S. An-Na’am : 119)
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Artinya : Barang siapa yang teraksa (memakannya) sedangkan dia mengingatkannya dan tidak pula melampawi batas, maka tidak berdosa baginya(Q.S Al-Baqarah : 173)
Ada rukhsah itu memperbolehkan meninggalkan yang wajib, karena ada halangan untuk melakukannya bagi mukallaf. Bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan pada bulan ramadhan, maka diperbolehkan kepadanya memperbukakan puasanya. Orang yang sedang dalam musafir, diperbolehkan kepadanya mengkasar sembahyang yang empat rakaat. Artinya dikerjakan hanya dua rakaat untuk ganti yang empat.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya : Maka diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka puasa) maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari hari yang lain.(Q.S Al-Baqarah :184)
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
Artinya: Dan apabila kamu bepergian dimuka bumi hendaklah kamu mengkasar sembahyang.(Q.S An-Nisa : 101)

5.     Sah dan Batal
Apa yang dituntut oleh syar’i tentang perbuatan mukallaf itu dan apa-apa yang di syari’atkan kepada mereka dari segi sebab-sebab dan syarat-syarat apa yang dikerjakan oleh si mukallaf itu adakalanya syar’i, itu mensahkannya dan adakalanya pula tidak mensahkannya apabila terdapat kesepakatan tentang apa yang di tuntut oleh syar’i dan apa yang di syari’atkan. Dengan terjadinya penipuan terhadap salah satu rukun atau syarat-syaratnya itu, maka hukum ini tidak disahkan oleh syar’i.
Pengertian sah menurut syari’at itu adalah hadis-hadis syar’i tersusun diatasnya. Apabila yang mengerjakannya mukallaf, mengerjakan perbuatan yang wajib atasnya, seperti sembahyang, puasa, zakat, dan haji. Simukallaf ini mengerjakan dengan rukun-rukun dan syaratnya yang sempurna, maka gugurlah yang wajib itu dari dia. Dan lepaslah tanggung jawabnya sekalipun dia tidak mulia didunia, namun berhak mendapat pahala diakhirat[11]

C.   Mahkum Fih
Mahkum fih ialah perbuatan mukallaf  yang berhubungan dengan hukum syar`i.
Firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman penuhilah janji.(Q.S Al-Maidah : 1)
Hukum wajib yang diambil dari ayat diatas yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi janji. Itu lalu dijadikan wajib.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu melakukan hutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.(Q.S Al-Baqarah : 282)
Hukum sunah yang diambil dari ayat diatas berhubungan dengan perbuatan mukallaf yaitu mencatat (menulis) utang. Mencatat utang itu lalu dijadikan sunah.
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ
Artinya : Janganlah kamu membunuh orang. (Q.S Al-An’am : 151)
Hukum haram yang diambil dari ayat diatas berhubungan dengan perbuatan mukallaf  yaitu membunuh. Membunuh itu dilarang dan hukumannya haram.
وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ
Artinya : Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan. (Q.S Al-Baqarah : 267)
Hukum makruh yang diambil dari ayat diatas berhubungan perbuatan mukallaf, yaitu menginfakkan harta yang jelek-jelek. menginfakkan harta yang jelek-jelek itu hukumnya makruh
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya : Maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib) mengganti sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. (Q.S Al-Baqarah : 184)
Ayat diatas berhubungan dengan mukallaf yang sakit atau dalam perjalanan, hal ini yang membolehkan keduanya untuk buka puasa. Berbuka puasa bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan hukumannya boleh (mubah).
Jadi, setiap hukum syar’i pasti berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf baik dari segi tuntutan (thalab), perintah untuk memilih (takhyir). Tidak ada tuntutan kecuali dengan perbuatan. Artinya bahwa hukum syar’i yang bersifat tuntutan itu tidak berhubungan kecuali dengan mukallaf apabila hukum syar’i itu berbentuk wajib atau sunah, maka persoalannya jelas yaitu perbuatan syar’i itu berupa haram atau makruh, itu juga tuntutannya berupa perbuatan, yaitu perbuatan menahan nafsu dari yang haram atau makruh. Jadi, meninggalkan sesuatu itu juga sama dengan perbuatan tetapi lebih kepada perbuatan batin.
Dengan demikian, semua perintah atau larangan adalah berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam perintah yang dituntut adalah mengerjakan yang diperintahkan dan dalam larangannya yang dituntut adalah menahan yang dilarang.
Tuntutan syara’ terhadap perbuatan mukallaf menjadi sah apabila memenuhi tiga syarat, yaitu :
a)     Perbuatan itu sungguh-sungguh diketahui oleh muallaf, sehingga ia dapat menunaikan tuntutan itu sesuai yang diperintahan.
b)    Harus diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang mempunyai wewenang menuntut, atau dari orang yang harus dikuti hukum-hukumnya oleh muallaf.
c)     Perbuatan yang dituntut itu adalah perbuatan yang mungkin dilakukan atau ada potensi bagi mukallaf untuk mengerjakan atau menolaknya.

D.   Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih ialah seorang muallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’.
Dalam syara’ sahnya memberikan beban kepada mukallaf disyaratkan dua hal :
a)     Sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan), yakni ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan Al-Qur’an dan As-Sunah baik yang berlangsung maupun perantaraan. Sebab orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil taklif  tidak akan dapat mengikuti apa yang dibebankan kepadanya maka barangsiapa yang telah mencapai tingkat kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat yang merusak akalnya, berarti telah sempurna padanya kemampuan untuk diberi beban anak tidak bisa diberi beban karena tidak ada akal yang dijadikan alat untuk memahami apa yang dibebankan. Demikian pula orang yang tidur, lupa, dan mabuk.
Rasulullah SAW bersbda yang artinya :
 “Diangkat pena itu (tidak dicatat amal manusia) dari tiga orang: Orang yang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia dewasa dan orang gila hingga ia berakal.”
b)    Muallaf  harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Pengrtian ahli secara etimologis ialah mempunyai kelayakan untuk menerima beban. Menurut ulama ushul, ahli (layak) itu dibagi kepada dua bagian, yaitu ahli wajib dan ahli melaksanakan.
Pertama ahli wajib (ahliyatul wujub) ialah kelayakan seseorang disebabkan layaknya ada hak-hak dan kewajiban padanya. Dasar kelayakan ini ialah adanya karakteristik tertentu yang diciptakan Allah swt. Kepada manusia dan menjadi spesifikasi di antara berbagai macam binatang .
Adapun ahli melaksanakan (ahliyatul ada’) ialah kelayakan diberi beban sehingga seseorang dianggap pantas menurut syara’ baik ucapan maupun perbuatannya. Dimana apabila ia melaksanakan shalat, puasa, mengerjakan haji, atau mengerjakan kewajiban apa saja maka menurut syara’ semuanya dianggap sah dan dapat menggugurkan kewajibannya. Demikian pula apabila ia melakukan tindakan pidana pada orang lain, baik menyangkuti jiwa, harta maupun kehormatan, maka ia dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan perbuatannya. Jadi, yang dimaksud dengan ahli ada’ adalah kemampuan mempertanggungjawabkan perbuatannya dan kemampuan membedakan sesuatu dengan akalnya.[12]

 

BAB II
KESIMPULAN DAN SARAN
A.   Kesimpulan
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan, berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila kedua dalil tersebut tidak ditemukan sejarahnya, baik dari al-qur’an maupun sunnah (asbabul-wurud), dapat menggunakan tarjih dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendukung dalil-dalil tersebut.
Dari keterangan itu, tarjih pada dasarnya adalah metode mengkompromikan dalil-dalil yang tampak berytentangan. Lalu, diambil salah satunya yang terkuat alasannya
Cara Pentarjihan :
Tarjih baina an-Nasus
5)    Pentarjihan dari segi sanad
6)    Pentarjihan dari segi matan
7)    Pentarjihan dari segi hukumi atau kandungan hukum
8)    Pentarjihan menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash.
Tarjih baina al-Qiyas
5)    Pentarjihan dari segi hukum asal.
6)    Pentarjihan dari segi hukum cabang.
7)    Pentarjihan dari segi hukum illat, meliputi cara penetapan dan sifat illat.
8)    Pentarjihan qiyas melalui faktor luar.
Kata talfiq berasal dari bahasa arab, berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda, seperti perkataan talfiq as-saub, artinya mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya.
Menurut istilah, talfiq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab. Misalnya, dua orang laki-laki atau perempuan melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, cukup dengan melaksanakan iklan (pengumuman) saja.
Taklifi berasal dari kata kallafa, yukallifu, taklifan, yang berarti membebanan atau pembebanan. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah hukum syar’i yang berupa tuntunan (talab) untuk melakukan sesuatu, baik pada tingkat mengikat (luzum atau  jazim) atau pada tingkat tidak mengikat (gairu jazim), atau berupa penawaran menentukan pilihan (takhyir) atas sesuatu perbuatan.
Hukum taklifi ada lima, yaitu
Ijabah, Nadab, Tahrim , Karahah dan  Ibahah
Macam-macam hukum taklifi , yaitu Wajib (Al-Ijab), Sunnah /( An-Nadb), Haram (At-Tahrim), Makruh (Al- Karahah) dan Mubah (Al-Ibahah).
Macam-macam hukum wad’i yaitu Sebab, syarat, mani’ dan rukhsah dan azimah
Mahkum fih ialah perbuatan mukallaf  yang berhubungan dengan hukum syar`i.
Mahkum ‘alaih ialah seorang muallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’.

B.   Saran
a)     Untuk Sekolah :
·        Sebaiknya perpustakaan menyediakan buku sumber ushul fiqih dan berbagai buku fiqih lainnya untuk dapat di baca sebagai ilmu pengetahuan.
·        Sebaiknya dalam belajar tidak hanya diskusi terus, tetapi kita juga mengadakan penilaian praktek.
·        Menumbuhkan niat baca siswa dari berbagai sumber buku yang menarik untuk hukum-hukum islam.

b)    Untuk Masyarakat :
·        Mengamalkan nya dan memberi contoh sekaligus teladan yang baik bagi masyarakat tentang yang sudah dipahami dari hukum-hukum fiqih.
·        Dapat memberikan penjelasan kepada masyarkat yang tidak diketahui tentang hukum-hukum islam taklifi maupun wad’i.

c)     Untuk Diri Sendiri :
·        Sebaiknya diri sendiri mendapat sumber lebih banyak agar lebih banyak pula yang diketahui maupun yang dipahami.
·        Sebaiknya diri sendiri menumbuhkan nilai membaca karena membaca adalah hal yang mudah untuk dilakukan tetapi susah untuk dilakukan.
·        Sebaiknya diri sendiri menumbuhkan sikap kebersamaan karena setiap orang selalu membutuhkan bantuan orang lain.


DAFTAR PUSTAKA
Qosim, M. Rizal, Pengamalan Fiqih 3, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2005, hlm. 70.
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar dasar pembinaan hukum fiqh-islami, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986, hlm. 469.
M. Abdul, Halim. Fiqih Madrasah Aliyah Kelas Tiga, Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2005, hlm. 86.
Muslih, Muhammad. Fiqih 3, Bogor: PT. Karya Toha Putra, 2007, hlm. 55.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta:  PT. Rineka Cipta, 2005, hlm. 140-152
Mundzier Suparta, Djedjen Zainuddin, Pendidikan Agama Islam Fiqih, Jakarta: PT. Kasia Tona Putra, 2008, hlm. 55-56.



[1] Qosim, M. Rizal, Pengamalan Fiqih 3, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2005, hlm. 70.
[2] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar dasar pembinaan hukum fiqh-islami, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986, hlm. 469.
[3] Qosim, M. Rizal, Loc. Cit.
[4] http://fathimatuzzuhria.blogspot.co.id/2013/12/pengertian-tarjih.html
[5] Qosim, M. Rizal, Op. Cit, hlm. 69-70.
[6] M. Abdul, Halim. Fiqih Madrasah Aliyah Kelas Tiga, Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2005, hlm. 86.
[7] http://tugasmakalahmuamalah.blogspot.co.id/2012/04/talfiq.html
[8] Muslih, Muhammad. Fiqih 3, Bogor: PT. Karya Toha Putra, 2007, hlm. 55.
[9] Muslih, Muhammad. Ibid, hlm. 48-49.
[10] http://ushulfikihnidaandfriends.blogspot.co.id/
[11] Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta:  PT. Rineka Cipta, 2005, hlm. 140-152
[12] Mundzier Suparta, Djedjen Zainuddin, Pendidikan Agama Islam Fiqih, Jakarta: PT. Kasia Tona Putra, 2008, hlm. 55-56.